Jumat, 15 Desember 2017

Allah Membalas Ketulusan Hati Imam Al-Bazzar

 
 
 
 
 Al-Bazzar adalah al-Imam al-Hafizh Abu Bakar Ahmad Ibn Amr Ibn Abdul Khaliq al-Bashri, beliau menulis kitab al-Musnad al-Kabir dan al-‘Ilal, mengambil hadits dari al-Thabrani, dan wafat pada tahun 292 H di Ramlah. Beliau adalah salah seorang ulama besar, hingga dikatakan setelah Ali Ibn al-Madini tidak ada yang lebih alim tentang hadits dari padanya. Ia menjadi rujukan para hafizh Baghdad.
Di dalam kitab Dzail Thabaqat Hanabilah, Ibnu Rajab menyebutkan biografi al-Qadhi Abu Bakar al-Anshari al-Bazzar, bahwa dia berkata: “Ketika itu akan tinggal di samping kota Makkah –mudah-mudahan Allah Ta’ala senantiasa menjaganya-, suatu hari aku sangat lapar, sementara aku tidak mendapati sesuatu yang bisa kugunakan untuk mengganjal rasa lapar.
Akupun keluar untuk mendapatkan makanan akan tetapi aku tidak mendapatkanya. Kemudian tiba-tiba aku mendapatkan sebuah kantong terbuat dari sutra dan terikat dengan ikatan dari sutra pula.”
Dia berkata: “Akupun mengambil kantong tersebut, dan aku bawa ke rumahku. Akupun membuka ikatannya, ternyata di dalamnya aku mendapati seuntai kalung mutiara yang aku belum pernah melihatnya seumur hidupku.”
Dia berkata: “Akupun mengikatnya kembali, dan kukembalikan seperti sediakala. Kemudian aku keluar untuk mencari makanan. Tiba-tiba ada seorang kakek yang menyeru: “Barang siapa menemukan sebuah bungkusan, ciri-cirinya demikian dan demikian, maka baginya 500 dinar emas.” Maka aku berkata di dalam hati: “Sesungguhnya aku orang yang membutuhkan dan kelaparan, apakah aku akan mengambil dinar-dinar tersebut untuk kugunakan manfaatnya dan kukembalikan padanya kantongnya?"

Maka kukatakan kepadanya: “Kemarilah. Lalu aku membawanya ke rumahku, aku menanyainya tentang ciri-ciri kantongnya, serta ciri-ciri mutiara serta jumlah mutiara yang tersimpan di dalamnya, ternyata ciri-cirinya sama seperti kantong sutra berisi mutiara yang kutemukan.” 
Dia berkata: “Akupun mengeluarkannya, kemudian kuserahkan kepadanya, lalu dia menyerahkan kepadaku 500 dinar sebagai hadiah sebagaimana telah dia sebutkan.”
Maka kukatakan kepadanya: “Sudah menjadi kewajibanku untuk mengembalikannya kepadamu, dan aku tidak akan mengambil balasan untuknya.” Diapun berkata: “Engkau harus mengambilnya...” dan banyak kalimat lain. Padahal aku dalam kondisi paling membutuhkan saat itu. Maka kukatakan: “Demi dzat yang tidak ada sesembahan yang haq selain-Nya, aku tidak akan mengambil balasan apapun dari seorangpun selain dari Allah.” Akupun tidak menerima dinar-dinar tersebut, maka diapun meninggalkanku. Berlalulah hari demi hari, pulanglah kakek tersebut ke negerinya setelah musim haji. 
Adapun tentangku, maka aku keluar dari kota Mekkah dengan menumpang pada sebuah kapal ditengah ombak yang bergulung-gulung lagi menakutkan. Pecahlah kapal tersebut, manusiapun tenggelam, dan sirnalah harta.
Dia berkata: “Allah Ta’ala menyelamatkanku, aku tetap tinggal dengan berpegangan diatas sebuah potongan papan kapal, dia membawaku ke kanan dan kekiri, aku tidak tahu kemana dia pergi membawaku. Akupun tinggal beberapa waktu di tengah lautan. Ombak mengombang-ambingkanku dari satu tempat ke tempat lain hingga mendamparkan aku di sebuah pulau yang di dalamnya banyak orang ummi, yakni yang tidak bisa membaca dan menulis.”
Dia berkata: “Akupun duduk di masjid mereka, dan mulailah aku membaca al-Qur`an. Maka tidak ada seorangpun yang melihatku dari penghuni masjid kecuali mereka berkumpul mengerumuni aku. Maka tidak tertinggal seorangpun dari pulau tersebut kecuali berkata: “Ajari aku al-Qur`an.”
Dia berkata: “Maka akupun mengajari mereka al-Qur`an, maka akupun mendapatkan kebaikan yang sangat banyak sebagai balasan dari itu semua.”

Dia berkata: “Kemudian aku melihat sebuah mushaf di dalam masjid yang sudah robek, maka akupun mengambilnya dan lembaran-lembarannya untuk kubaca dengannya.” Maka mereka berkata: “Apakah engkau bisa menulis?” Kujawab: “Ya.” Mereka berkata: “Ajari kami menulis.”
Kukatakan: “Tidak masalah.” Maka merekapun datang dengan anak-anak dan remaja-remaja mereka. Maka ketika itu akulah yang mengajari mereka. Dan akupun mendapatkan banyak kebaikan.”
Merekapun sangat berharap kepadanya, dan mereka berkata kepadanya setelah itu bahwa mereka ingin agar dia tinggal bersama mereka. Mereka berkata kepadanya: “Kami memiliki seorang anak wanita yatim, dan dia memiliki peninggalan harta, kami ingin menikahkannya denganmu, dan engkau tinggal bersama kami di pulau ini.”
Dia berkata: “Akupun berupaya menolaknya, tapi mereka mendesakku dan memaksaku, akhirnya aku penuhi permintaan mereka. Maka merekapun mempersiapkannya untukku, dan mahram wanita tersebut menikahkanku dengannya. Akupun duduk bersama mereka, maka tatkala aku melihat kepadanya, aku melihat kalung yang dulu aku telah melihatnya di Makkah tengah tergantung di lehernya. Akupun tercengang, akupun sibuk melihat kepada kalung tersebut.
Maka berkatalah mahramnya: “Wahai syaikh, engkau telah menghancurkan hati wanita yatim tersebut, engkau tidak melihat kepadanya tapi engkau melihat kepada kalungnya.”
Maka kukatakan: “Sesungguhnya aku memiliki kisah dengan kalung tersebut.” Mereka bertanya: “Kisah apa itu?” Maka kuceritakan kisah kalung tersebut kepada mereka. Maka merekapun bersuara keras mengucapkan tahlil, takbir, dan tasbih hingga suara mereka mencapai setiap penjuru pulau.
Kukatakan: “Subhanallah, ada apa dengan kalian?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kakek yang engkau lihat, dan telah mengambil kalung darimu di Mekkah adalah ayah dari wanita yatim ini. Dulu dia berkata sekembalinya dari haji, dan terus mengulang-ulang perkataannya: “Demi Allah, aku belum pernah melihat sekali pun di muka bumi ini seorang pemuda Muslim seperti orang yang telah mengembalikan kalung ini kepadaku di Mekkah, Ya Allah, kumpulkanlah antara aku dengannya hingga aku nikahkan dia dengan putriku.” Laki-laki tersebut telah meninggal, dan sekarang Allah telah mengabulkan do’anya.”
Dia berkata: “Akupun tinggal bersamanya selama beberapa masa, dan dia adalah sebaik-baik wanita. Aku diberi rizqi dua orang putra darinya. Kemudian dia meninggal. Mudah-mudahan Allah Ta’ala merahmatinya, aku dan kedua anakkupun mewarisi kalung tersebut darinya.”
Dia berkata: “Kemudian satu persatu putraku meninggal.” Dia berkata: “Akupun mewarisi kalung tersebut dari mereka.” Dia berkata: “Kalung tersebut lalu kujual dengan harga 100 ribu dinar.”
Setelah beberapa waktu dia berkata: “Dan ini adalah sisa dari harga kalung tersebut.” Mudah-mudahan rahmat Allah dilimpahkan kepada semuanya.
Sumber: Facebook Majalah Qiblati

Kisah Sang Pencuri Kue


Seorang wanita sedang menunggu di bandara suatu malam. Masih ada beberapa jam sebelum jadwal terbangnya tiba. Untuk menghabiskan waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara lalu menemukan tempat untuk duduk. Sambil duduk wanita tersebut membaca buku yang baru saja dibelinya.

Dalam keasyikannya tersebut ia melihat lelaki disebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada diantara mereka. Wanita tersebut mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan.

Ia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si Pencuri Kue yang pemberani menghabiskan persediaannya. Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu. Wanita itupun sempat berpikir "Kalau aku bukan orang baik, sudah kutonjok dia!" Setiap ia mengambil satu kue, si lelaki

juga mengambil satu. Ketika hanya satu kue tersisa, ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan lelaki itu. Dengan senyum gugup di wajahnya, si lelaki mengambil kue terakhir dan membaginya dua. Si lelaki menawarkan separo miliknya, sementara ia makan yang separonya lagi. Si wanita pun merebut kue itu dan berpikir "Ya ampun orang ini berani sekali, dan ia juga kasar, malah ia tidak kelihatan berterima kasih." Belum pernah rasanya ia begitu kesal.

Ia menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan. Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang. Menolak untuk menoleh pada si "Pencuri tak tahu terima kasih!".

Ia naik pesawat dan duduk di kursinya, lalu mencari bukunya, yang hampir selesai dibacanya. Saat ia merogoh tasnya, ia menahan napas dengan kaget. Di situ ada kantong kuenya, di depan matanya. "Kok milikku ada disini?", erangnya dengan patah hati. Jadi kue tadi adalah milik lelaki itu dan ia mencoba berbagi.

Terlambat untuk minta maaf, ia tersandar sedih. Bahwa sesungguhnya dialah yang kasar, tak tahu terima kasih, dan dialah pencuri kue itu.

Dalam hidup ini kisah pencuri kue seperti tadi sering terjadi. Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri.

Serta tak jarang kita berprasangka buruk. Orang lainlah yang kasar, orang lainlah yang tak tahu diri, orang lainlah yang berdosa, orang lainlah yang salah. Padahal kita sendiri yang mencuri kue tadi, padahal kita sendiri yang tidak tahu.

Kita sering mengomentari, mencemooh pendapat, atau gagasan orang lain sementara sebetulnya kita tidak tahu betul permasalahannya.
Sumber: Strawberry

Kisah Seseorang yang Diadili Allah di Hari Kiamat (sungguh mengharukan atas Kemaha Ampunannya Allah)


Sekedar menjadi pengetahuan bagi kita masing-masing bahwasanya cara hisab (pertanggungjawaban amal) di hari kiamat kelak akan berbeda-beda pada masing-masing individu. Hal ini dipengaruhi oleh seberapa besar amal kebaikan yang diperbuat individu tersebut selama di dunia. Karenanya dalam praktek hisab tersebut ada yang ringan, berat, dan ada yang diproses secara sukar atapun mudah. Saat prosesi telah dilakukan, ada yang berkesudahan dengan pujian dan ada pula yang berakhir dengan hukuman.
Karena sebagai sarana melakukan perhitungan sekaligus pertanggungjawaban akan seluruh perbuatan saat hidup di dunia, maka hisab ini berlaku bagi seluruh makhluk yang muslim maupun yang kafir. Dengan demikian, seluruh makhluk yang diperintah untuk beribadah kepada Allah, yakni manusia dan jin diproses secara adil. Namun demikian, ada pengecualian pada proses ini, yakni sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bahwa ada golongan manusia dan jin yang dibebaskan dari hisab, yaitu anak-anak dan orang gila (orang tidak berakal).

Diriwayatkan Ali radiyallahu 'anhu bahwa ia menceritakan dirinya sedang duduk bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada suatu ketika. Saat itu Rasulullah sedang menceritakan tentang Bani Israil dan umat terdahulu. Pada akhir ceritanya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: "Wahai Ali! Allah mengutus malaikat Jibril untuk menceritakan perihal umatku. Menurutnya, di antara umatku ada yang menghadap kepada Allah di waktu hisab dan berbicara dengan-Nya, sebagaimana orang berbicara terhadap lawan bicaranya. Aku bertanya kepadanya, 'dapatkah setiap orang melakukan hal semacam itu?' Malaikat Jibril menjawab, ‘Aku akan beritahukan kepadamu tentang peristiwa tersebut setelah memperoleh izin dari Tuhanku.’ 

Maka malaikat Jibril pergi menghilang untuk sesaat, kemudian kembali lagi sambil tersenyum dan berkata, ‘Aku telah memperoleh cerita yang menakjubkan wahai Rasulullah.’ Aku pun menanyakan perihal kisah menakjubkan yang dimaksud. Dan malaikat Jibril akhirnya menceritakan, ‘Pertama, ketahuilah wahai Rasulullah bahwa di hari kiamat, Allah menyerahkan buku catatan amal seseorang. Saat menyerahkan buku catatan tersebut sambil memeriksa isinya, lalu Allah bertanya kepada orang tersebut, apakah benar seluruh amal yang tertera dalam buku catatan tersebut adalah perbuatannya. Mendengar pertanyaan Tuhan itu, ia menjawab bahwa dirinya sama sekali tidak tahu kalau perbuatan yang tertera dalam catatan amal itu adalah perbuatannya. Allah berfirman bahwa para malaikatlah yang mencatat semuanya. Kalaupun ia tidak merasa hal itu adalah perbuatannya maka hal tersebut menandakan bahwa ia tengah lengah dan tidak sadar. Kembali orang tadi menyatakan bahwa para malaikat pencatat itu adalah hamba-hamba Allah, mereka bisa mencatat apa-apa yang dikehendaki namun hanya Allah-lah hakim yang tidak menerima suatu pengaduan, selain dengan bukti yang nyata. Mendengar jawban tulus hamba-Nya ini maka Allah berfirman untuk menanyakan siapa yang dapat dijadikan saksi atas segala perbuatannya tersebut. Padahal yang mencatat amal hamba tersebut adalah malaikat yang telah mendapat mandat dari Allah. Sebagai alternatif, maka Allah menawarkan anggota tubuh sang hamba tersebut untuk menjadi saksi terhadap perbuatan yang telah lalu. Tawaran itu dapat diterima dan disetujui hamba tersebut. Sebagai saksi pertama, maka Allah mempersilahkan kepada lidah hamba itu untuk menjadi saksi atas segala perbuatan hamba itu. Tidak ada yag terlewatkan laporan yang disampaikan lidah sang hamba itu baik amal baik dan amal buruk.
Mendengar kesaksian lidahnya, maka hamba itu berkata “Wahai Tuhanku, Engkau mengetahui bahwa lidahku adalah musuh selama hidup di dunia dan hampir pasti segala dosa terjadi berawal sebab dan lantaran kelancangannya. Karena Engkau adalah hakim yang adil, maka tentunya tidak akan menerima kesaksian musuh terhadap musuhnya sendiri.”
Dengan jawaban hamba-Nya tersebut, kemudian Allah berfirman: “Baiklah, Aku panggil kedua tanganmu untuk memberikan kesaksian.” Dengan izin Allah, maka berbicaralah kedua tangannya itu menceritakan segala perbuatannya selama di dunia. Namun begitu selesai, orang itu tetap menolak apa yang telah dikemukakan kedua tangannya. Dalam pandangan ini, dengan alasan sebagaimana syariat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam yang menyatakan bahwa keberadaan satu saksi tidaklah mencukupi bagi diterimanya sebuah pengaduan atau juga kesaksian. Karenanya harus ada saksi yang kedua untuk menguatkan kesaksian yang pertama. Padahal kedua tangan yang memberikan kesaksian itu termasuk ke dalam satu saksi. Lalu Allah menerima alasan yang dikemukakan hamba-Nya ini dan kemudian memerintahkan kedua kaki orang tersebut untuk memberikan kesaksian. Dan sebagaimana pada kesaksian sebelumnya, dengan izin Allah, kedua kaki orang ini berbicara sekaligus menceritakan segala amal perbuatannya saat hidup di dunia
Dengan kesaksian yang diberikan oleh kedua kakinya, terdiamlah orang ini dengan heran sekaligus merasa takjub. Lalu ia menegur kepada anggota tubuhnya yang satu per satu memberikan kesaksian, 'wahai anggota tubuhku, aku adalah kamu dan keberadaanmu juga merupakan keberadaanku. Aku telah membelamu agar selamat dari api neraka, tetapi kamu malah menjerumuskanku ke sana.' Mendengar perkataan orang ini, maka seluruh anggota tubuhnya berkata: 'Kami diperintahkan untuk memberikan kesaksian yang benar dan mengucapkan kata-kata yang benar.'
Akhirnya Allah memutuskan agar malaikat Zabaniyah menyeret orang tersebut ke dalam neraka. Kemudian orang ini berkata setelah mendengar vonis Allah: 'Dimanakah rahmat-Mu, wahai Yang Maha Penyayang?' Allah berfirman: 'Rahmat-Ku hanya akan diberikan kepada orang-orang yang beriman. Jika engkau mau mengakui kesalahanmu, Aku akan mengampuni dosa-dosamu.' Orang itu selanjutnya berkata, 'Wahai Tuhanku, aku mengaku bersalah, aku sangat takut terhadap api neraka.'
Lalu Allah berfirman kepada para malaikat: 'Bawalah hamba-Ku ini ke surga, sebab Aku telah mengampuninya.' Lalu oleh malaikat dia dibawa ke surga, dan berkatalah malaikat itu kepadanya 'Masuklah kamu ke surga dengan damai dan aman.'
Referensi: Saifulloh dan Abu Shofia (2003). Menyingkap Tabir Alam Malaikat. Surabaya: Karya Agung


Referensi: www.lampuislam.id  
Facebook Page: www.facebook.com/riska.pratama.ardi

Kamis, 14 Desember 2017

Kisah Thouban, Seorang Budak yang Sangat Mencintai Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalam




Ada seorang budak yang dibebaskan Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalam. Namanya adalah Thouban. Thouban begitu senang ketika Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalam. membebaskannya. Dia sangat mencintai Rasulullah. Dia merasa begitu senang setiap kali melihat Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalam dan selalu berusaha untuk melihat Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalam. beberapa kali dalam sehari. Ketika melihat wajah Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalam., maka keimanannya bertambah, dan seketika dia melupakan segala kesulitan dalam hidupnya.

Pada suatu hari dia belum melihat Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalam. Jadi ketika dia menemuinya, Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalam. melihat wajah Thouban radiyallahu'anhu. begitu murung. Rasulullah Shalallahu'alaihi'awasalam. bertanya kepadanya: “Ya Thouban, ada apa? Kenapa hari ini kau terlihat begitu murung?”

Dia berkata: “Ya Rasulullah., apakah kau tahu bahwa aku begitu mencintaimu? Aku perlu melihatmu setiap hari. Ketika aku melihatmu, aku merasa begitu senang. Aku harus melihatmu, kau tidak tahu perasaan hatiku.

Ya Rasulullah, aku begitu bahagia karena dapat melihatmu sekarang, tapi ketika aku tidak melihatmu, aku memikirkan kematian dan akhirat. Dan aku berpikir ketika kau diambil oleh Allah Subhanahu'wa'ta'ala. dan masuk ke dalam surga, maka kau akan berada di surga yang paling tinggi, bersama para anbiyya, orang-orang yang syahid, dan orang-orang saleh, sedangkan aku tidak dapat melihatmu lagi, karena jika aku masuk surga, maka aku akan berada di surga tingkat rendah, bahkan kemungkinan aku tidak akan masuk surga. Dan jika itu yang terjadi, aku tidak akan bisa melihatmu lagi!”

Wallahi, tepat pada saat dia selesai berkata demikian, Jibril alaihi'salam. turun dan mewahyukan ayat:

Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (Q.S. An-Nisaa:69)

Ketika Thouban mendengar ini, Subhanallah, dia mulai tersenyum lagi!

Dan dia seringkali memberitahu orang-orang: “Apakah kau tahu bahwa ayat ini diwahyukan karena diriku? Apakah kau tahu bahwa cintaku kepada Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalam. begitu meluap-luap, ketika aku berpikir tak akan pernah melihatnya lagi, tiba-tiba Jibril alaihi'salam. turun dengan sebuah ayat untuk memberitahuku bahwa aku tidak perlu khawatir, jika ingin bersama dengan Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalam. di akhirat, yang harus kita lakukan hanyalah menuruti sabdanya dan menjauhi segala yang dilarangnya.”

Ini adalah pelajaran bagi kita semua bahwa jika ingin menjadi sahabat Rasulullah shalallahu'alaihi'wasalam. di surga, kita harus menjadi Muslim yang lebih baik dengan menuruti sabdanya dan menjauhi larangannya. Semoga Allah menjadikan kita sebagai sahabat Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalam. di surga nanti. Aamiin!

Ketika Umar bin Khattab Menerima Kunci Yerussalem

Umar bin Khatab adalah orang yang paling berpengaruh urutan ke-52 di dunia menurut Michael H. dalam bukunya yang berjudul 100 Most Influential People in the World. Umar bin Khatab adalah seorang pria yang adil dan bijaksana. Bahkan kata-kata Umar bin Khatab tercatat dalam piagam PBB. Kata-kata itu berbunyi "Bagaimana mungkin kalian memperbudak seorang manusia sedangkan dia lahir dalam bebas?" Umar-lah yang pertama kali mengatakan itu. Dan dia menetapkan aturan-aturan yang penuh keadilan pada masa kekhalifahannya di Madinah. Jadi dia adalah pria yang terkenal karena kearifan dan keadilannya. 

Sebelum menjadi Muslim, Umar terkenal sebagai orang yang bermegah-megahan dalam berpakaian. Dia adalah orang yang kaya raya. Dia juga bisa membaca (hanya sedikit yang bisa membaca di masanya).  Namun setelah menjadi Muslim, Umar bin Khatab berubah menjadi orang yang sederhana. Bahkan dia mengorbankan hartanya untuk kepentingan Islam. Tubuhnya besar seperti raksasa. Jika dia duduk di atas seekor kuda, maka kakinya akan menyentuh tanah. Perawakannya terlihat menakutkan karena tubuhnya yang besar.
Ada kisah yang sangat menarik ketika Umar bin Khatab radiyallahu'anhu datang ke Yerussalem. Masyarakat Yerussalem berada dalam suasana gegap-gempita untuk menyambut kedatangannya. Untuk mengambil kunci kota Yerussalem, diutuslah Abu Ubaidah Jarrah kesana mewakili Umar bin Khatab. Namun para petinggi Yerussalem memberitahu Abu Ubaidah Al-Jarrah "Kami tidak akan memberikan kuncinya kepadamu kecuali kepada pemimpinmu. Dia harus datang dan mengambilnya sendiri."
Dan Heraclius (kaisar Romawi) sudah menyiapkan pesta penyambutan untuk Umar bin Khatab radiyallahu'anhu. Dia mengundang pastor Romawi, pastor Yerussalem, bahkan para pemimpin dari komunitas Yahudi ada disana. Heraclius juga membentangkan karpet merah untuk Umar bin Khatab yang panjangnya mencapai 2 kilometer. Dan sebelumnya, mereka juga telah mengundang dua orang jendral Muslim, yaitu Abu Ubaidah Al-Jarrah dan Amr bin al-'As radiyallahu'anhu. untuk menyambut ketika Umar bin Khatab datang. Mereka juga mengirimkan unta kualitas terbaik untuk menjemput Umar bin Khatab. Mereka menghias tempat penginapan umat Muslim di Yerussalem. Bahkan mereka menyediakan pakaian spesial untuk dikenakan pada perayaan bersejarah ini. Mereka ingin memberikan sambutan yang mewah karena Umar bin Khatab dikenal sebagai orang yang bijaksana.

Jadi Umar bin Khatab bertanya kepada orang-orang Madinah "Haruskah aku kesana untuk mengambil kuncinya? Atau barangkali ini sebuah jebakan dimana aku akan dibunuh?" Karena bukan keputusan yang bijak untuk seorang pemimpin meninggalkan kotanya. Ketika sebuah kota ditaklukkan, sang Khalifah selalu tinggal di Madinah. Seorang khalifah tidak pernah meninggalkan kotanya sebelumnya. Namun penasihatnya berkata "Dalam hal ini, tidak apa-apa."
Jadi Umar pergi kesana dengan membawa satu pelayannya, dan mereka berdua menunggangi seekor unta. Dia membuat kesepakatan dengan pelayannya. 
Umar berkata "Sepanjang jalan menuju ke sana, aku naik dalam setengah perjalanan dan kau yang menarik untanya. Kemudian kau yang naik dalam setengah perjalanan berikutnya dan aku yang akan menarik untanya." 
Jadi mereka bergantian menaiki unta itu. Sebelum mereka sampai ke Yerussalem, Umar jatuh ke dalam kubangan lumpur, jadi pakaiannya berlumuran lumpur. Di pakaiannya juga terdapat 17 tambalan. Ketika Umar bin Khatab hampir sampai ke Yerussalem, pelayannya yang sedang berada di atas unta, dan Umarlah yang menarik untanya.  Sementara itu para petinggi Yerussalem menunggunya dengan pakaian terbaik mereka. Mereka menunggunya untuk memberikan sambutan yang mewah.
Ketika mereka mulai berjalan di karpet merah yang dua kilometer panjangnya, pelayannya berkata "Kurasa waktunya kita bergantian sekarang." 
Umar bin Khatab berkata "Kesepakatan masih tetap berlaku, sekarang masih giliranmu." 
"Tapi kau akan menerima penyerahan kunci dari kota terhebat di dunia."

"Jangan, jangan... Kau tetap di untanya, dan kita akan tetap berjalan."
Umar bin Khatab berjalan menuntun untanya dan orang-orang menunggu untuk melihat siapa pemimpin besar umat Muslim. Ketika mereka melihat seseorang datang berlari dengan untanya, dengan 17 tambalan di pakaiannya, dan dipenuhi lumpur, mereka pun tercengang. Abu Ubaidah yang telah diundang sebelumnya sebagai bagian dari penyambutan merasa kesal karenanya.  Dia minta izin untuk berbicara dengan Umar bin Khatab kepada Heraclius "Ada urusan yang perlu kuselesaikan dengan sang pemimpin sebelum dia datang mengambil kuncinya."
Abu Ubaidah menghampiri Umar dan berkata "Kau telah mempermalukan kita. Semua orang disini berpakaian bagus, kau harus menunjukkan bahwa kau adalah figur pemimpin yang kuat. Kau seharusnya memakai pakaian terbaikmu." Abu Ubaidah sebenarnya juga orang yang sederhana, namun dia menyadari bahwa dalam situasi ini, Umar harus memberi kesan kepemimpinan yang kuat.
Mendengar perkataan itu, Umar bin Khatab jadi kesal dan berkata "Kita adalah orang-orang yang diberikan kehormatan oleh Allah melalui iman dan Islam. Jika kita mencari kehormatan dengan cara lainnya, tentunya kita akan terhina." 
Jadi dia mendapatkan kuncinya dari Heraclius dan orang-orang terkejut. Kemudian pastor Yerussalem bercerita sedikit tentang Yerussalem dan membawanya ke Gereja Kelahiran. Ketika mereka berada di dalam Gereja Kelahiran, adzan Dzuhur berkumandang. Pastor Yerussalem memberitahunya "Kenapa kau tidak shalat saja disini? Ini merupakan sebuah kehormatan bagi kami."
Umar bin Khatab berkata kepadanya "Tidak, karena aku takut umat Muslim pada generasi berikutnya mengklaim bahwa ini adalah masjid karena di tempat inilah aku shalat."
Dia tidak mau orang-orang mengklaim sebuah gereja sebagai masjid hanya karena dia pernah shalat disana, dia melakukannya karena ingin memberikan kehormatan dan hak kepada orang-orang.
Jadi dia keluar dari gereja, menuruni tangganya, dan shalat disitu. Dan 400 tahun kemudian, orang-orang membangun sebuah masjid disana yang bernama Masjid Umar. Jadi prediksi Umar benar. 
Dia juga menetapkan aturan yang disebut pakta Umar, yang pada dasarnya menjamin semua hak masyarakat Yerussalem. Pakta Umar juga menjamin hak setiap orang untuk melaksanakan kepercayaannya masing-masing. Umat Kristen dan Yahudi hidup dengan damai, bahkan mereka juga diperbolehkan menghakimi satu sama lain dengan hukum mereka sendiri. Jadi mereka tidak tunduk dalam hukum Islam, semua orang mendapatkan keadilan disana. Bahkan jika suatu perkara sampai ke Umar, tentang pelanggaran dari seorang Kristen atau Yahudi, maka dia akan berkonsultasi dengan para pendeta atau rabbi, Umar akan menanyai mereka apakah ini diperbolehkan dalam keimanan mereka atau tidak.
Jadi kekhalifahan Islam menerapkan keadilan yang menyeluruh.

Referensi: www.lampuislam.id
Facebook Page: www.facebook.com/riska.pratama.ardi

Kisah Talut dan Daud Melawan Jalut (Saul dan David Melawan Goliath dalam Bible)

Kisah Talut dan Jalut bermula ketika Bani Israil mengalami masa suram nan gelap. Pasca Nabi Musa wafat, kondisi agama mereka makin lama makin terkikis. Padahal saat Yusya bin Nun (Yosua), pengikut setia Musa, memimpin mereka, tanah Palestina dapat dengan mudah direbut.

Namun Yusya pun menemui ajal mengakhiri tugasnya menjalankan amanah Musa. Sejak itulah Bani Israil dilanda kegalauan dan keterpurukan. Sekian lama tak ada nabi diutus, mereka terlunta-lunta bagai domba tanpa pengembala.

Di tengah kekosongan kepemimpinan, masyarakat Israil mulai melupakan agama. Mereka melakukan banyak dosa bahkan membunuh para nabi yang semestinya diharapkan memimpin mereka. Kondisi mereka berubah menjadi masyarakat kafir, zalim dan durhaka. Allah pun murka sehingga mencabut kekuasaan mereka. Bani Israil diusir, tabut pun dirampas oleh musuh mereka.

Sebuah kaum yang kuat dan kejam bernama Amaliqah atau sebagian menyebut Balthata, terus saja menyerang Bani Israil. Kaum tersebu menahan para pembesar Bani Israel, menculik anak-anak, mengambil alih kawasan taklukan mereka kemudian menarik upeti semena-mena. Saat itu benar-benar menjadi bencana hebat dan sengsara yang amat bagi Bani Israil. Kaum penjajah tersebut dipimpin oleh seorang berperawakan raksasa dari Dinasti Bukhtanashar bernama Jalut (Goliath).

Di tengah penindasan, Bani Israil pun mengharapkan Allah mengutus seorang nabi yang akan menyelamatkan mereka. Padahal sebelumnya mereka selalu membunuh para nabi, hingga tak tersisa keturunan Lawi yang dipercaya Bani Israil sebagai marga yang layak menjadi pemimpin mereka. Satu-satunya keturunan Lawi yang tersisa dan dapat diharapkan hanyalah seorang wanita bernama Hubla.

Bani Israil pun melindunginya agar dapat melahirkan anak calon nabi mereka. Hubla pun terus berdoa disaat kehamilannya agar dapat memiliki seorang putra. Allah pun memenuhi doa sang wanita shalihah tersebut. Lahirlah anak laki-laki yang kemudian oleh ibunya diberi nama Shammil (Samuel) atau Syamwil atau Sham'un, yang artinya Allah telah mendengar permohonan saya.

Singkat cerita, Shammil pun kemudian diutus Allah untuk mengemban risalah para nabi. Kepada Shammil, Bani Israil berharap dapat mengakhiri penindasan kaum Amaliqah. Hingga suatu hari, Bani Israil meminta Shammil mengangkat seorang pemimpin untuk mereka berjihad di jalan Allah melawan penindasan.  Mereka berkata kepada Shamil, "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami dapat berperang di bawah pimpinannya di jalan Allah."

Mendengarnya, Shammil tak lantas percaya. Ia meragukan Bani Israil yang memang gemar membangkang. Ia pun menjawab, "Bisa jadi saat kalian nanti diwajibkan berperang, kalian tidak mau berperang," ujar sang nabi. Namun Bani Israil ngotot dan ingin permintaan mereka terpenuhi, "Bagaimana mungkin kami enggan berperang di jalan Allah, padahal kami telah terusir?!" seru mereka.
Shammil pun menengadahkan tangannya, berdoa meminta Allah mengutus seorang raja yang akan memimpin Bani Israil. Allah pun memberinya petunjuk. Di pagi hari, seorang pemuda tampan, gagah perkasa, shalih dan cerdas, bernama Talut (Saul) tengah mencari keledainya di depan rumah Shammil. Tiba-tiba, Shammil mendapati tanda dari tanduk binatang dan tongkatnya.
Allah memberi petunjuk pada Shammil bahwa orang yang akan menjadi raja ialah yang tinggi badannya setinggi tongkat tersebut dan mampu membuat minyak dalam tanduk binatang mendidih. Ketika Talut memasuki rumah Shammil, minyak dalam tanduk tersebut mendidih. Shammil pun mengukur tinggi badannya didapati seukuran tongkat. Nabi Shammil pun yakin, Talut lah yang akan memimpin Bani Israil.

Namun saat Shammil mengumumkan Talut akan menjadi pemimpin Bani Israil, serta merta bangsa Yahudi itu menolak. Pasalnya, Talut hanyalah seorang pengembala miskin. Ia bukan keturunan Lawi bin Yakub bukan pula keturunan Yahuza bin Yakub. Lawi dan Yahuza merupakan saudara Nabi Yusuf, putra Nabi Yakub bin Nabi Ishaq bin Nabi Ibrahim. Keturunan tersebut diyakini Bani Israil sebagai rumpun para nabi dan raja yang memimpin kaum mereka, keturunan Lawi sebagai nabi dan keturunan Yehuda sebagai raja. Padahal berdasarkan silsilah, Talut masih keturunan Yakub.

Ia merupakan keturunan Bunyamin bin Yaqub, adik laki-laki Yusuf yang shalih. Namun tetap saja, Bani Israil menolak Talut menjadi pemimpin mereka. "Bagaimana mungkin seorang pengembala miskin menjadi raja kami, bagaimana mungkin kami dipimpin bukan dari keturunan Yehuda. Bagaimana mungkin Talut memerintah kami padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan darinya," desus mereka kesal.

Nabi Shammil pun menjawab ringan, "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Tentu, Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Namun Bani Israil tetap menolak. Hingga akhirnya Shammil pun menjanjikan sebuah bukti bahwa Talut lah yang diperintahkan Allah untuk memimpin Bani Israil. "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan Harun. Sungguh itu menjadi tanda bagimu, jika kamu memang beriman," tutur Shammil.

Tabut merupaka peti kayu berlapis emas tempat menyimpan Taurat. Tabut yang diyakini Bani Israil membawa ketenangan dan kemakmuran tersebut tersebut direbut musuh yang menindas dan menguasai wilayah mereka. Lalu terbuktilah tanda tersebut, malaikat membawa Tabut tersebut dan menjatuhkannya pada Bani Israil. Talut pun kemudian terbukti diutus sebagai raja Bani Israil.

Dengan segera, Talut mengumpulkan keuatan Bani Israil untuk melawan kelompok penindas pimpinan Jalut. Talut pun memilih 80 ribu pemuda sebagai prajuritnya. Mereka berbaris dengan perlatan lengkap dan berangkat untuk memerangi tentara Jalut. Jalanan sahara membuat pasukan begitu lelah dan sangat kehausan. Di tengah perjalanan, Allah menguji pasukan Talut dengan sungai yang mengalir diantara Yordania dan Palestina.
Talut telah mewanti-wanti agar pasukannya tak meminum air sungai tersebut kecuali seciduk tangan saja untuk menghilangkan dahaga. "Sungguh Allah akan menguji kalian dengan sungai. Siapapun yang meminum air dari sungai itu maka ia tidak akan menemaniku," ujar Jalut. 
Namun nafsu menguasai sebagian besar pasukan Talut. Mereka pun melanggar perintah pemimpin mereka dengan meminum air sungai tersebut sepuas-puasnya. Dari 70 ribu pasukan, hanya sekitar 300an orang saja yang mematuhi Talut.
Mereka terdiri dari orang-orang shalih, salah satu diantara mereka ialah Daud (David) yang saat itu belum diangkat sebagai seorang nabiyullah.

Dengan berat, Talut pun melanjutkan perjalanan hanya dengan 300 prajurit. Paukan lain yang tamak meminum air sebanyak-banyaknya tersebut menjadi pucat dan takut berperang. Dengan jumlah yang minim, mereka maju berperang melawan pasukan Jalut yang bertubuh besar dan perkasa.
Dibawah komando Talut, pasukan tersebut pun berdoa agar diberikan kesabaran dan kemenangan, "Ya Tuhan kami, berikanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir," panjat merekas ebelum terjun ke kancah pertempuran.

Dengan kehendak Allah, mereka pun mendapatkan kemenangan. Pemimpin Amaliqah, Jalut yang begitu hebat pun terbunuh. Namun bukan Talut yang berhasil membunuhnya melainkan Daud. Dikisahkan, Daud muda membunuh Jalut dengan ketapel yang selalu dia bawa sebagai senjata. Tiga buah batu meluncur ke kepala Jalut hingga menewaskannya.
Menurut cerita, tiga batu tersebut bukanlah batu biasa. Selama perjalanan menuju medan peperangan, Daud mengambil tiga batu satu per satu karena batu-batu itulah yang meminta untuk dipungut. "Daud, bawalah kami ikut serta," ujar batu pertama. Setelah beberapa jarak, batu kedua pun mengucap hal sama, demikian pun batu ketiga. Daud mengambil batu tersebut dan menyimpannya. Hingga di tengah kancah pertempuran, batu itu beraksi membunuh raja Jalut yang kejam yang telah menyiksa Bani Israil.

Sebelumnya, Talut pernah berjanji barangsiapa yang berhasil membunuh Jalut maka akan dinikahkan dengan putrinya serta memberinya separuh kepemimpinan kerajaan Bani Israil. Daud pun mendapat bonus hadiah tersebut. Hingga usia Daud mencapai 40 tahun, Talut meregang nyawa. Daud pun menggantikan posisi Talut menjadi raja Bani Israil. Tak hanya itu, Allah pun mengutusnya sebagai nabi dan Rasul serta diturunkan kepadanya kitab suci Zabur.

Serangkaian kisah Shammil (Samuel), Talut (Saul), Jalut (Goliath) dan Daud (Davidh) tersebut dikabarkan dalam Al-Qur'an surah Al Baqarah ayat 246 hingga 251. Kisah tersebut pun terdapat dalam Al-Kitab dengan pemaparan kisah yang teramat panjang. Bible mengisahkannya secara panjang lebar, namun inti kisah tak jauh berbeda seperti yang termaktub dalam Al-Qur'an meski dalam beberapa hal terjadi perbedaan.
Untuk penjelasan kisah lebih rinci, Muslimin dapat merujuk buku tafsir yang juga menjelaskan kisah tersebut lebih rinci sesuai riwayat Rasulullah dari para shahabat beliau. Tafsir Ath Thabari pun memaparkan kisah tersebut hingga berpuluh halaman. Dalam tafsir Ibnu Katsir pun kisah tersebut tak luput. Beliau juga mengisahkannya dalam Kitab Stories of The Prophet Tafsir Ibn Katsir.

Dengan demikian, dapat dipastikan kebenaran kisah Talut dan Jalut tersebut. Bahkan kisah tersebut juga masuk dalam sejarah masyarakat Arab, terlepas kebenaran rincian kisah yang beragam dikalangan Muslimin dan Ahli Kitab. Meski demikian, Allah telah menyatakan dipenghujung kisah ayat tersebut bahwa kisah tersebut adalah nyata terjadi diantara kehidupan para nabi, dan Rasulullah mengisahkannya tanpa mengada-ada dan tanpa mencontek kitab sebelumnya.
"Itu adalah ayat-ayat dari Allah, Kami bacakan kepadamu dengan hak (benar) dan sesungguhnya kamu (Rasulullah) benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus," (Qs. Al Baqarah 252)
Sumber: 

Rabu, 13 Desember 2017

Kisah Abu Qudamah Tentang Syuhada Muda

www.facebook.com/riska.pratama.ardi
Hasil gambar untuk kisah mengharukan abu qudamah

Abu Qudamah dahulu dikenal sebagai orang yang hatinya dipenuhi kecintaan akan jihad fi sabilillah. Tidak pernah dia mendengar akan jihad fi sabilillah, atau adanya perang antara kaum muslimin dengan orang kafir, kecuali dia selalu ikut serta berjuang di pihak kaum muslimin.

Suatu ketika sedang ia duduk-duduk di Masjidil Haram, ada seseorang yang menghampirinya seraya berkata: "Hai Abu Qudamah, anda adalah orang yang gemar berjihad di jalan Allah, maka ceritakanlah peristiwa paling ajaib yang pernah kau alami dalam berjihad."

"Baiklah, aku akan menceritakannya bagi kalian," kata Abu Qudamah.

"Suatu ketika aku berangkat bersama beberapa sahabatku untuk memerangi kaum Salibis di beberapa pos penjagaan dekat perbatasan. Dalam perjalanan itu aku melalui kota Raqqah (sebuah kota di Iraq, dekat sungai Eufrat), di sana aku membeli seekor unta yang akan kugunakan untuk membawa persenjataanku. Di samping itu aku mengajak warga kota melalui masjid-masjid, untuk ikut serta dalam jihad dan berinfaq fi sabilillah. 
Menjelang malamnya, ada orang yang mengetuk pintu. Tatkala kubukakan, ternyata ada seorang wanita yang menutupi wajahnya dengan pakaiannya.

"Apa yang anda inginkan?" tanyaku.
"Andakah yang bernama Abu Qudamah?" katanya balik bertanya.
"Benar," jawabku.

"Andakah yang hari ini mengumpulkan dana untuk membantu jihad di perbatasan?" tanyanya kembali.

"Ya, benar," jawabku.
Maka wanita itu menyerahkan secarik kertas dan sebuah bungkusan terikat, kemudian berpaling sambil menangis.

Pada kertas itu tertulis, "Anda mengajak kami untuk ikut berjihad, namun aku tidak sanggup untuk itu. Maka kupotong dua pintal rambut kesayanganku agar anda jadikan sebagai tali kekang kuda Anda. kuharap bila Allah melihatnya pada kuda anda dalam jihad, Dia mengampuni dosaku karenanya."

"Demi Allah, aku kagum atas semangat dan kegigihannya untuk ikut berjihad, demikian pula dengan kerinduannya untuk mendapat ampunan Allah dan Syurga-Nya," kata Abu Qudamah.


Keesokan harinya, aku   bersama sahabatku berangkat meninggalkan Raqqah.
Tatkala kami tiba dimedan Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seseorang penunggang kuda yang memanggil-manggil,

"Hai Abu Qudamah.. Hai Abu Qudamah.. tunggulah sebentar, semoga Allah merahmatimu," teriak orang itu.

"Kalian berangkat dahulu, biar aku yang mencari tau siapa orang ini," perintahku kepada para sahabatku.

Ketika aku hendak menyapanya, orang itu mendahuluiku dan mengatakan, "Segala puji bagi Allah yang mengizinkanku untuk ikut bersamamu, dan tidak menolak penyertaanku."

"Apa yang kau inginkan?" tanyaku.
"Aku ingin ikut bersamamu memerangi orang-orang kafir," jawabnya.

"Perlihatkan wajahmu, aku ingin lihat, kalau engkau memang cukup dewasa dan wajib berjihad, akan aku terima. Namun jika masih kecil dan tidak wajib berjihad, terpaksa kutolak." kataku.

Ketika ia menyingkap wajahnya, tampaklah olehku wajah yang putih bersinar bak bulan purnama. Ternyata ia masih muda belia, dan umurnya baru 17 tahun.

"Wahai anakku, apakah kamu memiliki ayah?" tanyaku.
"Ayahku terbunuh di tangan kaum Salibis dan aku ingin ikut bersamamu untuk memerangi orang-orang yang membunuh ayahku," jawabnya.

Bagaimana dengan ibumu, masih hidupkah dia?" tanyaku lagi.
"Ya," jawabnya.
"Kembalilah ke ibumu dan jagalah ia baik-baik, kerana syurga ada di bawah telapak kakinya," pintaku kepadanya.

"Kau tidak kenal ibuku?" tanyanya
"Tidak," jawabku.

"Ibuku ialah pemilik amanah itu," katanya.
"Amanah yang mana," tanyaku
"Dialah yang mengamanahkan tali kuda itu," jawabnya.
"Tali kuda yang mana?" tanyaku keheranan.

"Subhanallah..!! Alangkah pelupanya Anda ini, tidak ingatkah Anda dengan wanita yang datang malam tadi menyerahkan seutas tali kuda dan bingkisan?"
"Ya , aku ingat," jawabku.

"Dialah ibuku! Dia menyuruhku untuk berjihad bersamamu dan mengambil sumpah dariku supaya aku tidak kembali lagi," katanya.


 
Ibuku berkata, "Wahai anakku, jika kamu telah berhadapan dengan musuh, maka janganlah kamu melarikan diri. Persembahkanlah jiwamu untuk Allah.
Mintalah kedudukan di sisi-Nya, dan mintalah agar engkau ditempatkan bersama ayah dan bapa saudaramu di Jannah. Jika Allah mengarniaimu mati syahid, maka mintalah syafa'at bagiku."

Kemudian ibu memelukku, lalu mendongakkan kepalanya ke langit seraya berkata, "Ya Allah.. Ya Ilahi.. inilah puteraku, buah hati dan belahan jiwaku, kupersembahkan dia untukmu, maka dekatkanlah dia dengan ayahnya."

"Aku benar-benar takjub dengan anak ini," kata Abu Qudamah, lalu anak itupun segera merayu, "Karenanya, kumohon atas nama Allah, janganlah engkau halangi aku untuk berjihad bersamamu. InsyaaAllah akulah asy-syahid putra asy-syahid. Aku telah hafal al-Qur'an. Aku juga pandai menunggang kuda dan memanah. Maka janganlah meremehkanku hanya karena usiaku yang masih muda," kata anak itu memelas.

Setelah mendengar permintaannya aku tidak kuasa melarangnya, maka kusertakanlah ia bersamaku.

Demi Allah, ternyata tidak pernah kulihat orang yang lebih cakap darinya. Ketika pasukan bergerak, dialah yang tercepat ketika kami singgah untuk beristirahat, dialah yang paling sibuk menguruskan kami, sedang lidahnya tidak pernah berhenti dari dzikrullah sama sekali.

Kemudian kamipun singgah di suatu tempat dekat pos perbatasan. Waktu itu matahari hampir tenggelam dan kami dalam keadaan berpuasa. Maka ketika kami hendak menyiapkan hidangan untuk berbuka dan makan malam, pemuda itu bersumpah atas nama Allah bahwa ialah yang akan menyiapkannya.
Tentu saja kami melarangnya karena ia baru saja keletihan karena perjalanan yang jauh tadi.

Akan tetapi pemuda itu berkeras untuk menyiapkan hidangan bagi kami.
Maka ketika kami beristirahat di suatu tempat, kami katakan kepadanya, "Jauhkan sedikit agar bau aroma makannya tidak mengganggu kami."

Maka pemuda itupun mengambil tempat yang agak jauh dari kami untuk memasak. Akan tetapi ia itu tidak kunjung tiba. Kami merasa bahwa ia agak terlambat menyiapkan hidangan Kami.

 
"Hai Abu Qudamah, tengoklah pemuda itu. Ia telah terlalu lama memasak.
Apa terjadi dengannya?" pinta seseorang kepadaku. Lalu aku bergegas menemuinya, maka kudapati pemuda itu telah menyalakan api unggun dan memasak sesuatu di atasnya. Tetapi karena terlalu letih, iapun tertidur sambil menyandarkan kepalanya pada sebuah batu.

Melihat keadaanya yang seperti itu, sungguh demi Allah aku tidak sampai hati mengganggu tidurnya, namun aku juga tidak mungkin kembali kepada sahabat-sahabatku dengan tangan hampa, karena sampai sekarang kami belum memakan apa-apa.

Akhirnya kuputuskan untuk menyiapkan makanan itu sendiri. Akupun mula i menyediakan masakan, sambil memasak, sesekali aku memandang pemuda itu. Suatu ketika terlihat olehku bahwa anak muda itu tersenyum. Lalu perlahan-lahan senyumnya makin melebar dan mulailah ia tertawa kegirangan.

Aku merasa takjub melihat tingkah lakunya itu, kemudian ia tersentak dari mimpinya dan terbangun.

Ketika melihatku menyiapkan masakan sendirian, ia nampak gugup dan terburu-buru mengatakan, "Paman, maafkan aku, nampaknya aku terlambat menyiapkan makanan bagi kalian."

"Ah tidak, sebenarnya kamu tidak terlambat ," jawabku.
"Sudah, tinggalkan saja masakan ini, biar aku yang menyiapkannya, aku adalah pelayan kalian selama jihad," kata pemuda itu.

"Tidak," sahutku, "Demi Allah, engkau tidak kuizinkan menyiapkan apa-apa bagi kami sampai engkau menceritakan kepadaku apa yang membuatmu tertawa sewaktu tidur tadi? Keadaanmu sungguh mengherankan," ujarku.

"Paman, itu cuma mimpi yang kulihat sewaktu tidur," kata pemuda itu.
"Mimpi apa yang engkau lihat?" tanyaku.

"Sudahlah, tidak usah bertanya tentangnya. Ini masalah pribadi antara aku dengan Allah," sahut pemuda itu.
"Tidak boleh,Mimpi apa yang engkau lihat?" tanyaku.

"Sudahlah, tidak usah bertanya tentangnya. Ini masalah pribadi antara aku dengan Allah," sahut pemuda itu.
"Tidak boleh, kumohon atas nama Allah agar kamu menceritakannya," kataku.

"Paman, dalam mimpi tadi aku melihat seakan aku berada di Jannah, kudapati Jannah itu dalam segala keindahan dan keanggunannya, sebagaimana yang Allah ceritakan dalam al-Qur'an.

Ketika aku berjalan-jalan di dalamnya dengan rasa kagum, tiba-tiba terlihat olehku sebuah istana megah yang berkilauan, dindingnya dari emas dan perak, tiangnya dari mutiara dan batu permata, dan gerbangnya dari emas.

Di tiang itu ada kerai-kerai yang terjuntai, lalu perlahan kerai itu tersingkap dan nampaklah gadis-gadis remaja yang cantik jelita, wajah mereka bersinar bak rembulan."

Kutatap wajah-wajah cantik itu dengan penuh kekaguman, sungguh, kecantikan yang luar biasa, kelu lidahku, lalu muncullah seorang gadis lain yang lebih cantik dari mereka, dengan telunjuknya ia memberi isyarat kepada gadis yang ada di sampingnya seraya mengatakan, "Inilah (calon) suami al-Mardhiyyah.. ya, dialah calon suaminya.. benar, dialah orangnya!"

Aku tidak faham siapa itu al-Mardhiyyah, maka aku bertanya kepadanya, "Kamukah al-Mardhiyyah..?"


"Aku hanyalah satu di antara dayang-dayang al-Mardhiyyah.." katanya.
"Anda ingin bertemu dengan al-Mardhiyyah..?" tanya gadis itu.

"Kemarilah.. masuklah ke sini, semoga Allah merahmatimu," serunya.

Tiba-tiba kulihat diatasnya ada sebuah bilik dari emas merah.. dalam bilik itu ada tilam yang bertahtakan permata hijau dan kaki-kakinya terbuat dari perak putih yang berkilauan.

Dan di atasnya.. seorang gadis remaja dengan wajah bersinar laksana surya!! Kalaulah Allah tidak memantapkan hati dan penglihatanku, niscaya butalah mataku dan hilanglah akalku karna tidak kuasa menatap kecantikannya..!!!
Tatkala ia menatapku, ia menyambutku seraya berkata, "Selamat datang, hai Wali Allah dan Kekasih-Nya. Aku diciptakan untukmu, dan engkau adalah milikku."

Mendengar suara merdu itu, aku berusaha mendekatinya dan menyentuhnya..
namun sebelum tanganku sampai kepadanya, ia berkata, "Wahai kekasihku dan tambatan hatiku.. semoga Allah menjauhkanmu dari segala kekejian.. urusanmu di dunia masih tersisa sedikit.. InsyaaAllah besok kita akan bertemu selepas Dzuhur."
Akupun tersenyum dan senang mendengarnya."

Abu Qudamah melanjutkan, "Selesai mendengar cerita si pemuda yang indah tadi, aku berkata kepadanya, "InsyaaAllah mimpimu merupakan pertanda baik."

Lalu kamipun makan hidangan tadi bersama-sama, kemudian meneruskan perjalanan kami menuju pos perbatasan.

Setibanya di pos perbatasan kami menurunkan semua muatan dan bermalam di sana. Keesokan harinya setelah menunaikan sholat fajar, kita bergerak ke medan pertempuran untuk menghadapi musuh.

Panglima (komandan) bangun untuk mengatur barisan. Ia membaca permulaan Surat Al-Anfaal. Ia mengingatkan kami akan besarnya pahala jihad fi sabilillah dan mati syahid, sambil terus mengobarkan semangat jihad kaum Muslimin.

Abu Qudamah menceritakan, "Tatkala kuperhatikan orang-orang di sekitarku, kudapati masing-masing dari mereka mengumpulkan anak buahnya di kelilingnya. Adapun si pemuda, ia tidak punya ayah yang memanggilnya, atau bapa saudara yang mengajaknya, dan tidak pula saudara yang mendampinginya.

Akupun terus mengikuti dan memperhatikan gerak-geriknya, lalu terlihatlah olehku bahwa ia berada di barisan terdepan. Maka segeralah kukejar dia, kusibak barisan demi barisan hingga sampai kepadanya, kemudian aku berkata, "Wahai anakku, apakah engkau ada pengalaman berperang..?"

"Tidak.. tidak pernah. Ini justru pertempuranku yang pertama kali melawan orang kafir," jawab pemuda itu.

"Wahai anakku, sesungguhnya perkara ini tidak semudah yang engkau bayangkan, ini adalah peperangan. Satu pertumpahan darah di tengah gemerincingnya pedang, ringkikan kuda, dan hujan panah.

Wahai anakku, sebaiknya engkau ambil tempat di belakang saja. Jika kita menang engkaupun ikut menang, namun jika kita kalah engkau tidak menjadi korban pertama," pintaku kepadanya.

Lalu dengan tatapan penuh keheranan ia berkata," Paman, engkau berkata seperti itu kepadaku..!?"
"Ya, aku mengatakan seperti itu kepadamu," jawabku.

"Paman.. apa engkau menginginkanku jadi penghuni neraka..?" tanyanya.
"NA'uudzubillaah!! Sungguh, bukan begitu.. kita semua tidak berada di medan jihad seperti ini kecuali karena lari dari neraka dan memburu syurga," jawabku.

Lalu kata si pemuda, "Sesungguhnya Allah berfirman, "Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka(mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (strategi) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya itu."(QS. Al-Anfaal: 15-16)

 

"Adakah Paman menginginkan aku berpaling membelakangi mereka sehingga tempat kembaliku adalah neraka?" tanyanya.

Akupun heran dengan kegigihannya dan sikapnya yang memegang teguh ayat tersebut. Kemudian aku berusaha menjelaskan, "Wahai anakku, ayat itu maksudnya bukan seperti yang engkau katakan." Namun tetap saja ia berkeras tidak mau berpindah ke belakang.

Akupun menarik tangannya secara paksa, membawa ke akhir barisan. Namun ia justru menarik lengannya kembali seakan ingin melepaskan diri dari genggamanku. Lalu perangpun dimulai dan aku terhalang oleh pasukan berkuda darinya.

Dalam kancah pertempuran itu terdengarlah derap kaki kuda, diiringi gemerincing pedang dan hujan panah, lalu mulalah kepala-kepala berjatuhan satu-persatu. Bau hanyir darah tercium di mana-mana. Tangan dan kaki bergelimpangan. Dan tubuh-tubuh tidak bernyawa terbujur bermandi darah.

Demi Allah, perang itu telah menyibukkan setiap orang akan dirinya sendiri dan melupakan orang lain. Sebatan dan kilatan pedang di atas kepala yang tidak henti-hentinya, menjadikan suhu memuncak, seakan-akan ada tungku api yang menyala di atas kami.

Perangpun makin memuncak, kedua pasukan bertempur habis-habisan sampai matahari tergelincir dan masuk waktu Dzhuhur. Ketika itulah Allah berkenan menganugerahkan kemenangan bagi kaum muslimin, dan pasukan Salib lari tunggang-langgang.

Setelah mereka kalah dan lari, aku berkumpul bersama beberapa orang sahabatku untuk menunaikan sholat Dzhuhur. Selepas sholat, mulailah masing-masing dari kami mencari sanak keluarganya di antara para korban perang.

Sedangkan si pemuda itu.. tidak ada seorangpun yang mencarinya atau menanyakan kabarnya. Maka kukatakan dalam hati, "Aku harus mencarinya dan mengetahui keadaannya, barangkali ia terbunuh, terluka atau jatuh dalam tawanan musuh?"

Akupun mulai mencarinya di tengah para korban, aku menoleh ke kanan dan kiri kalau-kalau ia terlihat olehku. Di masa itulah aku mendengar ada suara yang lemah di belakangku yang mengatakan, "Saudara-saudara.. tolong panggilkan pamanku Abu Qudamah kemari.. panggilkan Abu Qudamah kemari."

Aku menoleh kearah suara tadi, ternyata tubuh itu ialah tubuh si pemuda dan ternyata puluhan tombak telah menusuk tubuhnya. Ia terpijak oleh pasukan berkuda. Dari mulutnya keluar darah segar. Badannya terkoyak-koyak (luka) dan tulangnya patah parah.

Ia terlantar seorang diri di tengah padang pasir. Maka aku segera bersimpuh di hadapannya dan berteriak sekuat tenagaku, "Akulah Abu Qudamah..!! Aku ada di sampingmu..!!"

"Segala puji bagi Allah yang masih menghidupkanku hingga aku dapat berwasiat kepadamu.. maka dengarlah baik-baik wasiatku ini.." kata pemuda itu.

Abu Qudamah mengatakan, sungguh demi Allah, tidak kuasa menahan tangisku. Aku teringat akan segala kebaikannya, sekaligus sedih akan ibunya yang tinggal di Raqqah. Tahun lalu ia dikejutkan dengan kematian suami dan saudara-saudaranya, lalu sekarang dikejutkan dengan kematian anaknya.

Aku menyingsingkan sebahagian kainku lalu mengusap darah yang menutupi wajah pucatnya itu. Ketika ia merasakan sentuhanku ia berkata, "Paman.. usaplah darahku dengan pakaianku, dan jangan engkau usap dengan pakaianmu."

Demi Allah, aku tidak kuasa menahan tangisku dan tidak tahu harus berkata apa. Sesaat kemudian, anak muda itu berkata dengan suara yang lemah, "Paman.. berjanjilah bahwa sepeninggalku nanti engkau akan kembali ke Raqqah, dan memberi kabar gembira bagi ibuku bahwa Allah telah menerima hadiahnya, dan bahwa anaknya telah gugur di jalan Allah dalam keadaan maju dan pantang mundur. Sampaikan pula kepadanya jikalau Allah menakdirkanku sebagai syuhada, akan kusampaikan salamnya untuk ayah dan baba saudaraku di jannah.

 
Paman.. aku khawatir kalau nanti ibu tidak mempercayai ucapanmu. Maka ambillah pakaianku yang berlumuran darah ini, karena bila ibu melihatnya ia akan yakin bahwa aku telah terbunuh, dan insyaa Allah kami bertemu kembali di jannah.

Paman.. setibanya engkau di rumahku, akan engkau temui seorang gadis kecil berumur sembilan tahun. Ia adalah adikku.. tidak pernah aku masuk rumah kecuali ia menyambutku dengan keceriaan, dan tidak pernah aku pergi kecuali diiringi isak tangis dan kesedihannya. Ia begitu terkejut ketika mendengar kematian ayah tahun lalu, dan sekarang ia akan terkejut mendengar kematianku.

Ketika melihatku mengenakan pakaian safar ia berkata dengan berat hati, "Abang.. jangan engkau tinggalkan kami lama-lama.. segeralah pulang.. !!"

Paman.. jika engkau bertemu dengannya maka hiburlah hatinya dengan kata-kata yang manis. Katakan kepadanya bahwa abangmu mengatakan, "Allah-lah yang akan menggantikanku mengurusmu."

Abu Qudamah melanjutkan, "Kemudian anak muda itu berusaha menguatkan dirinya, namun nafasnya mulai sesak dan kata-katanya tidak jelas. Ia berusaha kedua kalinya untuk menguatkan dirinya dan berkata,

"Paman.. demi Allah, mimpi itu benar.. mimpi itu sekarang menjadi kenyataan. Demi Allah, masa ini aku benar-benar sedang melihat al-Mardhiyyah dan mencium bau wanginya."

Lalu pemuda itu mulai sekarat, dahinya berpeluh, nafasnya tersekat-sekat dan kemudian wafat di pangkuanku."

Abu Qudamah berkata, "Maka kulepaskan pakaiannya yang berlumuran darah, lalu kuletakkan dalam sebuah karung, kemudian kukebumikan dia. Selesai mengebumikannya, keinginan terbesarku ialah segera kembali ke Raqqah dan menyampaikan pesannya kepada ibunya.

Maka akupun kembali ke Raqqah. Aku tidak tahu siapa nama ibunya dan dimana rumah mereka.

Tatkala aku menyusuri jalan-jalan di Raqqah, terlihat olehku sebuah rumah. Di depan rumah itu ada gadis kecil berumur Sembilan tahun yang berdiri menunggu kedatangan seseorang. Ia melihat-lihat setiap orang yang lalu di depannya. Setiap kali melihat orang yang baru pulang dari bepergian ia bertanya, "Paman.. Anda datang dari mana?"

"Aku datang dari jihad," kata lelaki itu.
"Kalau begitu abangku ada bersamamu..?" tanyanya.
"Aku tidak kenal, siapa abangmu..?" kata lelaki itu sambil berlalu.

Lalu melintaslah orang kedua, dan tanyanya, "Akhi, Anda datang dari mana?"
"Aku datang dari jihad," jawabnya.
"Abangku ada bersamamu?" tanya gadis itu.
"Aku tidak kenal, siapa abangmu..?" kata lelaki itu sambil berlalu.

Lalu melintasalah orang ketiga, keempat, dan demikian seterusnya. Lalu setelah putus asa menanyakan saudaranya, gadis itu menangis sambil tertunduk dan berkata, "Mengapa mereka semua kembali tetapi abangku tidak kunjung kembali?"

Melihat ia seperti itu, akupun datang menghampirinya. Ketika ia melihat tanda-tanda musafir padaku dan tas yang kubawa, ia bertanya, "Paman.. Anda datang dari mana?"
"Aku datang dari jihad," jawabku.
"Kalau begitu abangku ada bersamamu?" tanyanya.

"Dimanakah ibumu?" tanyaku.
"Ibu ada di dalam rumah," jawabnya.
"Sampaikan kepadanya agar ia keluar menemuiku," perintahku kepadanya.

Ketika perempuan tua itu keluar, ia menemuiku dengan wajah tertutup pakaiannya. Ketika aku mendengar suaranya dan ia mendengar suaraku, ia bertanya, "Hai Abu Qudamah, engkau datang hendak mengucapkan takziah atau memberi kabar gembira?"

Maka tanyaku, "Semoga Allah merahmatimu. Jelaskanlah kepadaku apa yang engkau maksud dengan ucap takziah dan kabar gembira itu?"

"Jika engkau hendak mengatakan bahwa anakku telah gugur di jalan Allah, dalam keadaan maju dan pantang mundur berarti engkau datang membawa kabar gembira untukku, karena Allah telah menerima hadiahku yang telah kusiapkan untuk-Nya sejak tujuh belas tahun silam.

Namun jika engkau hendak mengatakan bahwa anakku kembali dengan selamat dan membawa ghanimah, berarti engkau datang untuk bertakziah kepadaku, karena Allah belum berkenan menerima hadiah yang kupersembahkan untuk-Nya," jelas si perempuan tua.

Maka ku katakan, "Kalau begitu aku datang membawa kabar gembira untukmu.
Sesungguhnya anakmu telah terbunuh fi sabilillah dalam keadaan maju dan pantang mundur. Ia bahkan masih menyisakan sedikit kebaikan, dan Allah berkenan untuk mengambil sebahagian darahnya hingga ia ridha."


'Tidak!, kurasa engkau tidak berkata jujur," kata si ibu sambil memandang kepada bekas yang kubawa, sedang puterinya menatapku dengan tenang.

Maka ku keluarkanlah isi tas tersebut, kutunjukkan kepadanya pakaian puteranya yang berlumuran darah. Nampak serpihan wajah anaknya berjatuhan dari kain itu, diikuti titisan darah yang bercampur beberapa helai rambutnya.

"Bukankah ini adalah pakaiannya.. dan ini serbannya.. lalu ini pakaian luarnya yang engkau kenakan kepada anakmu sewaktu berangkat berjihad..?" kataku.
"Allaahu Akbar..!!" teriak si ibu kegirangan.

Adapun gadis kecil tadi, ia justru meraung seperti histeris lalu jatuh terkulai tidak sedarkan diri. Tidak lama kemudian ia mulai merintih, "Aakh..! aakh..!"

Si ibu merasa cemas, ia bergegas masuk kedalam mengambil air untuk puterinya, sedang aku duduk di samping kepalanya, menjiruskan air kepadanya.

Demi Allah, ia tidak sedang merintih.. ia tidak sedang memanggil-manggil abangnya. Akan tetapi ia sedang sekarat!! Nafasnya semakin berat.. dadanya kembang kempis.. Lalu perlahan rintihannya terhenti. Ya, gadis itu telah tiada.

Setelah puterinya tiada, ia mendakapnya lalu membawanya ke dalam rumah dan menutup pintu di hadapanku. Namun sayup-sayup terdengar suara dari dalam, "Ya Allah, aku telah merelakan kepergian suamiku, saudaraku, dan anakku di jalan-Mu. Ya Allah, kuharap Engkau meridhaiku dan mengumpulkanku bersama mereka di jannah-Mu."

Abu Qudamah berkata, "Maka kuketuk pintu rumahnya dengan harapan ia akan membukakan. Aku ingin memberinya sejumlah uang, atau menceritakan kepada orang-orang tentang kesabarannya sehingga kisahnya menjadi teladan. Akan tetapi sungguh, ia tidak membukanya untukku ataupun menjawab seruanku.

"Sungguh demi Allah, tidak pernah kualami kejadian yang lebih menakjubkan dari ini," kata Abu Qudamah mengakhiri kisahnya

Lihatlah, bagaimana si ibu mengorbankan segala yang ia miliki demi mengharapkan kebahagiaan ukhrawi. Ia memerintahkan anaknya untuk berjihad fi sabilillah demi keridhaan Ilahi. Maka bagaimanakah nasib para pemalas seperti kita. Apa yang telah kita korbankan demi keridhaan-Nya?"
  

Sumber: al-Musytaaquuna ilal Jannah
facebook Page: www.facebook.com/riska.pratama.ardi