Jumat, 17 November 2017

Memahami Dua Kalimat Syahadat

Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal
Ada baiknya kita menengok kembali syahadatain kita. Syahadatain artinya dua kalimat syahadat. Pasti kita sudah hafal dengan dua kalimat ini. Syahadatain ini sangat istimewa di dalam Islam. Kita membacanya minimal sekali dalam setiap shalat. Selain dalam shalat, syahadatain dikumandangkan di seluruh muka bumi dalam bentuk adzan atau iqamat.

Dahulu pernah ada perdebatan mengenai metode cara memanggil orang untuk shalat. Ada usulan agar menggunakan terompet, meniru cara umat Yahudi pada masa itu. Ada juga usulan agar menggunakan loncen seperti cara umat Nasrani.
Rasulullah Shalallahu 'alaihi 'wasalam kemudian mensyariatkan adzan dan iqamat sebagaimana yang kita kenal hari ini. Demikianlah umat Islam dilatih hingga terbiasa untuk merespon kalimat-kalimat tauhid, termasuk syahadatain. Dengan demikian, syahadatain seharusnya menjadi kalimat yang sangat dekat dengan hati kita, jika kita memang beriman.
Kalimat syahadat yang pertama adalah kesaksian tentang satu-satunya Ilah, yaitu Allah Subhanahu 'wa 'ta'ala Adapun kalimat kedua adalah kesaksian tentang status Muhammad Shalallahu 'alahi 'wasalm sebagai utusan-Nya. Kedua kalimat ini tak bisa dipahami secara terpisah, karena keduanya adalah ‘satu paket’. Menyatakan bahwa Allah Subhanahu 'wa 'ta'ala adalah satu-satunya Ilah bagi kita menunjukkan penyerahan diri yang total. Perlu diingat, penyerahan diri yang dimaksud bukanlah sikap pasrah yang pasif. Sebab, berserah diri kepada Allah Subhanahu 'wa 'ta'ala adalah sama dengan kesediaan untuk menjalankan perintah-perintah-Nya.
Untuk membantu manusia memahami tugas-tugasnya sebagai hamba, Allah pun mengutus para Nabi dan Rasul. Para Nabi dan Rasul ini penting sekali, karena tanpa mereka kita tak mungkin memahami agama. Dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa Allah memang sengaja mengutus para Nabi dari golongan manusia, sebab hanya manusialah yang bisa mengajari manusia lainnya secara sempurna. Dalam hal mengendalikan hawa nafsu, misalnya, malaikat tak bisa mengajari manusia dengan sempurna. Sebab, malaikat itu makhluk yang tidak punya hawa nafsu untuk durhaka kepada Allah. Mereka tidak bisa memberi contoh dalam hal ini. Malaikat juga tidak bisa mengajari manusia caranya menahan amarah, mengobati hati yang sedih, dll.
Dalam proses turunnya wahyu, Malaikat Jibril hanya mengajarkan bacaan-bacaan. Adapun pemahamannya langsung dari Allah. Itulah sebabnya ketika wahyu turun, seolah-olah pemahaman itu langsung ditanamkan dalam benak Rasulullah s.a.w. Oleh karena itu, kesaksian tentang status Muhammad s.a.w sebagai Rasul sangatlah penting karena beliau adalah acuan kita.
Para sahabat menerima wahyu yang langsung disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu 'alahi 'wasalam, tapi adakalanya mereka salah paham. Misalnya, ada yang puasa setiap hari di luar Ramadhan, shalat sepanjang malam, bertekad tidak menikah, dll. Rasulullah Shalallahu 'alahi 'wasalm kemudian menegurnya, karena hal-hal tersebut dipandang berlebihan dalam agama.
Inilah peran sentral para Nabi dan Rasul, karena mereka menjadi teladan bagi umatnya. Rasulullah Shalallahu 'alaihi 'wasalam juga bertugas mengawasi para sahabatnya agar tidak salah dalam mengamalkan ajaran Islam. Jika tidak mencontoh Rasulullah Shalallahu 'alaihi 'wasalam, maka jangan mengaku-ngaku sebagai umatnya. Dan karena Rasulullah s.a.w adalah utusan Allah, maka ketidakpatuhan padanya adalah pembangkangan pada Allah.
Kaum orientalis dahulu biasa menyebut Islam dengan sebutan “Mohammedanism.” Ini bersumber dari kesalahpahaman. Lantaran kita mengikuti beliau, kita disangka menyembah beliau. Padahal, kepatuhan kita pada beliau adalah konsekuensi dari penyerahan diri kepada Allah. Penyerahan diri (kepada Allah) yang benar adalah yang mengikuti keteladanan Rasulullah Shalallahu 'alaihi 'wasalam. Mengurangi syariat yang beliau ajarkan adalah kecurangan, dan menambahkannya adalah berlebihan.
Allah Subhanahu 'wa 'ta'ala, menciptakan mekanisme “ma’shum” untuk menghilangkan keraguan terhadap Rasulullah s.a.w. Mekanisme ini menjaga Rasulullah Shalallahu'alaihi 'wasalam dari segala kesalahan. Ini bukan berarti beliau tak pernah salah. Namun jika beliau keliru, langsung dikoreksi oleh Allah (lihat Qs. ‘Abasa). Koreksi-koreksi yang dilakukan langsung oleh Allah ini justru membuktikan bahwa Rasulullah Shalallahu'alaihi 'wasalam memang dijaga dari kesalahan.
Dengan demikian, umat Islam meyakini bahwa ajaran beliau pastilah benar, meskipun kita belum paham hikmah dan tujuannya. Hikmah lainnya, kita pun dapat belajar cara mengoreksi kesalahan sendiri dengan meneladani RasulullahShalallahu'alaihi 'wasalam
Dengan kedalaman makna yang demikian, kita dapat memahami mengapa syahadatain menjadi syarat bagi keislaman seseorang. Seorang muallaf boleh belajar shalat secara bertahap, pelan-pelan belajar shaum, tapi syahadatain-nya harus sempurna. Sebab, syahadatain inilah yang akan membedakan seorang Muslim dengan yang lainnya.
Tentu saja, syahadatain yang dimaksud di sini bukanlah sekedar ucapan di bibir, alias basa-basi. Syahadatain adalah ikrar komitmen kita terhadap Allah. Ibadah bisa disempurnakan seiring waktu, tapi komitmen kita harus ada sejak awal. Dari sini, kita bisa membedakan antara Muslim yang saleh, Muslim yang jahil, orang kafir yang baik, dan orang kafir yang jahat.
Islam menetapkan ukuran pembeda manusia, yaitu ketaqwaannya. Jadi, derajat kemuliaan setiap manusia tidak sama di hadapan Allah. Adapun level ketaqwaan diukur dari kehati-hatiannya. Orang bertaqwa bukanlah orang yang tidak pernah berbuat salah. Rasulullah Shalallahu'alaihi 'wasalam pun pernah salah, namun setiap kesalahannya selalu dikoreksi dengan sempurna. Itulah taqwa. Beliau juga senantiasa berhati-hati agar tidak melanggar aturan Allah. Ini juga bagian dari sifat taqwa.
Karena itu kita bisa membedakan antara Muslim yang saleh dan yang jahil. Yang saleh adalah yang berhati-hati, yang jahil adalah yang cuek. Tahu dan mengakui kewajiban shalat, tapi tidak dilaksanakan, itulah contoh perilaku Muslim yang jahil. Muslim yang baik tidak akan dengan sengaja melanggar perintah Allah. Kalau sesekali khilaf, dia langsung taubat.
Adapun orang kafir adalah yang tidak memiliki komitmen syahadatain. Mereka tidak tunduk pada Allah dan tidak mencontoh Rasulullah Shalallahu'alaihi 'wasalam. Orang kafir ada yang baik dan yang jahat. Yang baik adalah yang bisa bergaul dengan baik bersama kita, sesuai norma-norma yang wajar. Adapun orang kafir yang jahat adalah yang mengganggu dan memerangi umat Muslim. Yang ini harus dilawan.
Sekarang muncul pertanyaan: apakah orang kafir yang baik bukan main itu takkan dapat pahala? Sebaliknya, apakah Muslim yang jahil luar biasa itu akan tetap dianggap beriman? Kita dapat menggunakan ilustrasi seorang buruh pabrik yang sangat rajin, cermat kerjanya, dan jujur. Pada akhir bulan, hatinya berbunga-bunga akan menerima upah dari kerja kerasnya. Apa dinyana, ia malah dimarahi oleh staf HRD sebab ternyata ia bukan pegawai resmi di pabrik itu.
Sebaik-baiknya manusia, jika ia tidak berkomitmen menjadi hamba Allah, maka takkan dapat pahala dari Allah. Sederhananya: jika beramal bukan karena Allah, mengapa minta balasan dari Allah? Ini adalah bukti kasih sayang Allah. Yang Allah minta hanyalah pengakuan dari kita sebagai hamba-Nya. Apakah ini terlalu berat? Untuk segala kenikmatan yang kita peroleh, Allah hanya meminta pengakuan kita sebagai hamba-Nya.
Penyembah berhala seharusnya meminta balasan dari berhala-berhalanya, bukan dari Allah. Ini sesuai dengan logika. Sebaliknya, hamba Allah yang jahil, selama ia masih mengakui otoritas Allah, maka ia bisa mendapat pahala dari Allah. Namun, sudah barang tentu, karena kejahilannya, bisa jadi dosanya lebih banyak daripada pahalanya.
Di antara yang beriman dan yang kafir adalah orang-orang munafiq. Mereka mengaku beriman, padahal tidak. Mereka mengaku sebagai umat Muhammad Shalallahu'alaihi 'wasalam, namun syariatnya diabaikan. Mereka mengaku beriman pada Al-Qur’an, tapi hendak merevisinya. Mereka mengaku Muslim namun tidak tunduk patuh pada aturan agama. Mereka mengaku tunduk patuh namun bangga meninggalkan shalat Jum’at, bahkan mengumumkannya. Mereka mengaku beragama namun hendak mencampuradukkan kesalehan dan kemaksiatan.
Semoga pemahaman kita terhadap syahadatain semakin mendalam, agar kita tidak menjadi Muslim yang jahil, munafiq, atau kafir.
Referensi: www.lampuislam.id 

Pacaran Islami: Memangnya ada?

Omnia vincit Amor: et nos cedamus Amori—Cinta menaklukkan segalanya: dan kita takluk demi cinta.
Bagi remaja, bila istilah itu disebut-sebut bisa membuat jantung berdetak lebih kencang. Siapa sih yang nggak semangat bila bercerita seputar pacaran? Semua orang yang normal pasti senang.
Yang cowok berkhayal punya tampang sekeren personelnya “Westlife” supaya dikejar-kejar kaum Hawa, baik yang mengejar ingin dikencani maupun yang ingin nagih utang (hi..hi..hi..). Coba aja bayangin, wanita mana, sih, yang nggak deg-degan kalo lihat tampang se-cute Mark atawa Kian? Wuih, histeris, Brur! Maklum, cowok ABG yang tergabung dalam kelompok Westlife ini cool banget. Jadi, nggak heran, ‘kan, kalo anak cewek merasa nyaman sekaligus bangga dapat gacoan model begitu?

Bicara soal rasa cinta memang diakui mampu membangkitkan semangat hidup. Suer, nggak bohong! Termasudk anak masjid, yang katanya ‘dicurigai’ tak kenal cinta. Sama saja, anak masjid juga manusia, yang memiliki rasa cinta dan kasih sayang. Pasti dong, mereka juga butuh cinta dan dicintai. Soalnya, perasaan seperti itu wajar dan alami. Malah aneh bila ada orang yang nggak kenal cinta, jangan-jangan bukan orang. Nah, biasanya bagi remaja yang sedang kasmaran, mereka mewujudkan cinta dan kasih sayangnya lewat aktivitas pacaran. Kayak gimana, sih? Deuuh, pura-pura nggak tahu. Itu tuh, cowok dan cewek yang saling tertarik, lalu mengikat janji, dan akhirnya ada yang sampai hidup bersama layaknya suami-istri.
Omong-omong soal pacaran, ternyata sekarang ada gosip baru tentang pacaran islami. Ini kabar bener apa cuma upaya melegalkan aktivitas baku syahwat itu? Malah disinyalir, katanya banyak pula yang melakukannya adalah anak masjid. Artinya mereka itu pengen Islam, tapi pengen pacara juga. Ah, ada-ada saja!
Nggak Ada Pacaran Islami!
Memang betul, kalo dikatakan bahwa ada anak masjid yang meneladani tingkah James Van Der Beek dalam serial Dawson’s Creek, tapi bukan berarti kemudian dikatakan ada pacaran Islami. Itu nggak benar. Siapa pun yang berbuat maksiat, tetap saja berdosa. Jangan karena yang melakukan adalah anak masjid lalu ada istilah pacaran Islami. Nggak bisa, jangan-jangan nanti kalo anak masjid kebetulan lagi nongkrongin judi togel, disebut judi islami? Wah gawat bin bahaya, bro!
Tentu lucu bin menggelikan dong bila suatu saat nanti teman-teman remaja yang berstatus anak masjid atau aktivis dakwah terkena “virus” cinta kemudian mengekspresikannya lewat pacaran. Itu nggak bisa disebut pacaran islami karena memang nggak ada istilah itu. Jangan salah sangka, mentang-mentang pacarannya pakai jilbab, baju koko, dan berjenggot, lalu mojoknya di masjid kita sebut aktivitas pacaran islami. Wah, salah besar itu.
Suer, kita juga nggak pernah dengar istilah daging babi islami, hanya gara-gara disembelihnya dengan menyebut nama Allah, misalkan. Ya nggak? Begitulah, tak ada istilah pacaran islami seperti halnya tak aa istilah daging babi islami. Jangan sampai kita nekat membungkus kemaksiatan dengan embel-embel Islam. Catet itu, Brur!
Lalu, bagaimana dengan sepak terjang teman-teman remaja yang terlanjur menganggap aktivitas baku syahwatnya sebagai pacaran Islami? Sekali lagi dosa! Iya dong. Soalnya, siapapun yang melakukan kemaksiatan jeals dosa sebagai ganjarannya. Apalagi anak masjid. Malu-maluin aja.
Jadi memang pacaran islami itu nggak ada. Tapi, kenapa istilah itu bisa muncul? Boleh jadi karena teman-teman remaja hanya punya semangat keislaman tapi minus tsaqafah pengetahuan islamnya.
Mengendalikan Cinta
Siapa bilang cinta tak bisa dikendalikan? Bisa, brur! Malah kalo tahu aturan mainnya, enjoy saja, tuh. Barangkali yang merasa sulit mengendalikan cinta karena memang terlalu memanjakan hawa nafsunya. Bila yang terjadi demikian, berarti memang rada-rada sulit untuk bisa mengendalikan. Ibarat kamu lagi sakit, tapi tak berusaha untuk menyembuhkannya.
Disinilah perlunya ilmu untuk mengendalikan cinta supaya nggak liar tak karuan. Kalo liar, bisa gawat. Apalagi menimpa anak masjid atawa aktivis dakwah di sekolah. Malu dong kalo sampe aktivis dakwah pacaran. Bukan hanya memalukan, tapi juga dosa.
Setiap orang boleh mencintai dan dicintai. Itu haknya, termasuk remaja seusia kamu. Tapi, bukan berarti kemudian menghalalkan segala cara, seperti pacaran. Brur, aktivitas itu sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Kamu ‘kan seorang muslim, masak mau melakukan tradisi yang bukan berasal dari Islam. Suer, budaya pacaran itu tak dikenal dalam kamus ajaran Islam. Nggak ada itu. Catet, ya!
Yakin deh, cinta itu bisa dikendalikan. Yang nggak bisa itu adalah dimatikan. Ini memang urusan hati. Jadi, sejauh mana hati kita bisa menahan hawa nafsu yang bergejolak dalam gairah jiwa muda kita. Kamu tetap harus tahu aturan main dalam Islam. Wajib kamu ketahui bahwa Islam tak pernah mengekang umatnya. Kalaupun anda aturan yang menurut kamu mengekang aktivitas kamu, itu adalah upaya Islam untuk menyelamatkan umatnya. Ya, itulah risiko kamu milih Islam, yang tentu saja itu adalah pilihan terbaik buat kamu.
Sobat, hal yang paling mendasar sebagai seorang muslim adalah beriman kepada Allah S.W.T. Iman kepada Allah itu bukan cuma mengimani keberadaan-Nya saja, yakni hubungan penciptaan (shilatul khalqi), tapi sekaligus harus ada hubungan perintah-perintah (shilatul awaamir). Nah, dengan kata lain, wajib taat terhadap apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah S.W.T,
“Dan, tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi wanita yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzab:36)
Ketaatan yang kamu bangun itu akan menciptakan dinding yang tebal agar kamu tak tergoda untuk melihat atau melakukan aktivitas yang “nggak-nggak.” Terus kamu juga harus memahami bahwa perasaan cinta itu muncul juka ada rangsangan dari luar. Maka, langkah bijak dan logis adalah menutup seluruh peluang yang bisa membuat kamu tergoda untuk melakukannya. Hindari aktivitas yang menjurus kepada pikiran-pikiran yang liar, yang membuat kamu merasa gatal bila tak menempuh jalur pacaran untuk mengekspresikan cinta kamu. Sebaliknya, kamu harus menyibukkan diri dalam aktivitas yang tidak bersentuhan dengan perasaan-perasaan cinta terhadap lawan jenis kamu. Olahraga atau full ngurus pengajian dan rajin puasa, insya Allah cara itu bisa mengusir keinginan kamu untuk melakukan pacaran.
Zina? No Way!
Idih, ngeri bin serem! Ketimbang zina, menikah lebih aman dan berpahala. Iya, nggak? Tapi sebentar, kita kan masih sekolah, masak mau nekat nikah, sih? Ya, itu persoalannya.
Sekarang, tak ada jalan lain bila kamu tetap ngotot ingin menyalurkan “aspirasi” kamu kepada lawan jenis kecuali nikah. Nikah adalah sarana legal dan aman secara syar’i untuk menumpahkan kasih sayang kita seutuhnya kepada lawan jenis. Firman Allah S.W.T,
Bahkan, Al-Qur’an juga menyisipkan larangan untuk berbuat zina. Allah S.W.T berfirman,
“Dan, janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya, zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (al-Israa’:32)
Inilah Al-Qur’an pedoman yang paripurna yang bakal menyelamatkan kita.
Kembali ke urusan cinta. Memang bila kamu tetap ngotot ingin berkasih sayang dengan putri pujaan kamu, atau untuk yang putri dengan “Arjuna” pilihannya, ya sudah, nikah saja. Habis perkara. Iya, nggak? Kalo ternyata masih pikir-pikir karena masih sekolah, mendingan keinginan itu “dikubur” dulu untuk sementara. Kamu fokuskan untuk belajar. Tapi ingat, jangan coba-coba nekat untuk “mendekati” kekasihmu dengan cara pacaran.
Soalnya, Non, pacaran itu adalah pintu gerbang menuju perzinaan. Makanya, kita wanti-wanti banget jangan sampai kamu ngotot melakukan aktivitas baku syahwat yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Jadi, sekali lagi, pacaran islami itu nggak ada dalam kamus ajaran Islam. Kalaupun boleh mengatakan, ada sih “pacaran” islami, yakni nikah dulu!

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku Jangan Jadi Bebek karangan O. Solihin Hal. 118-125 dengan perubahan.

Referensi: www.lampuislam.id
Facebook Page: www.facebook.com/riska.pratama.ardi