Kamis, 26 Januari 2017

Apakah Seseorang yang Bunuh Diri sudah di Takdirkan Allah?

Artikel ini masih berhubungan dengan artikel sebelumnya yang berjudul "Apakah Orang yg Masuk Neraka sudah di Takdirkan Allah?"  Sebaiknya bacalah dahulu artikel sebelumnya itu sebelum membaca artikel ini untuk menambah wawasan kita.

Berikut ini adalah pertanyaan yang dilontarkan seorang penanya pada situs eramuslim.com dan jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo.
Pertanyaan:
1- Apakah makna takdir dan nasib sama?
2- Apakah bunuh diri, meninggal dalam kecelakaan, dan meninggal saat Jihad termasuk kedalam Takdir Allah s.w.t?

Jawaban:
Perbedaan Takdir dan Nasib
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasib diartikan dengan sesuatu yang ditentukan oleh Tuhan atas diri seseorang; misalnya, nasib membawanya terhempas di Jakarta. Nasib baik (nasib mujur) adalah keberuntungan, misalnya ; ia selalu memperoleh nasib baik di usahanya. Nasib buruk adalah kemalangan, misalnya; nasib buruk telah menimpa keluarganya.
Kata nasib sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti al hazzhu min kulli syai’in (bagian dari segala sesuatu) bentuk pluralnya adalah anshiba dan anshibah. Dari aspek majaz : jika disebutkan lii nashiibun minhu artinya kami mempunyai bagian tertentu pada asalnya. An nashib juga bermakna al haudhu yaitu bagian dari daerah tertentu di bumi sebagaimana disebutkan al Jauhari. (Lisanul Arab juz I hal 974, Maktabah Syamilah)
Dari kedua makna tersebut, nasib bisa diartikan dengan bagian yang diterima seseorang, baik itu berupa kesenangan maupun kesusahan, keuntungan maupun kerugian, kebaikan maupun keburukan.
Sedangkan takdir berasal dari kata al qodr yang menurut syariat adalah bahwasanya Allah swt mengetahui ukuran-ukuran dan waktu-waktunya sejak azali kemudian Dia swt mewujudkannya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya sesuai dengan ilmu-Nya. Dan Dia swt juga menetapkannya di Lauh Mahfuzh sebelum menciptakannnya, sebagaimana disebutkan didalam hadits, ”Yang pertama kali diciptakan Allah adalah pena. Dia swt mengatakan kepadanya, ’Tulislah.’ Pena itu mengatakan, ’Apa yang aku tulis?’ Dia swt mengatakan, ’Tulislah segala sesuatu yang akan terjadi.” (Syarhul aqidah al wasathiyah juz I hal 32, Maktabah Syamilah)
Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam ini—tidak hanya pada manusia—baik pada mahkluk hidup maupun benda mati, yang bergerak maupun yang diam, yang kecil maupun yang besar, yang ghaib maupun yang nyata kecuali sudah ditetapkan dan dituliskan oleh Allah swt di Lauh Mahfuzh.
Tidak satu pun daun yang rontok dari dahannya, semut yang mati di atas batu hitam, benda langit yang hilang, kerikil yang berpindah tempatnya, jumlah bayi yang terlahir dan meninggal setiap detiknya kecuali itu semua berada dalam ilmu, ketetapan, kehendak dan ciptaan Allah swt.
Adapun takdir yang terkait dengan kehidupan manusia sebagaimana disebutkan didalam sabda Rasulullah saw,”..kemudian dia bertanya lagi, ’Beritahukan kepadaku tentang Iman.’ Nabi saw menjawab, ’Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya para Rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan buruk.” (HR. Muslim)
Artinya bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada manusia baik perbuatan maupun perkataannya, kesenangan maupun kesusahannya, sehat maupun sakitnya, rezeki maupun musibahnya, pahala maupun dosanya, hidup maupun matinya, yang seluruhnya adalah bagian dari kehidupannya kecuali sudah diketahui dan ditetapkan Allah swt serta sesuai dengan kehendak dan ciptaan-Nya.
Firman Allah swt,
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ ﴿٢٢﴾
”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. Al Hadid : 22)
Dari definisi tentang nasib dan takdir diatas, maka bisa disimpulkan bahwa nasib pada umumnya digunakan untuk bagian yang diterima manusia baik berupa kebaikan atau keburukan, kesenangan atau kesusahan. Sedangkan takdir tidak hanya mencakup hal-hal yang terjadi pada manusia namun ia juga yang terjadi pada seluruh makhluk lainnya di alam ini sejak zaman azali dan sudah dituliskan di Lauh Mahfuzh. Sehingga nasib adalah bagian dari takdir.
Sebagaimana disebutkan diatas tentang definisi dari takdir yang mencakup ilmu, ketetapan, kehendak dan ciptaan Allah swt. Maka segala perbuatan dan perkataan manusia tidaklah lepas dari keempat hal tersebut.
Namun jangan kemudian diartikan bahwa ketika seseorang memukul orang lain, gagal dalam ujian, menjadi penjahat, berbuat maksiat atau bunuh diri kemudian dengan mudah mengatakan bahwa itu semua adalah takdir Allah swt atas dirinya. Ini tidaklah betul berdasarkan dalil-dalil berikut:
1. Allah swt berfirman,
وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلكِن يُضِلُّ مَن يَشَاء وَيَهْدِي مَن يَشَاء وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿٩٣﴾
”Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. An Nahl : 93)
Makna al hidayah didalam Al Qur’an mengandung pengertian ad dalalah (menunjukan) dan al i’anah (pertolongan). Ad dalalah (menunjukan) ini adalah bagi semua orang baik mukmin maupun kafir karena Allah swt menunjukkan semua orang dengan manhaj-Nya, mengutus Rasul-Nya yang membawa kitab-Nya namun karena kecongkakan dan kesombongannya maka mereka lebih memilih kesesatan daripada petunjuk, sebagaimana firman-Nya,
وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى فَأَخَذَتْهُمْ صَاعِقَةُ الْعَذَابِ الْهُونِ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ ﴿١٧﴾
”Dan Adapun kaum Tsamud, Maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, Maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Fushilat : 17}
Sedangkan al ‘ianah (pertolongan) dan dorongan untuk melakukan kebaikan adalah khusus buat orang yang beriman kepada Allah, mengikuti Rasul-Nya dan menjalankan isi kitab-Nya maka mereka mendapatkan petunjuk dari-Nya,
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْواهُمْ ﴿١٧﴾
”Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan Balasan ketaqwaannya.” (QS. Muhammad : 17)
2. Kehendak (masyi’ah) Allah didalam menunjukkan atau menyesatkan seseorang adalah muthlaq, tidak dipertanyakan apa yang Dia swt perbuat. Namun Allah juga bersifat Adil, maka tidak mungkin Allah menyesatkan orang yang berhak mendapatkan petunjuk atau sebaliknya, firman-Nya,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاء فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ ﴿٤٦﴾
”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fushilat : 46)
3. Allah swt mengetahui bahwa hamba-hamba-Nya akan memilih dan melakukan sesuatu dan ketika Dia swt menulis di Lauh Mahfuzh apa yang akan dipilih dan dilakukannya, maka Allah dalam menulis ini, hanya berdasarkan kepada ilmu-Nya yang meliputi dan menyeluruh. Ilmu Allah tidak pernah berubah. Ilmu Allah hanya mempunyai sifat inkisyaf (menyingkap) terhadap sesuatu yang telah lalu, saat ini dan akan datang. Ilmu Allah tidak memiliki sifat ijbar (memaksa) dan ta’tsir (mempengaruhi) sebagaimana halnya kemampuan dan kehendak-Nya. Jadi Allah mengetahui secara azali tentang hamba-Nya, bahwa ia akan memilih jalan kekufuran dan akan mati dalam kekufuran, tetapi ilmu Allah hanya memiliki sifat inkisyaf tidak memiliki sifat ijbar dan ta’tsir.
4. Setiap orang yang bertakwa maupun tidak bertakwa mempunyai kemampuan ikhtiar dan kebebasan ikhtiar. Allah swt memberikan mereka akal untuk bisa membedakan mana yang baik maupun buruk bagi dirinya. Kemudian manusia pun diberikan kebebasan berikhtiar manakah jalan yang dipilihnya; jalan yang baik atau yang buruk, ketaatan atau kemaksiatan dan apabila ini telah terwujud maka berarti telah berlaku tuntutan pertanggung-jawaban atau dasar diberlakukannya pembalasan dengan pahala atau siksa.
Diantara bukti kebebasan ikhtiar ini adalah perasaan ingin bebas melaksanakan shalat atau meninggalkannya, membayar zakat atau tidak. Firman Allah swt,
فَأَمَّا مَن طَغَى ﴿٣٧﴾ وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ﴿٣٨﴾ فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى ﴿٣٩﴾ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى ﴿٤٠﴾ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى ﴿٤١﴾
”Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An Nazi’aat : 37 – 41)
Manusia tidak akan berdosa atau dihisab bahkan tidak akan disiksa terhadap sesuatu yang dia tidak memiliki pilihan didalamnya, seperti lupa, dipaksa atau keadaan darurat, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya Allah swt telah membebaskan umatku karena keliru, lupa dan mereka yang dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi) (Disarikan dari buku Jawaban Tuntas Masalah Taqdir, DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan)
Jadi ketika seorang bunuh diri, meninggal karena suatu kecelakaan atau jihad di jalan Allah maka segala yang tekait dengan perbuatannya itu sudah diketahui Allah swt dan sudah dituliskan di Lauh Mahfuzh namun pengetahuan Allah swt ini hanya bersifat inkisyaf (menyingkap) dan ilmu-Nya tidaklah bersifat ijbari (memaksa) dan tatsir (mempengaruhi).
Bukti dari keadilan Allah kepadanya adalah dengan diberikannya akal untuk mampu mempertimbangkan segala efek dari bunuh dirinya itu atau berjihad dijalan Allah baik dari sudut pandang agama maupun yang lainnya. Setelah itu ia diberikan kebebasan menentukan pilihannya apakah dia meneruskan niatnya dengan menusukkan pisau ke perutnya sendiri, menyerang sendirian pasukan musuh tanpa satu senjata pun padahal kondisi tidaklah memaksa mujahid itu untuk melakukannya ataukah dia mengurungkan niatnya tersebut, bersabar dan mencari solusi yang diridhoi Allah swt.
Apabila dia mengambil pilihan untuk menusukan pisau ke perutnya sendiri, menyerang sendirian pasukan musuh tanpa satu senjata pun sehingga dia meninggal dunia dan ketika perbuatan itu terjadi maka ia bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.
Dan terhadap sesuatu yang dimana manusia tidak memiliki pilihan atasnya maka dia tidaklah berdosa, seperti ketika seseorang yang tengah mengendarai sebuah mobil secara wajar di sebuah dataran tinggi namun secara tiba-tiba jalan yang dilaluinya longsor dan ia pun terhempas ke jurang dan meninggal dunia.
Kalaulah masih ada yang mengatakan bahwa bunuh diri dengan pisau atau mati dengan cara menyerang pasukan musuh sendirian adalah takdir Allah semata maka bagaimana pendapatnya jika datang seseorang mendekatinya dan menampar pipinya kemudian orang yang menampar itu dengan mudah mengatakan kepadanya,”maaf itu semua adalah takdir Allah.” maka apakah ia akan menerimanya?!!
Atau bagaimana pendapatnya jika orang itu diminta untuk setiap harinya menetap di rumah saja, menutup pintu, tidak usah bekerja dan berusaha hanya menanti rezeki yang datang ke rumah maka bisakah anak istrinya kenyang, terpenuhi kebutuhan sandang pangannya?!!
Atau seandainya dia seorang pemuda dewasa yang belum memiliki keahlian kerja sama sekali sementara dia butuh pekerjaan maka apakah dia akan berpangku tangan, berdiam diri dan tidak berusaha keras menajamkan keahliannya sampai pekerjaan yang diinginkannya datang menjemputnya?!!
Wallahu A’lam
Sumber: eramuslim.com
Referensi: www.lampuislam.org 

Apakah Beriman / Kafir dan Masuk Surga / Neraka sudah ditakdirkan Allah?

Sesungguhnya, seorang anak Adam, telah ditentukan oleh Allah, akan dimasukkan ke Surga atau Neraka jauh sebelum mereka dilahirkan, sebagaimana terdapat dalam Hadits,

“Allah menciptakan Adam, lalu ditepuk pundak kanannya kemudian keluarlah keturunan yang putih, mereka seperti susu. Kemudian ditepuk pundak yang kirinya lalu keluarlah keturunan yang hitam, mereka seperti arang.. Allah berfriman, ‘Mereka (yang seperti susu -pen) akan masuk ke dlm surga sedangkan Aku tak peduli dan mereka (yang seperti arang-pen) akan masuk ke neraka sedangkan Aku tak peduli.’” (Shahih; HR. Ahmad, ath-Thabrani dallam Al-Mu’jamul Kabir & Ibnu Asakir, lihat Shahihul Jami’ no: 3233)

Dari Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam & beliau sedang membawa tongkat sambil digores-goreskan ke tanah seraya bersabda, 

‘Tidak ada seorang pun di antara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya di neraka atau pun surga.’ (HR. Bukhari & Muslim)

Setelah mengetahui bahwa seseorang telah ditentukan akan dimasukkan ke surga atau neraka, tentu akan timbul pertanyaan & kesimpulan berdasarkan akal logika manusia yang lemah, “Kalau begitu buat apa kita beramal. Nanti udah capek-capek ibadah ternyata masuk neraka” atau perkataan semisal itu.

Pertanyaan semisal ini pun banyak ditanyakan oleh para sahabat di berbagai kesempatan. Salah satunya adalah pertanyaan seorang sahabat ketika mendengar pernyataan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tidak ada seorang pun di antara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya di neraka atau pun surga.’

Maka para sahabat bertanya, ‘”Wahai Rasulullah, kalau begitu apakah kami tinggalkan amal shalih & bersandar dengan apa yang telah dituliskan untuk kami (ittikal)?”‘ (maksudnya pasrah saja tak melakukan suatu usaha – pen)

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ .ثُمَّ قَرَأَ ( فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى * وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ). الآية

Beramallah kalian! Sebab semuanya telah dimudahkan terhadap apa yang diciptakan untuknya. Adapun orang-orang yang bahagia, maka mereka akan mudah untuk mengamalkan amalan yang menyebabkan menjadi orang bahagia. Dan mereka yang celaka, akan mudah mengamalkan amalan yang menyebabkannya menjadi orang yang celaka” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah, “Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah & bertakwa, & membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (HR. Bukhari, kitab at-Tafsir & Muslim, kitab al-Qadar)

Contoh lain adalah ketika sahabat Umar bin Khaththab bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وسأله عمر هل نعمل في شئ نستأنفه ام في شئ قد فرغ منه قال بل في شئ قد فرغ منه قال ففيم العمل قال يا عمر لا يدرك ذلك إلا بالعمل قال إذا نجتهد يا رسول الله

Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

Umar: Apakah amal yang kita lakukan itu kita sendiri yang memulai (belum ditakdirkan) ataukah amal yang sudah selesai ditentukan takdirnya?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bahkan amal itu telah selesai ditentukan taqdirnya.”

Umar: Jika demikian, untuk apa amal?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Umar, orang tak tahu hal itu, kecuali setelah beramal.”

Umar: Jika demikian, kami akan bersungguh-sungguh, wahai Rasulullah. (Riwayat ini disebutkan oleh al-Bazzar dlm Musnadnya no. 168 & Penulis Kanzul Ummal, no. 1583).

Sementara apa yang dilakukan sebagian orang dgn alasan ketetapan tersebut, kemudian mereka pasrah bahkan kemudian bermudah-mudah, bahkan melegalkan perbuatan maksiat maka hal ini tak dibenarkan. Mereka yang melakukan ini beranggapan, bahwa mereka berbuat maksiat tersebut karena sudah ditetapkan, karena itu mereka tak berdosa. Sungguh pendapat ini sangat jauh dari kebenaran.

Sesungguhnya Allah menakdirkan seseorang masuk neraka bukan berarti Allah memaksa seseorang kufur. Ini bukanlah akidah yang benar, Allah Ta’ala berlepas diri dari keyakinan demikian. Allah Ta’ala mengetahui apa yang akan dilakukan oleh makhluk-makhluknya di dalam kehidupan mereka di dunia. Allah ‘Azza wa Jalla telah memerintahkan pena penulis takdir untuk menuliskan apa saja yang akan terjadi pada para hamba-Nya. Takdir tersebut tidak diketahui oleh satu pun dari makhluk-Nya, baik malaikat-malaikat yang dekat dengan-Nya, tidak pula para nabi. Tidak seorang pun mengetahui tentang takdir yang dituliskan di lauhul mahfuzh untuknya. Dengan demikian tidak ada manfaatnya bagi orang-orang yang mengkritisi takdir Allah.

Hamba-hamba Allah hanya diperintahkan untuk beriman dan beramal. Allah Ta’ala akan memberi balasan bagi mereka pada hari kiamat berdasarkan apa yang telah mereka usahakan bukan berdasarkan apa yang Allah tetapkan bagi mereka di lauhul mahfuz (maksudnya seseorang melakukan oerbuata atas pilihannya sendiri, bukan dipaksa ed.).

Allah pun telah mengutus para rasul sebagai penegak hujjah-Nya. Para rasul telah memberikan kabar gembira dan peringatan serta ancaman. Allah Ta’ala berfirman,

رُسُلاً مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”
. (QS. An-Nisa: 165) 
Kalau seandainya Allah tidak mengutus para rasul, maka masuk akal kalau seseorang hendak mengkritik Allah Ta’ala, Maha Suci Allah dari yang demikian. Seseorang diadzab di akhirat, tidak lain dikarenakan apa yang mereka amalkan setelah dijelaskan kepada mereka mana yang salah dan mana yang benar, Allah Ta’ala telah menetapkan hujjahnya. Oleh karena itulah, orang-orang yang belum sampai risalah kenabian pada mereka memiliki alasan kelak di hari kiamat.

Syaikh Shaleh bin Fauzan hafizhahullah ketika ditanya tentang seseorang yang tidak sampai padanya ilmu, beliau menjelaskan. Yang dimaksud tidak sampai ilmu pada seseorang atau seseorang dimaklumi jika tidak tahu adalah apabila seseorang tidak mengetahui karena tidak memungkinkan baginya, maka hal ini dapat dimaklumi. Misalnya seseorang yang tidak menemukan seorang guru yang bisa mengajarinya, seperti seseorang yang tinggal di negeri kafir yang tidak memiliki akses dengan negeri-negeri Islam, maka dia dimaklumi tidak tahu. Sedangkan mereka yang tinggal di lingkungan orang-orang Islam, mendengar Alquran dan hadis dibacakan, dan banyak dai yang menyerukan Islam, orang yang demikian tidak bisa dimaklumi kalau dia tidak mengerti dan mengetahui. Sudah sampai kepada mereka risalah, hanya saja mereka yang tidak memiliki perhatian. (Durus fi Syarhi Nawaqid Al-Islam, Hal.31)

Apalagi pada zaman sekarang, kemajuan teknologi sangat mendukung bagi seseorang untuk mengetahui dan mempelajari agamanya. Tidak tersembunyi bagi seseorang bahwasanya Allah Ta’ala telah menjelaskan mana jalan yang lurus dan mana pula jalan yang menyimpang, tinggallah dirinya sendiri hendak menempuh jalan yang mana. Seseorang yang menempuh jalan yang lurus, maka ia akan masuk ke surga dan bagi mereka yang menempuh jalan yang sesat bagi mereka neraka. Allah sama sekali tidak memaksa mereka untuk menempuh jalan yang mana. Allah Ta’ala berfirman,

وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاء كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءتْ مُرْتَفَقًا . إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلاً . أُوْلَئِكَ لَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهِمُ الأَنْهَارُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِن ذَهَبٍ وَيَلْبَسُونَ ثِيَابًا خُضْرًا مِّن سُندُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ مُّتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الأَرَائِكِ نِعْمَ الثَّوَابُ وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقًا

Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal shaleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik. Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga ‘Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah.” (QS. Al-Kahfi: 29-31)

Ketika kita mengimani Allah Ta’ala telah menakdirkan segala sesuatu dan Allah mengilmui tentang hal tersebut, hendaknya kita berpikir positif Allah menakdirkan bagi kita hidayah dan kebaikan.

Allah Ta’ala telah mewajibkan bagi kita syariat-Nya dan memerintahkan kita dengan syariat tersebut. Sehingga yang tersisa bagi kita hanya ada dua pilihan.

Pertama, kita berprasangka baik bahwa Allah. Dia telah menetapkan takdir yang baik bagi kita dan menakdirkan kita sebagai penghuni surga. Sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya rahmat-Nya itu mendahului kemarahan-Nya, ridha-Nya lebih Dia kedepankan dari pada rasa kebencian-Nya. Tempuhlah takdir yang demikian! Berlakulah dengan perbuatan layaknya calon penghuni surga. Setiap orang akan dimudahkan menuju takdirnya.

Kedua, kita berprasangka buruk kepada Allah Ta’ala. Dia akan memasukkan kita ke neraka dan kita memilih jalan-jalan yang mengantarkan kita ke neraka, wal’iyadzbillah.

Inilah keimanan kita terhadap takdir Allah yang merupakan salah satu dari rukun iman yang enam. Jangan sampai karena permasalahan ini tidak terjangkau oleh akal kita atau karena kita belum memahaminya, kemudian kita lebih mendahulukan berburuk sangka kepada Allah.
Dan ketika seseorang ketika melakukan sesuatu, dia dihadapkan pada pilihan; melakukannya ataukah membatalkannya. Sementara saat menghadapi pilihan tersebut, ia tak tahu apakah ia ditakdirkan melakukan kemaksiatan ataukah ketaatan. Kemudian, ketika ia memilih melakukan kemaksiatan, itu merupakan pilihannya namun keduanya terjadi berdasarkan takdir dari Allah. Lain halnya dgn orang yang dipaksa melakukan pelanggaran, ia tak dihukum disebabkan melakukan pelanggaran tersebut, karena ia dipaksa melakukannya, bukan berdasarkan pilihannya sendiri.
Makanya dalam catatan hadits, ada beberapa kejadian yang memperlihatkan Rasulullah marah dan mengecam ketika sahabat mempertanyakan soal takdir yang ada dalam kehendak Allah ini :

Musnad Ahmad 6381: Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abu Hind dari 'Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata; Suatu hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam pernah keluar rumah dan orang-orang saat itu sedang membicarakan masalah qodar. Dia berkata; dan seakan-akan pada wajah beliau Shallallahu 'alaihi wa Salam terdapat merahnya buah delima karena marah. Lalu beliau berkata kepada mereka: "Kenapa kalian membenturkan sebagian ketentuan Allah dengan sebagian yang lain? Dengan permasalahan inilah orang-orang sebelum menemui kebinasaan." …

Khalifah Umar bin Khattab ketika mengadili seorang pencuri juga sangat marah mendengar si terdakwa tersebut melakukan pembelaan :"Saya mencuri karena memang sudah ditakdirkan Allah..", Alih-alih memberikan kebebasan, si pencurinya malah diperberat hukumannya, satu kesalahan karena mencuri, kesalahan yang lain karena telah menghina Allah.

Maka terkait dengan pembelaan diri seorang kafir yang menyatakan dia menjadi kafir karena sudah ditakdirkan Allah, Al-Qur'an telah 'menyiapkan' jawaban yang 'telak' dan akan membungkam pernyataan tersebut :

"Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?" Mereka menjawab: "Benar (telah datang)". Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir." (Az-Zumar: 71)

Jadi kalau seseorang memilih kafir dan masih berusaha untuk mempertahankan kekafirannya, jawaban dari pertanyaan itu sudah disampaikan Allah sekarang juga dalam bentuk pertanyaan balik :"Apakah anda sudah menerima petunjuk Allah berupa Al-Qur'an dan hadist agar anda bisa keluar dari kekafiran..? apakah sudah ada saudara-saudara anda yang Muslim datang untuk membacakan ayat-ayat tersebut kepada anda..?". 
 Jawaban lain bagi orang yang menjadikan takdir Allah sebagai pembenaran maksiat yang dilakukannya adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh syaikh Utsaimin, bahwa ketika terjadi kasus semacam ini, kita katakan kepadanya, “Engkau menyatakan bahwa Allah telah mentakdirkanmu utk melakukan maksiat sehingga engkau melakukannya, mengapa engkau tak menyatakan sebaliknya, bahwa Allah mentakdirkanmu utk melakukan ketaatan, sehingga engkau mentaati-Nya, sebab perkara takdir adalah perkara yang sangat rahasia, tak ada yang mengetahuinya melainkan Allah ta’ala saja. Kita tak tahu apa yang Allah tetapkan & takdirkan itu melainkan setelah kejadiannya. Mengapa tak engkau hentikan saja kemaksiatan itu, lalu engkau melakukan yang sebaliknya (ketaatan) & setelah itu engkau katakan bawah hal ini aku lakukan dgn sebab takdir Allah.” (Syarah Hadits Arba’in)

Ini sebagaimana seseorang yang lapar, tentu orang itu tak akan diam saja agar kenyang. Tetapi ia akan berusaha utk menghilangkan rasa laparnya itu dgn makan. Tidak mungkin ia menunggu saja hanya karena ia yakin sudah ditakdirkan akan kenyang. Demikianlah, karena seseorang tak tahu apakah yang akan terjadi atau yang telah ditetapkan untuknya. Namun orang tersebut tentu tahu, agar kenyang atau hilang rasa laparnya ia harus makan. Demikian pula seorang mukmin, ia tahu bahwa utk masuk surga maka ia harus berbuat ketaatan kepada Allah.

Wallahu a’lam bi showab
Sumber: 
Referensi: www.lampuislam.org 

Mengapa dalam Al-Qur'an dikatakan bahwa Allah menyesatkan Manusia?

Ini juga merupakan pertanyaan yang sering diajukan oleh pihak non-Muslim yang tidak memahami konsep Islam soal kesesatan manusia. Al-Qur’an jelas menyatakan bahwa setiap kesesatan yang terjadi memang merupakan kehendak-Nya, dan apabila Dia berkehendak untuk menyesatkan manusia, tidak ada sesuatupun yang sanggup untuk menyelamatkan manusia tersebut : 

Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. ‪(An-Nahl: 93) 


Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. ‪(Ibrahim: 4) 

dan siapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorangpun yang akan memberi petunjuk. ‪(Ghaafir: 33)‪ 

dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. ‪(Al-Kahfi:17) 

Pernyataan Al-Qur’an ini sangat jelas, bahwa kesesatan yang dialami manusia merupakan ‘hasil kerja’ Allah sendiri yang memang mengehendaki manusia tersebut tersesat, dan ketika Dia sudah menyesatkan manusia, maka tidak ada kekuasaan apapun yang mampu memberikan pertunjuk agar manusia tersebut bisa diselamatkan. Menanggapi soal ini, biasanya non-Muslim akan langsung bereaksi :”Tuhan seperti apa yang telah membuat manusia tersesat..??”, lalu mulai ‘berpromosi’ untuk mengajukan alternatif konsep ketuhanan mereka dengan menyatakan :”Tuhan kami Maha Kasih, Dia selalu mengharapkan agar manusia yang tersesat untuk kembali, bahkan Dia mau mengorbankan diri untuk itu. Tuhan yang benar adalah Tuhan yang menyelamatkan ketika tahu ada manusia yang tersesat, bukan malah mempergunakan kekuasaan dan kehendak-Nya untuk menyesatkan manusia..”. Sampai disini logikanya terkesan benar, namun terbentur kepada satu pertanyaan :”Kalau bukan atas dasar kehendak dan kuasa Tuhan, lalu atas kuasa siapa seseorang bisa menjadi tersesat..?? atas kehendak siapa seorang manusia bisa tersesat..?? Apakah ada kekuasaan dan kehendak diluar kuasa dan kehendak Tuhan yang mempunyai kemampuan untuk itu..??”. Kalau dikatakan kesesatan seseorang diakibatkan oleh kehendak dan kuasanya sendiri, maka ini bertentangan dengan fakta, bahwa bisa terjadi seseorang yang telah berusaha untuk menyesatkan dirinya sendiri, namun atas kuasa dan kehendak Allah, dia tetap tidak akan tersesat. Kalau dikatakan kesesatan manusia tersebut merupakan kehendak dan kuasa syaitan dan Iblis, maka apabila Tuhan berkehendak agar manusia tersebut tidak tersesat, kuasa dan kehendak syaitan dan Iblis tidak akan bisa direalisasikan. Ini adalah pikiran yang masuk akal dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari. 

Pernyataan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang menginginkan hamba-Nya untuk selamat dan tidak tersesat, itu sebenarnya juga ada dalam konsep Islam, bahwa Allah selalu menanti hamba-hamba-Nya agar kembali kepada-Nya : 


Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih. ‪(Hud: 90) 

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.. ‪(At-Tahrim: 8) 

Melalui Al-Qur’an, Allah menyuruh agar manusia mau kembali kepada-Nya, menyelamatkan diri dari kesesatan yang selama ini dijalani. Allah menyatakan diri-Nya sangat terbuka untuk menerima taubat. Bahkan dalam Hadits Qudsi dikatakan : 

“Wahai anak Adam selama engkau masih berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku ampuni engkau apa pun yang datang darimu dan aku tidak peduli. Wahai anak Adam walaupun dosa-dosamu mencapai batas langit kemudian engkau meminta ampun kepada-Ku, Aku akan ampuni engkau dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan sepenuh bumi dosa dan engkau tidak menyekutukan-Ku, maka Aku akan menemuimu dengan sepenuh itu pula ampunan.” (HR. Tirmidzi) 




Islam mengajarkan bahwa kehendak dan kuasa Allah dalam konteks kesesatan manusia berbeda dengan keinginan Allah. Keinginan Allah datang dari diri-Nya sendiri, bahwa Allah menginginkan semua manusia selamat dan tidak tersesat, bahkan Allah menyatakan diri-Nya sangat berharap dan terbuka untuk menerima hamba-hamba yang ingin kembali, menghapus dosa mereka dan tidak mengingat-ingat lagi kemaksiatan yang pernah dilakukan. Sedangkan kuasa dan kehendak-Nya selalu berdasarkan ‘input’ yang datang dari manusia itu sendiri. Kalau kita simak ayat-ayat Al-Qur’an tentang pernyataan ‘Allah menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya’, maka ini selalu merupakan ‘muara’ dari suatu kalimat panjang yang sebelum atau sesudahnya menyatakan kondisi manusia yang telah ‘menyediakan diri’ untuk disesatkan Allah.

Pernyataan Allah dalam surat an-Nahl 93 misalnya didahului dengan pernyataan Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu antaramu sesudah meneguhkannya , kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu’, lalu dilanjutkan dengan kalimat sesudahnya ‘Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah’. Ketika Allah menyatakan kehendak dan kuasanya untuk menyesatkan manusia, maka itu bukanlah suatu pernyataan yang berdiri sendiri, melainkan ada penyebabnya. Demikian juga dengan contoh ayat lain, misalnya surat Ibrahim 4, sebelumnya dijelaskan ‘Dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih, (yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh’, baru dilanjutkan kepada pernyataan bahwa Allah akan menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya. Anda bisa mendalami semua ayat Al-Qur’an terkait soal ini, semuanya memiliki pola yang sama, bahwa pernyataan tersebut terkait dengan kelakuan manusia yang memang sudah ‘menyiapkan diri’ untuk disesatkan Allah, tentu saja, sesuai penjelasan sebelumnya tidak ada sesuatu kekuatanpun yang mampu menyesatkan manusia selain kuasa dan kehendak Allah sendiri.

Allah sendiri menyatakan bahwa tindakan-Nya untuk menyesatkan manusia karena memang manusia itu sendiri yang menginginkannya, merupakan implementasi dari sifat-Nya yang adil dan tidak dzalim :

“Wahai hamba-hamba-Ku sesungguhnya Aku mengharamkan kedzaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian maka janganlah kalian saling mendzalimi…” (HR. Muslim)

Ternyata pernyataan bahwa Allah yang berkuasa dan berkehendak untuk menyesatkan manusia memang ada dasarnya, bahwa Allah telah menyatakan diri untuk tidak berlaku dzalim terhadap manusia. Ketika seorang manusia memang ingin tersesat, atas dasar sifat-Nya yang adil maka Allah berkehendak untuk menyesatkan manusia tersebut. Pertanyaan muncul :”Kalau begitu apakah sifat Allah yang adil dan tidak dzalim tersebut sudah membatasi sifat-Nya yang Maha Berkehendak dan Maha Berkuasa?, buktinya dalam soal kesesatan manusia ini, Allah hanya bisa menjalankan kuasa dan kehendak-Nya terbatas kepada yang adil saja, otomatis kehendak dan kuasa-Nya terbatas, dibatasi oleh sifat-Nya yang Maha Adil..”. Perlu diketahui bahwa pernyataan ‘Allah telah mengharamkan kedzaliman terhadap diri-Nya’ bukan merupakan hasil kesimpulan akal budi manusia. Semua sifat-sifat Allah dalam ajaran Islam merupakan sesuatu yang diinformasikan oleh Tuhan sendiri. Bisa jadi kesimpulannya sama, hasil pikiran kita menyatakan Tuhan memang Maha Adil, namun sifat-Nya tersebut ada/eksis bukan karena kesimpulan yang kita buat, melainkan diinformasikan kepada kita. Maka atas dasar itu pula, kita tidak bisa memikirkan bagaimana ‘interaksi’ dari semua sifat-sifat Tuhan tersebut dalam diri-Nya. Begitu kita memikirkannya, maka otomatis kita akan menempatkan Tuhan masuk dalam ruang lingkup objek dari pikiran kita, hasil apapun yang dimunculkan merupakan produk dari proses berpikir kita.

Pengetahuan manusia tentang Tuhan hanya sebatas apa yang diinformasikan oleh Tuhan sendiri, ketika Dia menyatakan berkehendak dan berkuasa untuk menyesatkan manusia maka itulah yang bisa kita terima, ketika Dia menyatakan diri-Nya Maha Adil dan mengharamkan untuk berlaku dzalim, maka sebatas itu yang mampu kita terima, memikirkan lebih dari itu merupakan tindakan yang akan ‘mementahkan’ kebenaran tentang Tuhan. Karena tidak ada informasi apakah sifat-Nya yang Maha Adil bisa membatasi sifat-Nya yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak, maka kita juga tidak perlu memikirkan bagaimana sifat-sifat tersebut berinteraksi dalam diri Allah.

Kemudian muncul pertanyaan lanjutan :”Lalu bagaimana fungsi dan peranan Iblis dan syaitan dalam kesesatan manusia..??”. Menarik apa yang disampaikan secara terang-benderang dalam Al-Qur’an :

Iblis berkata : “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”. Allah berfirman : “Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya). Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat. (al-Hijr 39-42).


Pertama, jelas dinyatakan bahwa Iblis tersesat karena memang atas keputusan dari Allah, artinya juga otomatis berdasarkan kekuasaan, kehendak dan ijin Allah, sama seperti apa yang disampaikan Allah kepada manusia, keputusan Allah tersebut merupakan akibat dari perbuatan Iblis sendiri yang telah membangkang perintah Allah karena kesombongannya. Ternyata disini Iblis sama sekali tidak menyalahkan Allah, tidak ada suatu pernyataan Iblis: “Saya kan tidak punya kuasa apa-apa, jadi kalau saya telah berbuat kesesatan itu memang karena Engkau telah menciptakan saya untuk punya potensi agar berbuat demikian, saya tersesat bukan atas kehendak saya sendiri”, Iblis ternyata lebih cerdas dari kebanyakan manusia dan memahami bahwa kebebasan untuk memilih yang ditanamkan Allah dalam dirinya mengakibatkan konsekuensi dari pilihan tersebut akan ditanggung sendiri.
  
Kedua, jelas dinyatakan bahwa sekalipun Iblis diberi ijin untuk menyesatkan manusia, namun IBLIS TIDAK DIBERIKAN KEKUASAAN UNTUK MENYESATKAN MANUSIA, dalam arti kesesatan yang terjadi bukan didasari kuasa, kehendak atau ijin Iblis, tapi merupakan sesuatu yang datang dari Allah. Iblis atau syaitan hanya berperan untuk mempengaruhi dan mendorong agar manusia melakukan perbuatan yang kemudian mendasari keputusan Allah untuk menyesatkan manusia tersebut.

Kalau kemudian dilemparkan ‘tuduhan’ : “apakah ini artinya Allah ‘bekerjasama’ dengan Iblis untuk menyesatkan manusia…??” maka ini dibantah oleh ayat Al-Qur’an yang lain, menyatakan bahwa dalam diri manusia diberikan dasar-dasar kehendak bebas dan manusia itu sendirilah yang menentukan pilihan mana yang mesti ditetapkannya :

..maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (ash-Shams 8)

Lalu dilengkapi pernyataan bahwa Allah akan melindungi manusia dari godaan Iblis atau syaitan :

Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-A’raaf: 200).

 Dan katakanlah: “Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. (al-Mu’minuun: 97)

Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Fussilat: 36)
 
Pada ayat lain, Allah mewanti-wanti manusia untuk berhati-hati terhadap Iblis atau syaitan :

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (al-Baqarah: 168)

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (al-Baqarah: 208)

Al-Qur’an juga menyampaikan bahwa apa yang dilakukan Iblis atau syaitan tersebut hanyalah angan-angan kosong yang menyesatkan :
Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. (an-Nisaa: 120)

Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. (Muhammad 25)

Lalu Allah melengkapi lagi dengan ilustrasi bagaimana besarnya penyesalan manusia yang telah mengikuti langkah-langkah Iblis dan syaitan ketika di akhirat kelak mereka mencoba meminta pertanggung-jawaban ‘mentor-mentor’ mereka tersebut. Iblis dan syaitan akan ‘membuka kedok’ mereka, mengakui bahwa mereka sebenarnya tidak punya kuasa apa-apa. Apa yang selama ini dijanjikan untuk mempengaruhi manusia agar tersesat tidak lain hanyalah angan-angan kosong :

Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: “Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab: “Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri”. Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih. (Ibrahim: 21-22)
Pada saat ini, kita semua bisa membaca dan mengakses semua informasi tersebut lewat Al-Qur’an, ketika dalam pikiran kita sudah masuk informasi bahwa Allah Maha Berkuasa, Maha Berkehendak dan Maha Menentukan segalanya yang terkait dengan keselamatan dan kesesatan kita, kita juga sudah diberitahu bahwa Iblis dan syaitan sama sekali tidak punya kuasa, mereka hanya mampu untuk mengiming-imingi angan-angan kosong, lalu diinformasikan juga bagaimana kelak penyesalan kita apabila kita memilih untuk mengikuti iblis dan syaitan, maka masih pantaskan kita kemudian menyalahkan Allah atas kesesatan yang kita lakukan..?? hanya karena Allah bertindak menjalankan apa yang menjadi hak-Nya untuk menetapkan segala sesuatu.

Konsep Islam tentang posisi Allah dalam keselamatan dan kesesatan kita menciptakan suatu pikiran : TIDAK ADA JALAN LAIN BAGI MANUSIA UNTUK MENDAPATKAN KESELAMATAN DAN TERHINDAR DARI KESESATAN KECUALI HANYA MENYANDARKAN DIRI KEPADA ALLAH, dalam Al-Qur’an Allah telah menyatakan melalui suatu ungkapan :

Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan. (Luqman 22)

Ketika memegang tali kebenaran, boleh jadi suatu saat kita diterpa angin kencang, terombang-ambing ke kiri dan ke kanan, kadang pegangan kita serasa mau lepas, tangan menggenggam dengan penuh kesakitan, namun sepanjang kita mau berusaha untuk tetap berpegang kepada tali tersebut, Allah telah berjanji untuk menolong kita.



Referensi: www.lampuislam.org