Jumat, 05 Juni 2015

Kebebasan yang Destruktif



Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal
Bebas, bebas, lagi-lagi tentang kebebasan. Memang kebebasan itu topik yang menarik. Kali ini saya ingin mengeksplorasi tema tentang kebebasan, dan aspek-aspek destruktif di dalamnya. Apakah kebebasan selalu destruktif? Tidak juga. Masalah muncul karena kebebasan tidak bisa membatasi dirinya sendiri. Apakah manusia punya kebebasan dalam menentukan nasibnya sendiri? Jawabannya ya dan tidak. Ya, dalam artian memang manusia diberikan hak dan kemampuan untuk memilih. Tidak, dalam artian bahwa pada hakikatnya Allah s.w.t telah menjelaskan yang haq untuk dipilih dan yang bathil untuk ditinggalkan. Dengan kata lain, manusia bisa saja memilih yang bathil, namun kelak akan dipertanggungjawabkan. Dalam pertanggungjawaban itu, yang haq takkan jadi bathil dan yang bathil takkan jadi haq. Biasanya manusia mengalami ilusi karena tidak bisa 'melepaskan diri' dari dunia ini.

Kata “dunia” dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa arab “dunya” yang artinya “yang dekat”. Mengapa orang tertipu dengan dunia? Ya karena ia dekat. Akhirat itu jauh, makanya banyak yang lupa. Karena dunia ini dekat dan ada di hadapan mata, maka ada yang menyangka bahwa dunia inilah satu-satunya realitas. Akibatnya, eksistensi kerap kali disalahpahami sebagai kebenaran. Sederhananya, keberadaan sesuatu dianggap sebagai justifikasinya.
Dalam paham pluralisme agama, misalnya, terutama bagi penganut tren Hikmah Abadi, logika ini juga digunakan. Mereka katakan, “jika agama-agama lain itu bathil, maka mengapa Allah membiarkannya ada selama ribuan tahun?” Mungkin mereka lupa bahwa Iblis pun ada, padahal ia dipandang sebagai makhluk yang kafir dan zalim oleh Allah. Artinya, hanya karena sesuatu itu ada (exist), tidak berarti hal itu dapat dibenarkan. Logika semacam ini sejalan – anehnya – dengan logika sebagian kaum ateis. Mereka berkata, “Kalau Tuhan itu ada, kenapa ada peperangan, penderitaan dan sebagainya di dunia?” Mungkin itulah sebabnya mengapa liberalis yang pluralis, walau mengaku beragama, tapi dekat dengan orang-orang ateis. Logikanya mirip. Demikianlah orang-orang yang tertipu dengan dunia, atau menganggap bahwa dunia ini satu-satunya realitas.
Belum lama ini ada diskusi di UNJ tentang LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) dipandang dari sisi sosiologis. Salah satu pembicaranya adalah Guntur Romli (Tokoh Jaringan Islam Liberal). Teman-teman dari Indonesia Tanpa JIL kenal betul siapa dia. Banyak yang bertanya kepada saya, sederhananya begini: “Apa kesalahan fundamental dalam acara tersebut?” Persoalannya terletak pada pisau analisisnya, yaitu sosiologi, yang menurut saya tidak pas. Masalahnya apa? Ya, karena hanya melihat realita yang eksis, maka sosiologi tidak bisa bicara soal kebenaran. Apakah LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) itu benar? Kalau pisau analisisnya adalah sosiologi, maka jawabannya: “LGBT itu ADA!” Tapi ADA belum tentu BENAR. Kita butuh pisau analisis lain untuk bicara soal kebenaran.
Bagi seorang Muslim, tentu mengukur kebenaran adalah lewat agama, yaitu Islam itu sendiri. Dan agama memang alat paling tepat untuk membicarakan kebenaran. Karena hanya dalam agamalah terdapat konsep iman. Apa iman itu? Kata “iman” seakar kata dengan “amanah”. Ada kaitannya dengan ‘rasa aman’. Yup, iman itu keyakinan yang tidak dikotori oleh keraguan, dan karenanya menimbulkan rasa aman bagi pemiliknya. Kalau masih ragu-ragu dan gelisah, ya bukan iman namanya. Ini bukan sikap kritis yang tepat. Jadi gak boleh kritis? Ya boleh. Tapi kalau belum yakin, ya jangan mengaku sudah beriman.
Kembali pada masalah kebenaran, soal LGBT semestinya kita nilai dengan agama, bukan dengan sosiologi. Dalam agama Islam, sudah jelas LGBT itu salah. Yang membahas sudah banyak, jadi gak akan saya bahas lagi di artikel ini. Satu lagi keanehan dari seminar ‘LGBT dari sisi sosiologis’, yaitu bahwa pisau analisisnya gak konsisten. Menurut catatan yang saya dapat dari peserta seminar tersebut, salah seorang nara sumbernya adalah pelaku LGBT. Nah, orang ini, bukannya membahas dari sisi sosiologis, malah mengutip Al-Qur’an melulu. Tafsirnya ya sesukanya lah. Tabiat orang sekuler ya seperti itu. Agama dipakai seenaknya, tapi seringnya sih dilupakan saja. Dalam politik, orang-orang sekuler juga begitu kan? Biasanya anti agama, tapi untuk merebut suara kadang-kadang bergaya agamis juga :)
Kembali pada topik tentang kebebasan. Karena manusia bisa 'bebas' di dunia, lantas mereka menyangka semuanya itu boleh/benar. Makanya Ulil Abshar Abdalla (Tokoh Jaringan Islam Liberal) pernah ‘menantang’ begini. Dangkal kan logikanya?


Ya begitulah imajinasi mereka tentang Allah. Sebenarnya mereka tidak paham agama. Atau tidak mau paham. Orang-orang yang ingin bebas ini, atau yang tidak paham hakikat kebebasan, pada akhirnya akan merusak. Bagi mereka, aturan ada untuk dilanggar. Bahkan akal akan dikerahkan untuk mencari pembenaran. Lalu mereka sebutlah “akal bebas”, padahal ini kontradiktif. ‘Aql (akal) adalah potensi intelektual manusia. Apakah akal membebaskan manusia? Tentu tidak! Orang-orang berakal justru berpikir dan bertindak lebih teratur. Ada kaidahnya. Tidak asal, atau random saja. Siapa yang berperilaku random? Hmmmm.... orang tak berakal, alias gila, mungkin?
Prof. Al-Attas, cendekiawan Malaysia, menjelaskan bahwa manusia jelas berbeda dengan hewan dalam beberapa aspek penting. Salah satu perbedaannya adalah: manusia punya kemampuan untuk bertindak sesuai prinsip yang dianutnya. Itulah manusia. Hidupnya menjadi berarti karena memiliki prinsip. Itulah sebabnya banyak manusia yang mengorbankan jiwanya untuk hal-hal yang dianggapnya penting. Misalnya, orang mati karena menyelamatkan anaknya, atau membela negara, atau membela agama. Mengapa nyawanya yang sangat berharga mau dilepasnya? Ya, karena adanya prinsip. Bukan tindakan asal saja.
Manusia pun bukan hewan yang hanya bertindak menuruti insting dan kebutuhan jasadnya saja. Jika menginginkan kesenangan pribadi saja, tentu takkan ada manusia yang mau berkorban. Itulah manusia, selalu berprinsip. Bahkan yang mengaku bebas pun sebenarnya berprinsip juga. Yang mengatakan ‘semua benar’ toh juga menyalah-nyalahkan orang lain. Karena diam-diam dia punya prinsip. Pernyataan seperti dibawah ini, walau kelihatan gagah, tapi apa mungkin?
 
Apa iya ada orangtua yang membiarkan anaknya ‘bebas nilai’ atau membiarkan mereka memilih segalanya sendiri? Bagaimana kalau anaknya memutuskan untuk tidak mengakui orangtuanya lagi? Apa akan dibiarkan juga? Kalau mengingkari Allah boleh, kenapa mengingkari orangtua gak boleh? Ini bukan bebas, tapi prinsipnya ‘beda’. Membiarkan manusia bebas tanpa nilai, aturan dan prinsip, pada dasarnya membiarkan mereka berhenti jadi manusia. Agama melarang LGBT, lalu mau beralasan apa? Karena LGBT itu kecenderungan alamiah? Berikutnya, kaum pedofili pun akan menggunakan argumen yang sama. Mereka juga merasa kecenderungan ini alamiah.
Baik LGBT maupun pedofili sama-sama menular. Orang tua yang ingin melindungi anak-anaknya kini berada di bawah tekanan. Kaum LGBT terus menuntut pengakuan dan ingin ‘tampil’, padahal orangtua ingin menjaga anak-anaknya. LGBT dan yang semacamnya muncul terus-menerus di film-film dan layar televisi. Apa semua orangtua rela anaknya dipengaruhi? “Kalau gak suka ya jangan nonton!” Ya, tapi kita bicara soal anak-anak. Apa mereka bisa memutuskan segalanya sendiri? Bahkan masyarakat liberal pun tidak menganggap anak-anak mampu memutuskan segalanya sendiri. Itulah manusia. Tidak mungkin membebaskan manusia sebebas-sebebasnya. Selalu ada aturan, kalau tidak ada aturan, jadilah binatang. Tapi anehnya, ada juga yang menganggap manusia tidak berbeda dengan binatang.
Demikianlah sedikit brainstorming tentang topik kebebasan. Masih banyak yang belum dibahas. Bagaimanaapun artikel ini harus diakhiri. Takut kepanjangan dan melebar kemana-mana. Semoga Allah selalu melimpahkan petunjuk-Nya kepada kita. Aamiin...
 

Kamis, 04 Juni 2015

Perjuangan Dakwah dan Sikap Keras



Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal
Belakangan ini banyak pertanyaan tentang suatu gerakan yang dianggap radikal diantara gerakan-gerakan Islam lainnya. Gerakan ini dikenal dengan nama ISIS. Walaupun sebagian mengatakan ISIS sebenarnya sudah bubar, menjelma menjadi negara. Sejujurnya, jawaban paling tepat yang dapat saya berikan seputar ISIS adalah: saya tidak tahu. Artinya, terlalu sulit bagi saya untuk memilah mana informasi yang shahih dan tidak shahih dalam masalah ini. Ini memang fenomena akhir zaman. Begitu bebasnya informasi sehingga membuat kita kebingungan menilai keshahihan. Tapi tidak mengetahui bukan berarti tak bisa bersikap, sebab ada para ahli yang bisa diikuti pendapatnya. Sama seperti kita tidak memahami penyakit, namun sudah semestinya mengikuti saran dokter, meski tak paham diagnosanya.

Dalam masalah ISIS, saya mengikuti pendapat Syaikh Yusuf al-Qaradhawi. Syaikh Qaradhawi: Khilafah Ala ISIS Tak Sah Secara Syariah.
Paragraf ke-4 dan ke-5 dari artikel di atas sangat perlu dibaca. Menurut saya, inilah argumen yang paling jernih untuk menjelaskan fatwa tersebut. Dari link di atas, kita bisa membaca pendapat beliau. Walaupun tsiqah kepada beliau, tentu kita perlu membaca penjelasannya. Banyak yang terkejut ketika ISIS mendeklarasikan pendirian khilafah. Keterkejutan ini tidak mesti dipandang buruk.’
Dulu, Abu Bakar r.a diangkat sebagai Khalifah setelah Nabi s.a.w wafat. Tak ada yang protes, sebab semua mengenal dengan baik siapa beliau. Demikian juga ‘Umar r.a, ‘Utsman r.a, dan Ali r.a. Tak ada yang meragukan mereka. Malah aneh kalau ada yang protes. Tentu akan sangat lain kiranya jika yang menjadi khalifah adalah orang tak dikenal atau yang baru ‘kemarin sore’ masuk Islam. Tapi sayangnya, ISIS menuntut pengakuan dari seluruh umat Muslim secara tiba-tiba. Padahal orang-orang masih mempelajari situasi. Banyak yang tak kenal siapa orang yang diangkat oleh ISIS sebagai khalifah. Salahkah jika mereka bertanya-tanya?
Kembali pada poin simpang siurnya informasi; justru pada saat inilah ke-tsiqah-an menjadi begitu bernilai! Oleh karena itu, umat butuh penjelasan yang gamblang perihal ISIS dan tokoh-tokohnya. Maka, semestinya ISIS mampu berlapang dada dan mudah memaafkan saudara-saudaranya yang tak buru-buru membai’at.
Tapi jangankan di Irak dan Suriah, di Indonesia pun perdebatan soal ISIS begitu panas. Mengapa harus dibikin panas? Tidaklah logis jika cita-cita mempersatukan umat harus diemban oleh mereka yang ‘mudah panas’. Cita-cita sebesar ini sesungguhnya hanya bisa dipikul oleh mereka yang mudah memaafkan saudara-saudaranya. Bukan yang malah bersikap keras.
Di tengah-tengah simpang siurnya informasi seperti sekarang ini, memang tidak mudah untuk menelan bulat-bulat informasi dari tanah seberang. Ada yang mengatakan bahwa info-info miring soal ISIS itu fitnah. Bisa jadi. Tapi bagaimana membuat orang lain percaya? Jika tak bisa memberi jaminan bahwa info di tangannya 100% benar, bukankah lebih baik memaklumi keraguan orang lain?
Menurut Syaikh Abdullah Musthafa Rahhal, sebagian yang direkrut oleh ISIS adalah anak-anak muda yang tak pandai berbahasa Arab. Karena tak pandai bahasa setempat, maka mereka pun bisa dikelabui dengan info-info menyesatkan. Di Indonesia mungkin kasusnya tidak persis sama, tapi ada benang merahnya, yaitu soal minimnya ilmu. Sejak Ramadhan lalu, saya mengamati beberapa akun yang sangat vokal membela ISIS. Diantaranya ada anak-anak remaja. Bicaranya keras sekali mengkafirkan demokrasi, tapi sayang ia tak malu bicara di Twitter-nya soal lawan jenis, bahkan (maaf) soal onani. Jauh sebelum ada ISIS, saya sudah menemukan fenomena yang sama. Anak-anak muda bersemangat tinggi, sayang belajar agamanya tidak ‘pas’. Di antara mereka ada yang suka bicara kasar. Ketika ditegur,  jawabannya “ini masalah aqidah, lebih penting daripada akhlaq!”
Ini jawaban yang sangat absurd. Sebab, akhlaq yang baik adalah bukti dari aqidah yang lurus. Ini adalah pengetahuan umum. Jika beriman kepada Allah s.w.t, pastilah menyadari posisinya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika menyadari posisi sebagai khalifah (wakil) Allah, apakah kita biarkan saja akhlaq kita berantakan? Jelaslah bahwa aqidah dan akhlaq memiliki kaitan yang tidak mungkin diabaikan.
Yang tadi itu adalah contoh ekstrem. Tidak semua seperti itu, tentu saja. Bagaimana pun, ini adalah catatan tersendiri yang harus diperhatikan bagi ISIS dan para pendukungnya. Mudah-mudahan mereka cuma oknum. Sudah banyak video kekejaman yang saya lihat, konon adalah dokumentasi perbuatan ISIS. Tapi siapa yang bisa memastikan? ISIS atau bukan, yang jelas video-video tersebut menunjukkan sikap keras yang tidak pada tempatnya, jauh dari syari’at. Ada, misalnya, yang memenggal orang kemudian menenteng kepalanya kemana-mana, seolah-olah bangga. Ada juga yang membariskan kepala-kepala orang yang dieksekusi dan berfoto di belakangnya. Inikah orang yang paham syari’at? Ada juga video yang memperlihatkan orang-orang yang ditembak di kepala dari jarak dekat kemudian diceburkan ke laut.
Sekali lagi, pelakunya ISIS atau bukan, entahlah. Tapi yang jelas, video-video tersebut menunjukkan ketidaktahuan akan syari’at. Islam memang mengenal hukuman mati, namun tidak dilakukan dengan sembrono. Ketika hukuman mati diberlakukan, tidaklah wajar jika kita bersenang-senang, apalagi berfoto-foto bersama jenazah. Jika hal itu dilakukan, apa bedanya kita dengan kaum zionis? Baca: Sharing pictures of corpses on social media isn’t the way to bring a ceasefire. Nabi Muhammad s.a.w pun berperang dan melawan musuh, namun tidak ‘menikmati pembunuhan’ seperti itu.
Kembali pada masalah ketidaktahuan saya, karena ketidaktahuan itulah maka saya harus mengikuti pendapat ulama yang saya percayai. Saya, bersama-sama mayoritas umat Muslim lainnya, masih bertanya-tanya tentang hakikat ISIS dan profil para pendukungnya. Sat hal yang pasti, kita harus menghindari sikap berlebihan dalam agama. Segala hal yang berlebihan tidaklah disukai, termasuk dalam mempraktekkan ajaran-ajaran agama. Terlalu lembek itu tidak baik, namun terlalu keras pun sama tidak baiknya. Terlalu bersemangat dalam melakukan ibadah-ibadah pada akhirnya membuat semangat kendur. Karena itu, beribadahlah secara bertahap. Sudah berulang kali saya melihat anak muda yang berdakwah dengan ‘berapi-api’, namun tak lama kemudian jadi ‘mantan da’i’.
Semangat mempelajari Islam semestinya membuat perilaku kita menjadi lemah lembut, makin mudah memaafkan. Jika sikap kita semakin keras, maka mulailah bertanya-tanya: Apa yang salah? Jika proses belajarnya benar, tidak akan demikian. Sikap keras justru menjadi fitnah yang membuat orang sulit menerima seruan dakwah Islam. Selain itu, orang-orang yang bersikap keras juga paling mudah dimanfaatkan dan diadu domba. Tantangan dakwah di zaman sekarang sangatlah kompleks. Tak ada masalah yang bisa diselesaikan dengan sikap keras.
Nabi Muhammad s.a.w pun berjihad, dan jihad adalah bagian dari ajaran agama. Namun tak semuanya diselesaikan dengan jihad. Menang di Perang Badar, seri di Perang Uhud, sukses di Perang Ahzab, tapi toh Mekkah ditaklukkan dengan hati, bukan dengan pedang. Bagaimana Rasulullah s.a.w memasuki Mekkah? Sebagai pemenang, tapi pedangnya saat itu tak diayunkan. Beliau memasuki Mekkah dengan kepala tertunduk, janggut beliau hampir menyentuh pelana. Bacalah kisahnya dalam Sirah Nabawiyah. Pada titik itulah rakyat Mekkah, yang sudah lama memerangi beliau, akhirnya menyadari hakikat dakwah Islam. Nabi s.a.w memerangi kaum Quraisy karena dulu tak ada lagi jalan lain, bukan karena beliau gila perang. Jika ada jalan lain, maka tak perlu lagi menumpahkan darah. Maka tak ada pembantaian di hari Fathu Makkah. Setelah itu, berbondong-bondonglah warga Mekkah memeluk Islam. Dan selanjutnya, berbondong-bondong pulalah warga Jazirah Arab memeluk Islam. Rasulullah s.a.w adalah pemenang di medan jihad, namun yang lebih penting lagi, beliau adalah pemenang di hati umat manusia.
Kita harus menempatkan segala sesuatunya secara adil; segalanya harus seimbang. Mereka yang mengatakan jihad tak diperlukan lagi jelas keliru, tapi yang berpikiran bahwa jihad adalah segala-galanya juga tidak teliti. Jihad dibutuhkan untuk mengamankan dakwah. Jika dakwah tidak terancam, apa salahnya kita bertukar pikiran dengan lisan?
Jika demikian halnya dengan orang-orang kafir, bukankah dengan sesama Muslim kaidah ini lebih wajar lagi untuk diberlakukan? Mengapa kita harus disibukkan dengan permusuhan sesama Muslim, padahal musuh-musuh Islam sudah sangat jelas? Mengapa hati begitu sempit sehingga tak ada lagi tempat lapang untuk memaafkan saudara-saudara kita yang seiman? Jika begitu sulit bagimu untuk bersikap lembut kepada hamba-hamba Allah, apakah engkau berharap Allah akan bersikap lembut kepadamu?
Di zaman yang penuh fitnah dan kebohongan ini, sepantasnyalah kita saling membangun kepercayaan, bukan saling menuntut. Semoga kita dijadikan Muslim yang membuat saudara-saudara kita merasa aman dengan kehadiran kita. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin...
Sumber: storify.com/malakmalakmal/
Referensi: www.LampuIslam.blogspot.com
Page Facebook: www.facebook.com/riska.pratama.ardi

Jangan Bersedih Ketika Kesulitan Mendera


Allah s.w.t akan menguji hamba-hamba yang dicintai-Nya. Dan Dia akan melihat apakah kalimat syahadat yang mereka ucapkan adalah benar. Allah s.w.t berfirman dalam Quran:
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Qs. al-Ankabut [29]: 2-3).
Allah tidak akan membiarkan anda sampai Dia mengetes anda sebagai seorang munafiq atau mukmin. Allah tidak akan membiarkan anda memasuki surga kecuali Dia akan menguji anda berulang kali. Seorang mukmin tidak akan menjadi wali Allah sampai dia diuji.

Dan akan ada orang-orang yang menguji keimanan anda, keluarga anda, atau kehormatan anda dalam kehidupan sehari-hari.
Allah s.w.t berfirman:
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah[2] : 155-157)
Ketika seseorang memfitnah anda tanpa bukti, Allah tahu bahwa anda terbebas dari tuduhan itu. Allah tahu orang itu cuma menuduh anda, tapi Dia menguji anda sehingga Dia bisa menaikkan derajat anda! Ketika orang-orang merendahkan anda, derajat anda akan naik menjadi orang yang dicintai Allah jika anda bersabar! Jadi jangan mengeluhkan ujian melainkan sambutlah ia!
Ketika orang beriman mendapatkan kesukaran, dia tidak menjadi depresi karena dia mengingat Allah dan ridha terhadap keputusan Allah sehingga Allah memberikan ketenangan batin padanya. Seorang Muslim sejati tidak akan merasa depresi. Jika seseorang merasa depresi dan stres, maka ada sesuatu yang salah dengan imannya.
Dan dikatakan dalam hadist qudsi:
Barangsiapa yang tidak ridha dengan apa yang Allah berikan padanya. Barangsiapa yang tidak bersabar ketika Allah menimpakan kesukaran, maka Dia lebih baik mencari tuhan lain selain Aku. Dan jika seseorang ridha dengan Allah meskipun Allah hanya memberinya sedikit, maka Allah akan ridha dengan amalannya yang sedikit.”
Jika Allah memberi sedikit rezeki kepada seseorang, misalnya dia punya sebuah motor tua, rumah sederhana, dan baginya itu sudah cukup. Dia tidak makan 3 kali sehari setiap hari, tapi dia mendapatkan secukupnya untuk mengisi perutnya. Dia ridha dengan Allah, maka Allah akan ridha dengan amalannya yang sedikit.
Kesukaran hanya menjadi negatif jika hal itu menjadi penghalang antara anda dan Allah s.w.t. Tapi kesukaran menjadi positif dan menjadi motivasi bagi anda ketika ia mendekatkan anda kepada Allah s.w.t.
Setiap orang yang melalui kepedihan dan kesukaran harus menyadari bahwa semua ini bukan berarti Allah s.w.t ingin menghukum anda, melainkan ini adalah seruan dari Allah s.w.t agar kita mendekat kepada-Nya.
Dan inilah salah satu hikmah dari cobaan dan musibah. Kita menjadi dekat satu sama lain dengan saling mengobrol dan menelpon, namun kita menjadi dekat kepada Allah s.w.t melalui cobaan dan musibah!
Dan anda bisa menanggapinya sebagai berikut: Yang pertama, anda menghadapi kesukaran dan mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Yang kedua, anda memilih untuk begitu saja menerima kesukaran itu seorang diri, tidak melakukan apapun, dan kemudian anda akan melihat dampaknya terhadap keimanan anda. Ketika anda terisolasi, anda mulai merasakan keimanan mulai memudar! Kualitas shalat, khusyu’nya shalat, semuanya memudar! Kemampuan anda untuk membaca Quran, untuk berpuasa, tidak lagi ada.
Apa yang anda lakukan? Yang anda lakukan adalah menyerahkan diri kepada setan! Dan setan telah berjanji untuk menyesatkan jalan anda dari Allah s.w.t. Jadi dalam masa-masa sulit anda harus mencari orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan buatlah mereka menuntun anda kepada Allah s.w.t.
Cobaan paling ringan yang diterima seseorang adalah dia sedang berjalan-jalan dan tertusuk oleh duri dan membuatnya berkata “Aduh!” Rasulullah s.a.w bersabda: “Tidak seorang pun tertusuk duri, kecuali Allah s.w.t menghapuskan dosanya karenanya.”
Cobaan dan musibah adalah cara mendapatkan ampunan, semua itu adalah cara memurnikan anda,  sehingga anda dapat pergi ke tempat tersuci (surga). Hukuman Allah bukanlah karena kemarahan atau kemurkaan-Nya, melainkan cara untuk membersihkan anda dari dosa.
Jangan hanya duduk dan mengira-ngira mengapa Allah memberikan kesukaran pada anda, karena tidak mungkin anda bisa mengetahui penyebabnya. Tapi saya menjamin satu hal pada anda. Allah berfirman dalam Quran bahwa Dia akan menjelaskan kenapa hal-hal tertentu menimpa anda di dunia. Dia tidak bisa memberitahu anda sekarang, karena jika Dia memberitahu anda sekarang, maka ini tidak lagi disebut ujian.
Dan dalam hadist Allah Azza wa Jalla memilih orang yang paling dekat kepada-Nya untuk diberikan ujian terberat. Kenapa Allah melakukan itu? Karena Allah Azza wa Jalla tidak hanya ingin untuk memberikan derajat tinggi kepadanya, tapi Allah Azza wa Jalla juga ingin menjadikannya sebagai contoh bagi umat manusia. Dan Allah Azza wa Jalla ingin menjadikan bahwa mereka punya alasan yang kuat untuk pergi ke jannah (surga). Temanku, jika anda ingin pergi ke jannah (surga), Allah harus menunjukkan di hari kiamat “Hamba-Ku yang ini mendapatkan jannah karena alasan ini.”
Rasulullah s.a.w bersabda: “Perkara seorang mukmin itu aneh, ketika Allah merahmatinya dengan sesuatu yang baik dan dia bersyukur kepada Allah, maka Allah memberinya pahala dan merahmatinya. Dan ketika Allah memberinya kesulitan, kemudian dia bersabar untuk melalui kesulitan itu, dia juga mendapatkan pahala dan rahmat dari Allah.”
Pahala yang akan diberikan Allah kepada orang-orang yang bersabar tidak terhitung banyaknya! Seseorang akan menderita selama beberapa tahun, dan meskipun di sepanjang hidupnya dipenuhi cobaan yang berat, misalnya penyakit yang parah sampai kematian merenggutnya. Namun ketika kematian datang, penyakitnya juga dicabut! Tidak ada seorangpun yang menderita kanker di dalam kubur atau di jannah (surga).
Kesukaran-kesukaran ini sesungguhnya baik, tapi kita menganggapnya sebagai sesuatu yang jahat.
Allah mengirimkan kesukaran untuk menguji anda! Kematian dapat merenggut anda kapan saja! Jadi pastikan selalu iman anda berada dalam kondisi baik. Dia mengirimkan ujian pada anda untuk menjaga anda dari dosa-dosa anda sendiri!
Allah Azza wa Jalla mengirimkan kesukaran pada anda mungkin karena anda belum berdo’a sejak waktu yang lama, dan kini waktunya mendekat kembali pada Allah! Terkadang kita baru bisa mendekat kepada Allah ketika ujian mendera, kita harus merasakan kesulitan dulu baru mau mengingat Allah s.w.t, Dan Allah membuka jalan untuk itu. Dia mengirimkan kesukaran untuk menyempurnakan kita!
Berbagai manfaat ada bersama datangnya kesukara. Juga seperti yang dikatakan pepatah “Cobaan itu baik bagimu karena ia adalah kepedihan. Dan kepedihan adalah kelemahan yang keluar dari tubuhmu. Jika kepedihan itu tidak menghancurkanmu, maka ia membuatmu lebih kuat.”  Dan agar kita ingat bahwa kita adalah milik Allah! Dengan demikian Dia mempunyai segala hak untuk melakukan apapun kepada kita seperti yang diinginkan-Nya.
Tidakkah kita mengetahui kisah para Anbiyya (para nabi) a.s, merekalah orang-orang yang menerima ujian terberat, meski begitu mereka tidak pernah berpaling dari Allah s.w.t! Namun sedikit saja kesulitan datang kepada kita, kita langsung berpikir “Apa salahku? Aku sudah shalat 5 waktu, bersedekah, melakukan ini dan itu! Kenapa Allah menimpakan ini padaku?” Anda seringkali mendengar orang-orang mengatakan hal bodoh ini! “Kenapa aku menerima kesulitan?”, kata mereka. Jika Allah s.w.t menguji para anbiyya (nabi), kenapa Dia tidak boleh menguji kita? Ini adalah hak-Nya. Wallahu'alam.
 

Bukankah Tuhan Telah Menetapkan Jodoh Kita?



Semakin dewasa, akhir pekan kian terasa berbeda. Sekarang bukan lagi masanya menggulung diri di dalam selimut, mandi sekali sehari, lalu nonton serial TV seharian. Undangan pernikahan teman yang hampir tiap weekend datang harus dihadiri sebagai tanda penghormatan.
Perasaan bahagia saat melihat teman seperjuangan bersanding dengan pasangan pilihannya sering diikuti dengan pertanyaan yang muncul tanpa diminta,

“Duh, besok bakal bersanding di pelaminan sama siapa ya?”
“Jodoh gue besok kayak gimana ya? Ketemunya masih lama nggak ya?”
Rasa cemas, insecure sebab masih sendiri di usia yang kata orang sudah matang membuat kita merasa harus segera mengikuti jejak mereka. Urusan jodoh, tanpa sadar menjadikan kita manusia yang selalu khawatir — sampai benar-benar jadi pasangan sah di depan negara dan agama.
Padahal jika mau bersabar sedikit saja– bukankah jodoh itu sebenarnya sederhana?
Selama ini kita seperti pecinta alam dan sutradara yang terlampau kreatif. Menerka dan membuka jalan, yang sebenarnya belum tentu diamini oleh Tuhan. Kita adalah manusia yang terlampau kreatif dalam mengarang cerita.
Kita adalah manusia yang terlampau kreatif dalam mengarang cerita.
Ada satu orang sahabat saya yang cuek setengah mati soal urusan cinta. Sampai ulang tahunnya yang ke-24 dia memegang trofi sebagai jomblo abadi. Isi hidupnya hanya kuliah, segala urusan organisasi, ikut penelitian dosen, kumpul-kumpul bersama kami, lalu belakangan ikut kursus pra nikah sesekali. Dengan statusnya yang masih sendiri.
Tapi anehnya sahabat saya ini tidak pernah merasa kekurangan. Di wajahnya selalu bisa kami temukan senyum bahagia, bahkan lebih tulus dari kami yang ditemani pacar ke mana-mana. Dia adalah orang yang berapi-api soal cita-cita. Tak harus dihadapkan pada kegalauan saat ngambek dengan pacar membuatnya bisa menghabiskan waktu untuk banyak menulis dan membaca.
Plot twist pun tiba. Saat kami masih galau soal pekerjaan pertama dan perkara membawa hubungan cinta ke arah mana — kami mendapat kabar bahwa jomblo abadi ini akan menikah dengan pria yang selama ini jadi kawan satu organisasinya. Akad akan dilakukan segera selepas lamaran, demi menghindari hal-hal yang keluar dari ajaran.
Geli rasanya. Kami yang sudah berinvestasi waktu pun perasaan dalam ikatan pacaran sekian lama justru belum berani mengikuti jejaknya. Menghadiri prosesi akadnya seperti membawa kaca ke depan muka:
Jika mau jujur sedikit saja, sebenarnya berapa banyak waktu kita yang sudah terbuang sia-sia?
Saat kami menghabiskan masa muda dengan meratapi sakit hati, dia justru bebas loncat dari satu organisasi ke lembaga kemasyarakatan yang menarik hati. Dia boleh jadi tak merasakan debaran saat bertukar rayuan manis dengan pacar, tapi justru pernikahannya membuat kami sedikit gusar.
Ketika kami terlalu sibuk bertukar janji demi masa depan bersama, sahabat saya ini justru langsung berani menjalaninya — bersama pria pilihannya.
Berkaca dari banyak pengalaman ternyata yang dibutuhkan hanya kemantapan dan sedikit kenekatan. Membangun masa depan tak memerlukan keahlian yang dibiakkan dari pacaran. Membangun masa depan ternyata tak butuh keahlian dari pacaran
Seringkali kalkulasi manusia dan kalkulasi Tuhan berjalan di platform yang berbeda. 1095 hari bersama tidak membawa kemantapan yang sudah ditunggu sekian lama. Kita masih sering memandang wajah orang yang sudah kita genggam tangannya bertahun-tahun lamanya, kemudian membayangkan apakah masa depan benar-benar layak dijalani bersamanya.
Hubungan yang sudah sempurna di mata orang-orang bisa kandas. Perasaan yang kuat ternyata bisa hilang. Bersisian sekian lama, menerka masa depan berdua ternyata tidak menjanjikan apa-apa. Jika memang tidak ada niatan baik untuk membawa hubungan ini ke arah selanjutnya.
Inilah kenapa kisah-kisah “bertemu-orang-yang-tepat” setelah putus dari pacaran bertahun-tahun bermunculan. Kenekatan kerap muncul setelah dikecewakan. Keinginan membangun komitmen ternyata perlu didorong oleh hati yang sudah lelah menghadapi perihnya kegagalan. Ibarat lari maraton panjang, selepas garis finish kita hanya ingin meregangkan otot yang tegang — dalam sebuah peristirahatan yang jauh dari kata menantang.
Ternyata keyakinan untuk bisa membangun masa depan bersama tidak membutuhkan training bertahun-tahun lamanya. Kita bisa mengeliminasi keharusan PDKT, ratusan kali kencan, dan episode drama yang jumlahnya melebihi jari tangan.
Dalam banyak kasus, justru kemantapan itu datang setelah memantaskan diri sebagai pribadi — selepas dipertemukan dengan orang yang juga sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Jodoh toh bukan aljabar yang harus membuat kita sakit kepala. Bahkan prosesi peresmiannya berlangsung tak lebih dari hitungan menit saja. Haruskah kita galau pada prosesi yang berlangsung dalam hitungan menit saja?
Bukankah tujuan akhir dari selalu ke mana-mana berdua adalah ucapan dalam satu hela nafas,
“Saya terima nikahnya!”
Lucu bukan, jika kita rela menghabiskan waktu bertahun-tahun lamanya demi prosesi yang berlangsung bahkan lebih singkat dari wisuda?
Semakin dewasa, setelah jadi saksi bagaimana kawan-kawan menemukan pasangan hidupnya — pandangan kita terhadap jodoh justru akan makin sederhana. Ini bukan lagi soal kencan kemana, memperindah diri dengan baju apa, sampai berapa lama sudah saling mendampingi dan memanggil sayang ke depan muka.
Jodoh ternyata tak lebih dari soal keberanian, kesiapan sebagai pribadi bertemu dengan peluang, keyakinan bahwa hidup tak lagi layak diperjuangkan sendirian. Konsep jodoh yang dengan jelas sudah disiapkan Tuhan sebenarnya tidak menuntut kita untuk galau menantikannya.
Toh dia pasti akan datang sendiri. Bukankah Tuhan tidak akan bermain-main dengan janji?
Kita-kita ini saja yang suka lebay mendramatisir suasana. Merasa paling merana jika belum menemukannya. Merasa hidup kurang sempurna jika belum bertemu pasangan yang bisa menggenapkan separuh jiwa. Padahal jika memang sudah waktunya, pintu jodoh itu akan terbuka dengan sendirinya. Mudah, sederhana, bahkan kadang tanpa banyak usaha.
Kalau memang bukan garisnya, diikat pakai batu akik pun, tak akan jadi jodoh kita seorang anak manusia. Jika memang begini hukumnya — haruskah kita galau dan bercemas diri lama-lama? Haruskah kita galau lama-lama?
Pertunangan bisa gagal, khitbah bisa dibatalkan, pun resepsi bisa di-cancel beberapa jam sebelum perhelatan. Ikatan sebelum pernikahan (ternyata) tidak layak membuat kita merasa aman, pun bangga karena merasa sudah punya pasangan. Sebab ternyata tak ada yang bisa memberi jaminan.
Janji-janji manis yang sudah terucap sebelumya tidak akan berarti apa-apa sampai ada tanda sah di depan negara dan agama. Cincin berlian, atau bahkan batu akik yang sedang hits itu tak akan membantu apapun, jika memang jalan hidup berkata sebaliknya.
Daripada mencemaskan yang sudah tergariskan, mengapa kita tidak mengusahakan yang bisa diubah lewat usaha keras? Rezeki, pekerjaan, membuka kesempatan untuk kembali studi di luar negeri, sampai memutar otak demi membahagiakan orangtua yang sudah tak semandiri dulu lagi misalnya? Hal-hal itu lebih layak mengakuisisi ruang otak kita dibanding terus-terusan galau memikirkan pasangan yang sudah jelas dipersiapkan oleh yang Maha Kuasa.
Akan tiba masanya, ketika kita memandang orang yang tertidur dengan lelap di sisi kanan sembari tersenyum. Ternyata begini jalannya. Ternyata inilah jodoh kita yang telah disiapkan oleh Tuhan. Suatu hari, semua kecemasan yang memenuhi rongga kepala ini hanya akan jadi bahan tertawaan saja.
Bolehkah mulai sekarang kita berusaha lalu berserah saja? Sebab pada akhirnya, jodoh toh sebenarnya sederhana.
 
Sumber:  hipwee.com

Rabu, 03 Juni 2015

5 Penyebab Do’a Kita Tidak Dikabulkan



Silahkan klik link berikut untuk menonton videonya: 5 Penyebab Do'a Tidak Dikabulkan Allah

Ada beberapa penyebab do’a kita tidak dikabulkan oleh Allah s.w.t. Berikut ini beberapa di antaranya:
Pertama, do’a kita tidak dijawab oleh Allah s.w.t karena dosa kita. Ada hadist dari Rasulullah s.a.w dalam Sahih Muslim yang mengisahkan tentang seseorang yang mendapatkan rezeki dari jalan yang tidak halal. Karena dosa itulah, maka do’anya tidak dikabulkan oleh Allah.
Kedua, kita mungkin meminta sesuatu yang haram. Misalnya jika kita berdo’a agar dijadikan orang kaya sehingga dapat menghamburkan uang untuk berjudi, kemungkinan do’a kita tidak dikabulkan Allah. Ini dikarenakan kasih sayang Allah s.w.t kepada kita. Dia melindungi kita dari dosa berjudi itu, karenanya Allah tidak mengabulkan do’a kita.

Ketiga, Allah s.w.t tahu bahwa apa yang kita minta sebenarnya tidak baik. Kita mungkin berpikir bahwa apa yang kita minta itu baik, tapi Allah dengan kebijaksanaan-Nya tahu bahwa itu tidak baik untuk kita. Misalnya, kita berdo’a agar bisa menikah dengan seseorang, tapi Allah tahu bahwa pernikahan ini sebenarnya tidak baik bagi kita, karena jika kita menikahi orang tersebut, maka rumah tangga kita akan hancur karena ketidakcocokan sifat dengan pasangan kita, dan ujung-ujungnya kita malah bercerai. Oleh karenanya Allah tidak mengabulkan do’a kita.
Keempat, Allah s.w.t telah menyiapkan sesuatu yang lebih baik untuk kita di akhirat. Artinya, Allah s.w.t mungkin tidak mengabulkan do’a kita karena Allah s.w.t ingin memberikan pahala yang jauh lebih baik bagi kita di akhirat.
.
Kelima, mungkin saja do’a kita tetap dikabulkan tapi hanya ditunda. Dan Allah s.w.t menunda do’a kita karena alasan tertentu. Misalnya Allah s.w.t tahu bahwa ketika kita secara konsisten berdo’a, maka kita semakin dekat kepada Allah. Karenanya Allah s.w.t ingin agar kita semakin dekat kepada-Nya.
Alasan lain kenapa do’a kita ditunda mungkin karena Allah s.w.t sedang menguji kita. Seperti yang disabdakan Rasulullah s.a.w bahwa ketika Allah mencintai seseorang, maka Allah akan menguji orang tersebut. Apabila orang tersebut bersabar atas ujian yang dideritanya, maka Allah akan meninggikan derajatnya dan memuliakannya. Jadi ketika kita tertimpa suatu musibah dan kita merasa tidak menemukan jalan keluar, berprasangka baiklah kepada Allah. Anggaplah ujian ini sebagai kesempatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah s.w.t
Wallahu’alam, semoga artikel ini bermanfaat, insya Allah. 

Selasa, 02 Juni 2015

Kenapa Hampir Semua Muslim adalah Teroris dan Fundamentalis?


Pertanyaan: Mengapa sebagian besar Muslim adalah teroris dan fundamentalis?

Jawaban:

Pertanyaan ini sering ditujukan pada Muslim, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam setiap diskusi tentang agama atau dunia. Citra negatif terhadap Muslim diabadikan dalam berbagai media disertai dengan informasi-informasi yang salah tentang Islam dan Muslim. Bahkan, informasi yang salah tersebut dan propaganda palsu sering menyebabkan diskriminasi dan tindak kekerasan terhadap Muslim. Contohnya adalah kampanye anti-Muslim di media-media Amerika menyusul ledakan bom Oklahoma, di mana pers dengan cepatnya menyatakan 'konspirasi Timur Tengah' di balik serangan itu. Ternyata pelakunya adalah seorang prajurit dari Angkatan Bersenjata Amerika.

Mari kita analisis tuduhan bahwa Muslim adalah 'fundamentalisme' dan 'terorisme' ini:

1. Definisi dari kata 'fundamentalis'
Fundamentalis adalah orang yang mengikuti dan mematuhi prinsip-prinsip doktrin atau teori yang dianutnya. Bagi seseorang untuk menjadi dokter yang baik, ia harus tahu, mengikuti, dan mempraktekkan prinsip-prinsip kedokteran. Dengan kata lain, ia harus menjadi fundamentalis di bidang kedokteran. Bagi seseorang untuk menjadi ahli matematika yang baik, ia harus tahu, mengikuti, dan mempraktekkan dasar-dasar matematika. Dia harus menjadi fundamentalis di bidang matematika. Bagi seseorang untuk menjadi ilmuwan yang baik, ia harus tahu, mengikuti dan mempraktekkan dasar-dasar sains. Dia harus menjadi fundamentalis di bidang sains.
2. Tidak semua 'fundamentalis' adalah sama
Seseorang tidak bisa mengecap semua fundamentalis dengan persangkaan yang sama. Seseorang tidak bisa mengkategorikan semua fundamentalis sebagai orang baik atau buruk. Kategorisasi seperti itu tergantung pada bidang atau kegiatan apakah dia menjadi seorang fundamentalis. Seorang perampok fundamentalis atau pencuri menyebabkan kerugian bagi masyarakat, dan karenanya mereka dibenci. Di sisi lain, seorang dokter fundamentalis, bermanfaat masyarakat dan mendapatkan banyak penghargaan.

3. Saya bangga menjadi seorang Muslim fundamentalis
Saya seorang Muslim fundamentalis yang mengetahui dan berusaha untuk menjalankan prinsip-prinsip Islam. Seorang Muslim sejati tidak akan malu mengaku sebagai seorang fundamentalis. Saya bangga menjadi seorang Muslim fundamentalis karena, saya tahu bahwa prinsip-prinsip Islam bermanfaat bagi umat manusia dan seluruh dunia. Tidak ada satu pun prinsip dalam Islam yang menyebabkan kerugian atau bertentangan dengan hak asasi manusia secara keseluruhan. Banyak orang salah paham tentang Islam dan menganggap beberapa ajaran Islam tidak adil atau tidak pantas. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan dan salah informasi tentang Islam. Jika orang tersebut menganalisis ajaran Islam dengan seksama dan pikiran terbuka, orang tersebut tidak dapat menghindar dari kenyataan bahwa Islam penuh manfaat baik di tingkat individu maupun kolektif.

4. Arti kamus dari kata 'fundamentalis'
Menurut Webster Dictionary, 'fundamentalisme' adalah gerakan di Amerika oleh umat Kristen Protestan yang muncul di awal abad ke-20. Itu adalah reaksi terhadap modernisme, dan menekankan kesempurnaan Bibel, tidak hanya dalam masalah iman dan moral, tetapi juga sebagai catatan sejarah harfiah. Gerakan ini menekankan pada keyakinan terhadap Bibel sebagai firman Tuhan yang harfiah. Dengan demikian fundamentalisme pada awalnya adalah kata yang digunakan pada sekelompok orang Kristen yang percaya bahwa Bibel adalah firman Allah tanpa kesalahan apapun dan bersifat sempurna.
Menurut kamus Oxford 'fundamentalisme' berarti 'menjaga dengan ketat doktrin kuno atau doktrin-doktrin fundamental dari agama manapun, terutama Islam. Di zaman sekarang, ketika seseorang menggunakan kata fundamentalis, dalam benaknya dia memikirkan seorang muslim yang teroris.
5. Setiap Muslim harus menjadi seorang teroris
Setiap Muslim harus menjadi seorang teroris. Seorang teroris adalah orang yang menyebabkan teror. Saat perampok melihat seorang polisi dia ketakutan. Seorang polisi adalah teroris untuk perampok. Demikian pula setiap Muslim harus menjadi teroris untuk elemen anti-sosial masyarakat, seperti pencuri, perampok, dan pemerkosa. Setiap kali elemen anti-sosial melihat seorang Muslim, ia harus takut. Memang benar bahwa kata 'teroris' umumnya digunakan untuk orang yang menyebabkan teror di kalangan rakyat umum. Tapi seorang Muslim sejati hanya diizinkan menjadi teroris untuk orang-orang tertentu seperti elemen anti-sosial, dan bukan kepada masyarakat umum yang tidak bersalah. Bahkan seorang Muslim harus menjadi penjaga perdamaian bagi orang-orang yang tidak bersalah.
6. Cap yang berbeda diberikan kepada individu yang sama untuk tindakan yang sama, yaitu 'teroris' dan 'pahlawan'
Sebelum Indonesia mendapat kemerdekaan dari penjajahan Belanda, beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia yang memerangi Belanda dicap sebagai teroris oleh pemerintah Belanda. Namun para pejuang itu dipuji oleh pemerintah Indonesia untuk tindakan yang sama dan dianggap sebagai 'pahlawan'. Jadi dua cap yang berbeda telah diberikan kepada orang yang sama untuk tindakan yang sama. Yang satu menyebutnya teroris sementara yang lain memanggilnya pahlawan. Mereka yang percaya bahwa Belanda memiliki hak untuk menguasai Indonesia menyebut para pejuang kemerdekaan sebagai teroris, sementara mereka yang berpandangan bahwa Belanda tidak punya hak untuk menguasai Indonesia menyebut pejuang kemerdekaan dengan sebutan pahlawan.
Oleh karena itu menjadi penting sebelum menilai seseorang, ia harus dihakimi dengan adil. Argumen dari kedua belah pihak harus didengar, situasi harus dianalisis, dan alasan dan tujuan orang tersebut harus diperhitungkan, barulah kemudian orang tersebut dapat diberi penilaian.
7. Islam berarti damai
Islam berasal dari kata 'salaam' yang berarti damai. Islam adalah agama damai yang prinsip-prinsipnya mengajarkan pengikutnya untuk mempertahankan dan menyebarkan perdamaian di seluruh dunia.
Dengan demikian setiap Muslim harus menjadi fundamentalis yaitu dia harus mengikuti prinsip-prinsip Agama Perdamaian: Islam. Dia harus menjadi teroris hanya terhadap elemen anti-sosial dalam rangka untuk menyebarkan perdamaian dan keadilan di masyarakat.

Sumber: irf.net
Referensi: www.LampuIslam.blogspot.com
Page Facebook: www.facebook.com/riska.pratama.ardi