Kamis, 11 Februari 2016

Makanan dan Minuman Nabi Muhammad



Hidangan lezat dan mewah mengalir dari rumah ke rumah di antara orang-orang kaya dan para pemimpin dari abad ke abad. Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam dikenal sebagai seorang pemimpin. Seringkali datang kepada beliau unta-unta yang penuh dengan muatan, zakat, emas, dan perak. Dengan kekuasaan yang sangat besar ini, bagaimanakah cara makan dan minum Nabi Muhammad? Samakah dengan para pemimpin dan raja pada umumnya? Jangan heran bahwa sebenarnya Rasulullah tidak pernah kenyang. Makan hanya sekadarnya saja, bahkan beliau sering kekurangan makanan sehingga memaksanya untuk berpuasa. Anas bin Malik bercerita kepada kita, sesungguhnya tidak pernah terdapat dalam makan siang Rasulullah atau makan malamnya, roti dan daging, kecuali sangat sedikit dan kekurangan.” (H.R. Tirmidzi)
Diriwayatkan dari Aisyah radiyallahu ‘anha sebagai berikut,
Keluarga Muhammad belum pernah kenyang dari roti dan gandum selama dua hari berturut-turut sampai Rasulullah meninggal.” (H.R. Muslim)
Dalam riwayat lainnya dikatakan,
Tidak pernah keluarga Muhammad itu merasakan kenyang, sejak beliau tiba di Madinah, dari makanan yang layak, sampai beliau dipanggil Yang Mahakuasa.(Muttafaq ‘alaih)
Bahkan, kerap kali beliau tidur tanpa ada sesuatu pun yang mengisi perutnya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu,
Rasulullah melewatkan malam-malamnya bersama keluarga tanpa makan malam, kalaupun ada roti, itu pun roti kering yang terbuat dari gandum.” (H.R. Muslim)
Masalahnya bukanlah kekurangan. Akan tetapi, seringkali harta melimpah datang, baik melalui rampasan perang maupun lainnya, namun karena Allah telah membimbing beliau kepada kesempurnaan akhlaq, yang berbicara kemudian adalah kemurahan dan kedermawanan beliau. Harta-harta beliau dibagi-bagikan kepada orang-orang fakir miskin dan demi kepentingan umat.
Berkata Ibnu Harits, “Rasulullah shalat Ashar bersama kami kemudian beliau bergegas masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian beliau keluar dan kami pun bertanya. Lalu beliau menjawab, ‘Di rumah aku meninggalkan emas dari hasil sedekah, maka aku enggan untuk menyimpannya sampai aku membagi-bagikannya.’” (H.R. Muslim)
Sungguh suatu kedermawanan yang luar biasa, melalui tangan beliau yang agung. Seperti yang diceritakan oleh Anas bahwa Rasulullah tidak pernah menolak permintaan seseorang. Pernah suatu kali datang seorang laki-laki kemudian Nabi Muhammad memberinya sekumpulan kambing di antara dua bukit. Lalu laki-laki itu pulang menemui kaumnya dan berteriak lantang, “Wahai kaumku, masuklah kalian ke dalam Islam, sesungguhnya Muhammad memberikan pemberian kepada seseorang dan dia tidak takut menjadi fakir.” (H.R. Muslim)
Walaupun Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam adalah pribadi yang dermawan dan suka bersedekah, akan tetapi keadaan beliau sendiri sangat patut untuk kita renungkan. Anas bin Malik berkata,
Tidak pernah Rasulullah duduk menghadapi meja makan yang penuh hidangan, sampai beliau wafat. Dan tidak pernah beliau makan roti yang enak dan lembut sampai wafat.” (H.R. Bukhari)
Aisyah menuturkan bahwa suatu hari Rasulullah datang kepadanya lalu berkata, “Apakah ada sesuatu yang bisa dimakan?” Aisyah menjawab, “Tidak ada.” Rasulullah berkata, “Kalau begitu aku berpuasa.” (H.R. Muslim) Diriwayatkan pula bahwa kadang-kadang beliau bersama keluarga selama sebulan penuh hanya mengisi perutnya dengan kurma dan air. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dengan makanan yang sangat sedikit ini beliau banyak bersyukur kepada Allah dan segala nikmat yang diberikan-Nya. Beliau juga berterima kasih kepada orang-orang yang telah membuat makanan itu dan belum pernah Rasulullah menegur mereka kalau bersalah. Oleh karena itu, disebutkan dalam berbagai riwayat bahwa beliau tidak pernah mencela makanan, tidak pernah menegur tukang masak, tidak pernah menolak makanan yang disediakan, dan tidak pernah meminta sesuatu yang tidak ada. Beliau seorang nabi yang tidak mementingkan perutnya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Belum pernah Rasulullah mencela suatu makanan. Kalau beliau suka, makanan itu dimakannya, dan kalau beliau tidak suka, ditinggalkannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Berkata Ibnu Taimiyyah, “Adapun tentang makanan dan pakaian, maka sebaik-baik petunjuk tentang hal tersebut adalah petunjuk dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Akhlaq beliau dalam hal makanan adalah makan sedikit dari yang beliau suka, tidak menolak makanan yang disediakan, tidak mencari-cari yang tidak disediakan. Beliau makan daging dan roti yang dihidangkan, beliau juga memakan kurma yang dihidangkan. Namun, apabila terdapat dua makanan dengan warna yang berbeda, beliau hanya makan satu saja. Beliau juga tidak menolak makanan yang manis dan lezat. Dalam sebuah hadits dikatakan, “Aku puasa dan aku berbuka, aku tidur dan aku bangun, aku makan daging dan aku menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, dia bukan termasuk golonganku.”
Allah menyuruh agar kita memakan makanan yang baik-baik dan bersyukur kepada-Nya. Maka barangsiapa yang mengharamkan makanan yang baik, maka dia telah melampaui batas, dan barangsiapa yang tidak bersyukur, dia telah mengambil hak Allah. Metode Rasulullah dalam hal makanan adalah tidak bermewah-mewahan dan tidak terlalu irit seperti seorang pertapa, sedangkan Islam tidak menganjurkan seseorang untuk menjalani kehidupan bertapa.
Setiap yang halal adalah baik dan setiap yang baik adalah halal. Allah menghalalkan kepada kita segala sesuatu yang baik dan mengharamkan segala sesuatu yang buruk. Allah mengharamkan segala sesuatu yang berdampak negatif kepada kita dan membolehkan segala sesuatu yang bermanfaat bagi kita.
Singkatnya, konsep Islam tentang makanan adalah mengacu kepada hal yang lebih bermanfaat dan meningkatkan kepada ketaqwaan. [1]

Referensi: Abdul Malik Ibnu M. al-Qasim (2000). Sehari di Rumah Rasulullah. Jakarta: Gema Insani 
Referensi blog: www.lampuislam.blogspot.com

Kemurahan Hati Rasulullah



Manusia selalu menuntut pemenuhan kebutuhan baik materi maupun ruhani. Hal ini berlaku dalam setiap strata kehidupan baik pada level individu, keluarga, tetangga, ataupun masyarakat.
Salah satu tali pengikat kebutuhan akan persahabatan dan persaudaraan adalah hadiah. Masalah hadiah mendapat perhatian yang serius dari Rasulullah. Aisyah berkata,
Rasulullah suka menerima hadiah dari orang lain dan membalasnya (memberi hadiah pula).” (H.R. Muslim)

Hadiah erat kaitannya dengan rasa syukur. Keduanya termasuk kemuliaan diri dan kejernihan hati serta kemurahan. Karena, sebagaimana kita tahu, sebagian dari akhlaq para nabi dan rasul adalah kedermawanan. Rasulullah pernah bersabda,
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah dia menghormati tamunya, hak tamu sebagai hadiah adalah sehari semalam. Dan hak orang bertamu itu selama tiga hari, selebihnya adalah sedekah. Dan (seseorang) tidak boleh melakukan sesuatu yang membuat kesal tuan rumah.” (H.R. Bukhari)
Sungguh belum pernah ada di tanah Hijaz dan semenanjung Arab bahkan di seluruh dunia sekalipun, orang yang mulia akhlaqnya seperti junjungan kita Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam.
Rasulullah tidak pernah menolak permintaan. Apapun yang orang minta, beliau selalu berkata, “Ya.” Sahal bin Sa’ad meriwayatkan bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah sambil membawa sebuah kain bersulam yang indah dan bagus. Kemudian wanita itu berkata, “Aku menyulamnya sendiri dengan tanganku. Pakailah ini ya Rasulullah.” Nabi Muhammad pun menerimanya dengan senang hati dan penuh terima kasih seakan-akan beliau sangat membutuhkannya. Kemudian, dipakainya (di lain waktu) sebagai sarung, lalu datang seseorang dan berkata, “Berikanlah sarung itu padaku wahai Rasulullah, betapa indahnya!” Rasulullah berkata, “Ya.” Kemudian beliau pulang untuk merapikan dan melipatkan kain itu. Kemudian beliau datang dan memberikannya kepada orang tersebut. Orang-orang berkata, “Alangkah indahnya kain itu, telah dipakai Rasulullah dan engkau minta. Kita tahu Rasulullah tidak akan menolak permintaanmu.” Lalu orang itu berkata, “Demi Allah, aku memintanya bukan untuk aku pakai, tetapi akan aku jadikan sebagai kain kafanku nanti apabila aku meninggal dunia.” Sahal berkata, “Dan benar, setelah orang itu meninggal, dia dikafani dengan kain tersebut.” (H.R. Bukhari)
Kita tahu bahwa akhlaq Rasulullah itu adalah Al-Qur’an. Dan jelas, Allah sendiri yang membimbing beliau dan menjadikannya sebagai panutan dan teladan yang paling baik. Jadi, tidak ada alasan lain untuk menolak. Hakim bin Hizam meriwayatkan, “Aku pernah meminta sesuatu kepada Rasulullah dan beliau memberi. Lalu aku minta lagi dan diberi. Lalu aku minta lagi dan diberi lagi. Lalu beliau bersabda,
Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau dan manis. Maka, barangsiapa yang mendapatkannya dengan kelapangan jiwa dan kemurahan, akan diberkahi. Barangsiapa yang mendapatkannya dengan serba kekurangan, akan diberkahi. Seperti orang makan yang tidak pernah kenyang. Merasa kurang terus. Dan ketahuilah, bahwa tangan di atas (memberi) lebih baik daripada tangan di bawah (meminta).” (Muttafaq ‘alaih)
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kalau diminta oleh sesama tidak pernah menolak atau mengatakan tidak.” (H.R. Bukhari)
Kemurahan dan kedermawanan beliau adalah kemurahan yang disertai dengan kebersihan jiwa dan keramahan serta ketulusan cinta. Untuk apa kedermawanan, suka memberi, kalau selalu bersungut dan bermuka masam?
Salah satu kebiasaan Nabi Muhammad adalah tersenyum dengan tulus kepada siapapun yang dijumpainya serta yang ada di sampingnya. Sampai-sampai ada orang yang ada di dekatnya mengira bahwa dialah yang paling akrab dengan Rasulullah sehingga setiap sahabat mengira dia begitu.
Jarir bin Abdullah berkata, “Belum pernah aku melihat Rasulullah atau Rasulullah melihatku sejak aku masuk Islam, kecuali beliau dalam keadaan tersenyum.” (H.R. Bukhari) Begitu juga Abdullah ibnul-Harits memberi kesaksian, ”Belum pernah aku menemukan orang yang paling banyak tersenyum seperti Rasulullah.” (H.R. Tirmidzi)
Rasulullah sendiri pernah bersabda, “Senyumanmu ketika bertemu saudaramu adalah sedekah.” (H.R. Tirmidzi)
Sedangkan pembantu beliau, Anas bin Malik, menggambarkan sifat-sifat beliau yang jarang dimiliki oleh sekelompok orang sekalipun, “Rasulullah adalah orang yang paling peka perasaannya, mudah tersentuh, belum pernah ada orang yang bertanya sesuatu kecuali beliau mendengarkannya dan tidak meninggalkannya sampai dia sendiri yang pergi meninggalkan Rasulullah. Dan belum pernah bersalaman kecuali beliau yang lebih dulu bersalaman dan tidak melepaskannya sebelum orang lain melepaskan tangannya.” (H.R. Abu Nua’im) Namun, walaupun beliau lembut dan penuh perhatian kepada umatnya, beliau tegas dan menolak kemungkaran yang terjadi. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa beliau pernah melihat sahabat memakai cincin emas. Lalu beliau mencopot dan membuangnya, kemudian berkata,
Seseorang di antara kamu telah memasang bara api neraka di tangannya.(H.R. Muslim)


Referensi: Abdul Malik Ibnu M. al-Qasim (2000). Sehari di Rumah Rasulullah. Jakarta: Gema Insan
Referensi blog: www.lampuislam.blogspot.com 

Putri-Putri Rasulullah SAW



Dalam kultur masyarakat jahiliah, melahirkan anak perempuan dianggap sebagai suatu bencana. Ibu adalah pembawa aib dan bencana bagi keluarga, kabilah, dan sukunya. Karenanya, mereka mengubur bayi-bayi perempuan mereka hidup-hidup.  Hal ini sudah menjadi pemandangan sehari-hari yang sangat menyakitkan dan menyesakkan dada orang-orang yang sehat akalnya.

Banyak di antara mereka yang melakukannya karena terpaksa. Mereka takut tercoreng nama baiknya karena memiliki bayi perempuan. Sehingga pada prakteknya, anak perempuan yang baru lahir itu ditunggu sampai berumur kira-kira 6 tahun, kemudian diberi pakaian yang indah dan dirias agar tampak cantik. Kemudian anak perempuan itu akan diajak ke gurun oleh ayahnya untuk menggali lubang. Setelah lubangnya agak dalam, anak yang tak berdosa itu disuruh masuk dengan alasan untuk bermain-main. Dan selanjutnya, sulit dibayangkan apa yang terjadi. Si ayah pun mengubur anak perempuannya hidup-hidup.
Di tengah-tengah masyarakat yang seperti inilah, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam diutus dengan membawa agama yang mengajarkan bahwa perempuan wajib dihormati, baik sebagai istri, ibu, saudara, atau anak. Sejak sebelum diangkat menjadi rasul, Rasulullah telah memperlihatkan kepada masyarakatnya betapa anak perempuan juga punya hak untuk mengecap kasih sayang orangtuanya sebagaimana anak laki-laki.
Kalau tiba-tiba datang Fatimah, putrinya, Rasulullah dengan mesra menuntunnya dan menciumnya. Beliau kemudian menggendongnya sambil bercanda mesra dan mendudukkannya di pangkuannya. Ketika kedua putrinya, Ummu Kultsum dan Ruqayyah diceraikan oleh Utbah dan Utaibah (anak dari Abu Lahab), dimana Abu Lahab menyuruh mereka bercerai secara paksa, Rasulullah sabar menghadapi kenyataan ini. Ditambah lagi Allah telah menyatakan “perang” terhadap Abu Lahab dengan firman-Nya, “Tabbat yadaa Abi Lahab...” Nabi Muhammad tidak bergeming walau hatinya perih merasakan bagaimana putrinya berpisah dengan suaminya karena terpaksa. Beliau tetap setia dalam berdakwah, sampai akhirnya Allah memberi jalan keluar yaitu hijrah.
Di antara gambaran kemesraan Nabi Muhammad dengan putri-putrinya adalah riwayat dari Aisyah yang berkata, “Kami istri-istri Rasulullah berkumpul di rumah beliau, tiba-tiba datang Fatimah berjalan persis seperti berjalannya Rasulullah. Begitu Rasulullah melihatnya, beliau menyambutnya dengan gembira seraya berkata, ‘Selamat datang putriku’, kemudian mendudukkannya di samping beliau.” (H.R. Muslim)
Sebagai ungkapan sayang, seringkali Rasulullah mengunjungi putri-putrinya dan menanyakan perihal keadaan mereka. Pernah suatu hari Fatimah datang, mengadukan kehidupannya yang miskin. Tangannya lecet karena menumbuk gandum, sedangkan dia tidak punya pembantu.
Ketika Fatimah dan suaminya sudah siap-siap untuk tidur, Rasulullah mendatangi mereka sehingga keduanya bangun. Namun Rasulullah mencegahnya, kemudian beliau duduk di antara mereka dan berkata,
Kutunjukkan pada kalian sesuatu yang lebih baik dari pembantu. Kalau kalian akan tidur, bertakbirlah sebanyak 34 kali, bertasbih sebanyak 33 kali, dan bertahmidlah 33 kali. Nah... ini lebih baik buat kalian dari sekadar pembantu.” (H.R. Bukhari)
Rasulullah adalah contoh terbaik dalam keteguhan dan kesabaran. Bagaimana tidak, ketika putra-putrinya meninggal, beliau tetap tabah. Tidak meratap, menyobek baju, atau melakukan upacara belasungkawa sebagaimana tradisi jahiliyah.



Referensi: Abdul Malik Ibnu M. al-Qasim (2000). Sehari di Rumah Rasulullah. Jakarta: Gema Insani
Referensi blog: www.lampuislam.blogspot.com
Page Facebook: www.facebook.com/riska.pratama.ardi