Kamis, 25 Juni 2015

Keistimewaan Nama Islam



Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal
Kali ini saya akan bahas soal Islam. Bukan soal Islam secara keseluruhan, tentunya, tapi tentang nama “Islam” itu sendiri. Sebelum masuk ke pembahasan, mari kita lihat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 62. Bunyinya sebagai berikut:
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Al-Baqarah:62)
Ada yang menarik dari penjelasan Buya Hamka tentang Al-Baqarah: 62 dalam Tafsir Al-Azhar yang beliau tulis. Al-Baqarah: 62 adalah salah satu ayat yang sering dimanfaatkan oleh kaum liberalis untuk membenarkan pluralisme agama. Ayat ini punya ‘kembaran’, yaitu Qs. Al-Maa’idah: 69 yang redaksinya sangat mirip. Bunyinya sebagai berikut:
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Al-Maa’idah: 69)
Dalam ayat tersebut, dinyatakan bahwa ada empat golongan yang bisa mendapatkan pahala dari Allah. Keempat golongan tersebut adalah: orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani dan Shabi’in. Persyaratannya, mereka harus beriman kepada Allah dan Hari Akhir, juga beramal saleh. Dengan berbekal ayat ini, kaum liberalis menyatakan bahwa Non-Muslim pun bisa masuk surga.
Pertanyaan utamanya, tentu saja: mengapa empat golongan itu? Mengapa bukan hanya Islam? Dalam menelaah ayat ini, biasanya kelompok liberalis sekonyong-konyong menjadi literalis. Padahal mereka selalu mengedepankan kontekstualisme. Tapi kalau ayatnya seperti ini, mereka maunya literalis. Kelompok pertama adalah orang-orang beriman. Lazim dipahami, maksudnya adalah orang-orang yang beragama Islam. Kelompok keempat (saya sengaja dahulukan) adalah Shabi’in. Menurut Buya Hamka, nama “Shabi’in” ini diberikan pada banyak kelompok. Maknanya adalah “murtad dari agama asalnya”. Rasulullah s.a.w juga pernah disebut sebagai bagian dari kelompok ini, sebab beliau dianggap keluar dari agama nenek moyangnya.
Kelompok kedua dan ketiga tentunya yang paling menarik, yaitu Yahudi dan Nasrani. Apa itu agama Yahudi? Apa itu agama Nasrani? Mengapa keduanya disebut di ayat ini? Buya Hamka menguraikan penjelasannya dengan memulai dari asal-muasal kedua nama tersebut. “Yahudi”, menurut beliau, diambil dari nama salah satu anak Nabi Ya’qub a.s, yaitu Yehuda. Dengan sendirinya, “Yahudi” adalah semacam nama “agama-bangsa” atau “agama-keluarga”. Artinya, nama ini memang mengandung “risiko” memunculkan kerancuan antara agama dan garis keturunan. Di Barat, sampai sekarang masih terjadi kerancuan mengenai Yahudi.
Di Barat yang sekuler, pernikahan antar-agama memang biasa. Orang Barat sudah banyak yang tidak taat agama, jadi mereka tidak peduli. Banyak orang Yahudi yang menikah dengan umat lain, karena mereka memang tidak peduli lagi dengan masalah-masalah seperti ini. Anggaplah seorang Yahudi menikahi seorang Kristen. Anaknya disebut Yahudi atau Nasrani? Bisa jadi kedua orangtuanya pada akhirnya tidak mengajarkan anaknya untuk mengidentifikasi diri dengan salah 1 agama. Akan tetapi, di Barat sering kita dengar istilah “Half-Jewish (Setengah Yahudi).” Agama kok bisa “half (setengah)”? Agama macam apa ini? Ya, itulah kerancuannya, sebab Yahudi adalah identitas kesukuan juga. Misalkan orang Minang menikah dengan orang Sunda, anaknya ya setengah Minang atau setengah Sunda, tapi agamanya tetap satu, tidak setengah-setengah.
Kembali pada nama “Yahudi.” Kita simpulkan bahwa nama ini adalah nama “agama-keluarga”. Bagaimana dengan nama “Nasrani”? Darimana sumbernya? Menurut Hamka, nama “Nasrani” diambil dari nama kampung halaman Nabi ‘Isa a.s, yaitu Nashirah (Nazareth). Karena tidak punya nama, maka digunakanlah nama wilayah asalnya sebagai nama agama.  Maka, “Nasrani” adalah nama “agama-kota”. Hal menarik yang perlu dicatat disini adalah bahwa “Nasrani” bukan satu-satunya nama mereka. Nama lainnya, sebagaimana yang kita ketahui, adalah “Kristen”. Dalam bahasa Inggrisnya: “Christian.” Dalam Kitab Perjanjian Baru, rujukan pertama dari nama “Kristen” ada pada Kisah Para Rasul 11:26. Menurut referensi tersebut, di Antiochia-lah pertama kalinya mereka disebut sebagai umat Kristen. Referensi-referensi lain menjelaskan bahwa “Christian” bermakna “follower of Christ (pengikut Kristus).” Akan halnya nama “Nasrani”, agaknya tidak ada kesepakatan. Tidak semua umat Kristiani mengetahui nama ini. Orang-orang Kristen di Barat, misalnya, banyak yang tidak tahu nama “Nasrani”. Mereka tidak terbiasa dengan nama itu. Hal ini menimbulkan kesan bahwa nama “Nasrani” adalah pemberian orang lain. Maka, nama “Nasrani” dan “Kristen” ternyata sama-sama tidak berasal dari Yesus atau Nabi ‘Isa a.s.
Kembali pada nama “Yahudi”. Karena ini adalah nama “agama-keluarga”, maka terbukalah sebuah kemungkinan. Karena semua keturunan Yahudi tetap saja akan disebut Yahudi, maka bisa jadi ada ‘Yahudi yang beriman’. Demikian juga “Nasrani” adalah nama “agama-kota”. Terbuka pula kemungkinan serupa. Karena yang agamanya berasal dari Nashirah disebut orang-orang Nasrani, maka bisa jadi ada pula ‘Nasrani yang beriman’.
Akan tetapi, tentu saja, Buya Hamka memberi batasan. Yahudi dan Nasrani hanya mungkin beriman JIKA tidak sempat bertemu dengan dakwah Rasulullah s.a.w. Jika sudah bertemu dengan Rasulullah s.a.w namun tidak beriman pada beliau, maka mereka tidaklah beriman, melainkan kafir. Sebaliknya, jika menerima dakwah beliau, maka mereka bukan Yahudi atau Nasrani lagi, tapi sudah menjadi Muslim. Dengan sendirinya, Yahudi dan Nasrani di zaman sekarang tidak termasuk dalam konteks Al-Baqarah: 62 ini. Qs. Ali Imran: 113 menegaskan bahwa di antara Ahli Kitab itu memang ada yang beriman, ada pula yang tidak. Bunyinya sebagai berikut:
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (beribadah).” (Qs. Ali Imran: 113)
Qs. Ali Imran: 110 menjelaskan bahwa kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. Bunyinya sebagai berikut:
“...sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Ali Imran: 110)
Akan lebih jelas lagi kiranya jika kita menengok asbabun nuzul (penyebab turunnya ayat) dari Al-Baqarah: 62 ini. Buya Hamka menjelaskan bahwa ayat ini turun untuk menjawab pertanyaan Salman al-Farisi r.a. Salman r.a adalah sahabat Nabi s.a.w yang pernah bekerja untuk majikan-majikan yang berbeda-beda agamanya. Karena para majikannya dipandang shaleh, maka Salman r.a pun menanyakan “nasib” mereka pada Nabi s.a.w. Maka turunlah Qs. Al-Baqarah: 62. Orang-orang Yahudi, Nasrani dan Shabi’in, asal beriman dan beramal shaleh, juga mendapat pahala.
Seperti apa sih “Yahudi dan Nasrani yang beriman” itu? Ini masalah yang riil dan sangat penting untuk dijawab. Kita mengenal, misalnya, Pendeta Bahira. Beliau adalah seorang Nasrani. Melalui tanda-tanda yang dipahaminya dari Injil, Bahira bisa mengenali tanda-tanda kenabian pada diri Rasulullah s.a.w. Padahal, ketika bertemu dengannya, Rasulullah s.a.w masih anak-anak, belum menerima wahyu, belum diangkat menjadi Nabi. Maka, zhahirnya, kita dapat mengatakan bahwa Bahira beriman pada tanda-tanda yang dijelaskan dalam Injil. Bahira bahkan memperingatkan Abu Thalib untuk melindungi keponakannya. Artinya, ia berusaha melindungi Rasulullah s.a.w dan membelanya. Zhahirnya, ia beriman. Akan tetapi, Bahira tetaplah disebut sebagai seorang Nasrani, bukan Muslim. Sebab, ketika bertemu Rasulullah s.a.w, beliau belum berdakwah, karena belum mendapat wahyu. Zhahirnya, kita bisa golongkan Bahira sebagai ‘Nasrani yang beriman’. Sekali lagi: zhahirnya! Kalau hati, Allah yang tahu.
Orang-orang Yahudi juga mengenal dengan baik ciri-ciri Rasulullah s.a.w dari penjelasan dalam Taurat. Pada tahun kesebelas kenabian, Rasulullah s.a.w mendatangi orang-orang Madinah (dulunya bernama Yatsrib) yang datang ke Mekkah. Beliau menemui mereka di ‘Aqabah, suatu daerah yang tidak jauh dari Mina. Dalam perbincangan itu, orang-orang Arab dari Yatsrib tersebut langsung mengenali Rasulullah s.a.w. Mengapa? Karena orang-orang Yahudi di Yatsrib senantiasa menyebut-nyebut kedatangan Sang Nabi Penutup. Begitu jelasnya ciri-ciri yang dijelaskan oleh orang-orang Yahudi itu, sampai-sampai yang mendengarkan ciri-ciri itu pun langsung paham. Ketika bertemu Rasulullah s.a.w, tahulah mereka bahwa beliau adalah Nabi yang dibicarakan oleh orang-orang Yahudi. Maka, tentu saja dapat kita simpulkan bahwa pada zaman dahulu ada juga “Yahudi yang beriman”. Sekali lagi, batasannya adalah pada bertemunya mereka dengan dakwah Rasulullah s.a.w. Yahudi dan Nasrani yang benar-benar beriman pasti akan menyambut Rasulullah s.a.w, bukan menolaknya. Jika menolaknya, maka mereka tidak dikategorikan sebagai orang-orang beriman. Demikianlah sebagian penjelasan Buya Hamka tentang Qs. Al-Baqarah: 62.
Sejarah nama agama Yahudi dan Nasrani sangat kontras dengan Islam. Umat Muslim, mulai dari Kutub Utara sampai Kutub Selatan menyebut agamanya dengan 1 nama: Islam. Orang-orang Barat sejak lama berusaha mendiskreditkan Islam. Mereka memberikan banyak nama lain. “Mohammedanism”, “Hagarism”, “Moor”, “Saracens”, “Turks”, semua itu adalah nama yang pernah diidentikkan dengan Islam. Akan tetapi, tentu saja, umat Muslim tetap menyebut Islam sebagai nama agamanya. Nama Islam tidak terkait dengan garis keturunan, tidak juga dengan wilayah geografis. Nama Islam tidak diberikan oleh orang lain, tidak pula dikarang-karang oleh umat Muslim. Nama Islam diberikan oleh Allah s.w.t, tertera dalam al-Al-Qur’an (lihat Qs. Ali Imran: 85) dan as-Sunnah. Oleh karena itu, seluruh Muslim di dunia kompak menyebut nama agamanya: Islam! Muslim yang rajin shalat dan yang shalat dua kali setahun (shalat ‘Id saja), kompak menyebut nama Islam. Muslim yang taat ibadah dan yang suka mabuk-mabukan, kompak menyebut nama Islam. Yang sudah Muslim sejak lahir dan yang baru menjadi muallaf kemarin sore pun kompak menyebut nama Islam. Sebab, nama Islam adalah pemberian langsung dari Allah. Tidak ada yang berani menggunakan nama lain. Seliberal-liberalnya kaum Islam Liberal, tetap saja menggunakan nama Islam. Inilah keistimewaan nama Islam. Sayangnya, banyak Muslim yang tidak menyadarinya.
Oleh karena itu, kita pun tak bisa menerima pendapat Nurcholish Madjid (tokoh Islam Liberal) yang menganggap bahwa Islam berarti “pasrah” belaka. Dan dengan demikian, umat lain yang pasrah pun bisa disebut Muslim. Itu salah kaprah. Mengapa? Sebab, meski “pasrah” adalah salah satu makna dari akar kata Islam, tapi Islam adalah sebuah nama. Islam adalah sebuah nama definitif yang telah Allah s.w.t berikan. Kita tidak berhak mengubah-ubahnya. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nama yang terbaik untuk agama-Nya: Islam. Kita bangga dengan nama Islam, sebab nama ini diberikan langsung oleh Allah s.w.t, bukan gubahan manusia. Semoga kita semakin menyadari kebesaran di balik nama Islam. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin…
Sumber: chirpstory.com/id/malakmalakmal
 Referesni: www.LampuIslam.blogspot.com 

Page Facebook: www.facebook.com/riska.pratama.ardi

Rabu, 24 Juni 2015

Hukum Tidak Puasa Karena Pekerjaan Berat (Buruh Pabrik, Kuli Bangunan, Dsb)



Kami hidup di Negara barat yang tidak mempedulikan masalah puasa dan orang-orang yang berpuasa. Sedangkan suamiku harus bekerja setahun sebagai bentuk kuliah kerja nyata dari tahun terakhir studinya di bidang farmasi. Problemnya adalah tempat kerja suami jauh, membutuhkan sekitar satu jam perjalanan mobil, sedangkan di tempat kerja menghadapi banyak pasien. Suamiku merasakan pusing-pusing saat melakukan pekerjaan ini (sambil berpuasa), sampai pernah keliru ketika memberikan obat kepada pasien. Dia sekarang berpikir untuk berbuka karena sebab ini. Perlu anda ketahui bahwa jarak dari rumah ke tempat kerja kurang dari 48 mil, seperti yang anda sebutkan dalam salah satu jawaban. Akan tetapi waktu perjalanan memakan satu jam pergi dan satu jam untuk pulang, sementara waktu kerja 12 jam terus menerus. Apakah dibolehkan berbuka dan nanti akan diqadha setelah praktek kuliahnya berakhir?

Jawaban:

Alhamdulillah,

Puasa adalah salah satu rukun Islam yang telah dinyatakan dalam Al-Quran, Sunnah dan konsesus (ijma) para ulama'. Tidak boleh berbuka kecuali kalau ada uzur (alasan) syar'i seperti sakit atau safar. Terkadang seseorang di tengah puasa merasakan kepayahan, maka hendaklah dia bersabar dan memohon bantuan kepada Allah Azza wa Jalla. Kalau merasa sangat haus waktu siang Ramadhan, dibolehkan menyiram air di kepala untuk mendinginkan suhu badan, atau dengan berkumur. Kalau karena kondisi kehausannya sangat membahayakan keselamatan jiwa, maka dia boleh berbuka dan mengqadha setelah itu di hari yang lain.

Akan tetapi berbuka puasa tidak boleh karena pekerjaan yang menjadi sebab adanya kondisi yang melelahkan tersebut,  kalau masih memungkinkan mengambil cuti kerja di bulan Ramadhan atau meringankan beban pekerjaan atau merubah pekerjaan yang lebih mudah lagi.

Ulama yang terkumpul dalam Komisi Fatwa (Arab Saudi) berkata:

Sudah diketahui dengan pasti bahwa puasa Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap mukallaf (baligh) dan salah satu rukun Islam. Oleh karena itu setiap mukallaf (orang yang telah diberi beban melakukan kewajiabn) harus berupaya sedapat mungkin untuk melaksanakan puasa sebagai realisasi dari perintah Allah ta'ala,  seraya mengharap pahala dan takut akan siksa-Nya tanpa melupakan dunianya dan tanpa mengedepankan dunianya atas akhiratnya.

Jika ada pertentangan antara keduanya, upayakan semaksimal mungkin agar dapat mengkompromikan supaya keduanya dapat terlaksana. Dalam pertanyaan di atas mungkin dia dapat mengganti waktu kerjanya menjadi malam hari atau dia mengambil cuti selama bulan Ramadhan meskipun tanpa gaji. Kalau tidak memungkinkan, silakan mencari pekerjaan lain yang dapat menggabungkan di antara keduanya. Jangan mengedepankan urusan dunia dengan mengorbankan akhirat. Karena pekerjaan mencari rezki banyak caranya tidak hanya terfokus pada pekerjaan yang melelahkan badan. InsyaAllah akan ada pekerjaan mubah untuk mencari rezki yang dapat melaksanakan kewajiban Allah dengan izin Allah.

Allah berfirman: "Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS. At-Thalaq: 2-3).

Jika dia tidak mendapatkan pekerjaan kecuali apa yang disebutkan tadi, maka hendaklah dia membawa agama berpindah ke tempat lain yang lebih memudahkan untuk melaksanakan agama dan dunianya serta bekerja sama dengan umat Islam dalam kebaikan dan ketaqwaan. Karena bumi Allah luas sekali.

Allah berfirman: "Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak." (QS. An-Nisaa: 100).

Firman Allah lainnya: "Katakanlah, "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu." Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Az-Zumar: 10).

Kalau sekiranya tidak mendapatkan semuanya, dan mengharuskan dia tetap bekerja dengan pekerjaan berat, dia harus tetap berpuasa sampai merasa kepayahan. Apabila sudah merasakannya, baru boleh makan dan minum sesuai dengan kebutuhan agar bisa menghilangkan kepayahan. Kemudian setelah itu (tenaganya pulih) dia tetap menahan makanan. Dan mengqadhanya di hari lain yang mudah baginya untuk berpuasa.

Fatwa Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Wal Ifta' (10/233-234).

Mereka (Komisi Fatwa Arab Saudi) juga ditanya tentang seorang yang bekerja di pabrik roti dan merasakan sangat kehausan dan kelelahan dalam bekerja. Apakah dia boleh berbuka puasa?

Mereka menjawab: Orang tersebut tidak dibolehkan berbuka. Dia harus tetap berpuasa. Membuat roti di siang hari Ramadan bukan uzur dibolehkannya berbuka. Oleh karena itu, hendaknya dia bekerja sesuai kemampuan."

Fatawa Al-Ad-Daimah Lilbuhuts Al-ilmiyah wal Ifta' (10/238)

Wallahu'alam.

Sumber: islamqa
Referensi: www.LampuIslam.blogspot.com

Page Facebook: www.facebook.com/riska.pratama.ardi

Senin, 22 Juni 2015

Kisah Nyata Istri yang Mengkhianati Suaminya dan Berzina Karena Facebook


Bismillahir-Rahmaanir-Rahim .. Ini adalah cerita pengakuan seorang istri yang menulis pada catatan facebooknya tentang dirinya yang terjebak perselingkuhan dan perzinahan akibat (sisi buruk) facebook, semoga bisa kita jadikan renungan dan bisa jadi pelajaran bagi kita semua ..
----

"Pernikahanku dengan Rudi (nama samaran) sudah memasuki tahun ke-10. Selama itu hubunganku dengan Rudi sangat harmonis. Apalagi dengan kehadiran tiga buah hati kami.

Namun, petaka di dalam keluargaku mulai muncul tatkala aku mengenal facebook (FB). Gara-gara jejaring sosial inilah impianku untuk membangun rumah tangga yang utuh berantakan. Aku yang sehari-hari hanya sebagai ibu rumah tangga tergoda dengan rayuan lelaki lain melalui FB.

Cerita ini berawal ketika 2009 lalu aku diperkenalkan oleh suamiku tentang facebook. Saat itu, aku yang hanya bekerja di dalam rumah seakan mendapat hiburan baru. Suamiku pun senang karena melihat diriku tidak bosan menjaga anak di rumah. Sebulan mengenal facebook, aku menilai tak ada yang istimewa pada jaringan sosial ini. Namun, setelah mengenal chat (ngobrol), aku mulai menikmatinya. Apalagi banyak yang ingin berkenalan denganku.

Baik itu laki-laki, maupun ibu-ibu. Wajahku memang ayu. Kulitku putih bersih. Saat ini usiaku sekitar 34 tahun. Aku memasang foto profil yang cukup menarik di facebook. Mungkin ini yang membuat banyak orang yang tertarik untuk berkenalan lebih jauh denganku.

Dari sekian banyak lelaki yang menyapa aku di facebook, ada beberapa lelaki yang mengaku tertarik kepadaku. Walaupun saat itu aku mengatakan bahwa aku sudah punya anak dan suami. Sehingga, mereka tidak pantas untuk menyukaiku.

Awalnya aku bertekad untuk tidak tergoda dengan bujuk rayu sejumlah lelaki di facebook. Namun, setelah aku mengenal Salam (samaran), semuanya berubah. Salam adalah salah satu pejabat di perusahaan BUMN di Sulsel. Salam betul-betul mampu menggoyahkan imanku. Bahasanya yang santun, dan caranya ia memerhatikanku di facebook telah membuat hati ini luluh.

Setiap hari kami ngobrol lewat facebook. Bahkan kami saling bertukar pikiran tentang rumah tangga kami masing-masing. Ya … boleh dibilang kami saling curhat-curhatan. Dari sinilah perasaan aneh muncul, baik saya maupun Salam. Akhirnya, Salam menyatakan sayangnya lewat chat dan ingin berjumpa denganku.

Aku yang sejak awal sudah tertarik dengan Salam tak mampu menolaknya. Namun, aku masih malu-malu menyatakan suka kepadanya.

Setelah sekian bulan hanya chat di facebook, kami pun sepakat untuk bertemu. Kami kemudian melakukan pertemuan di salah satu restoran di bilangan Makassar bagian barat. Saat itu Salam datang seorang diri, sementara aku membawa anak bungsuku.

Walaupun, aku menyukainya, aku tak ingin pertemuan kami menimbulkan fitnah. Perasaanku deg-degan saat bertemu dengan Salam. Ia pun menyapaku dengan suara berat. Ada yang lain muncul di dalam hatiku. Di tempat itu, Salam pun kembali menyatakan ketertarikannya kepadaku. Akupun menyatakan hal yang sama.

Pertemuan dengan Salam di restoran tersebut bukanlah hal yang terakhir. Sejak pertemuan itu, kami pun sering janjian untuk bertemu. Bahkan, kadang, aku bertemu dengan Salam seorang diri tanpa membawa anakku. Kebetulan di rumah aku memiliki seorang pembantu rumah tangga.

Rupanya, inilah awal dari keretakan rumah tanggaku dengan Rudi. Aku sudah mulai jarang di rumah tanpa sepengetahuan Rudi. Maklum, setiap hari Rudi bekerja mulai dari pagi hingga malam.

Sementara, kadang aku selalu bertemu dengan Salam dari siang hingga sore. Salam telah membuka mataku tentang indahnya dunia ini. Ia mengajak aku shopping, wisata kuliner, dan mendatangi tempat-tempat hiburan lain. Ini semua kulakukan tanpa harus mengeluarkan duit. Aku seakan-akan sudah terjebak dalam kehidupan foya-foya.

Walaupun aku sering foya-foya dengan Salam, sikapku di rumah tetap seperti biasa. Aku tetap melayani suamiku ketika ia baru pulang dari kantor, termasuk mengurus pakaian dan makanannya saat ia akan ke kantor di pagi hari.

Setelah jalan bareng dengan Salam selama dua bulan, aku pun tak mampu menolak ajakan Salam untuk bertemu di hotel. Saat itu Salam sudah membooking satu kamar di salah satu hotel berbintang di Makassar.

Sekitar pukul 11.00, aku datang menemuinya di kamar itu. Setelah kami berbincang-bincang selama beberapa menit, aku tak kuasa ketika Salam memeluk tubuhku. Akhirnya, aku pun terjebak, dan rela melakukan hubungan suami istri dengan lelaki yang bukan suamiku sendiri.

Sejak peristiwa itu, kami sering melakukannya, dari satu hotel ke hotel yang lain. Aku pun begitu menikmati kehidupanku ini. Namun, hatiku setiap hari berteriak. Aku tak rela mengkhianati suamiku yang sudah memberiku tiga orang anak. Apalagi ia begitu baik dan begitu mempercayaiku. Ia pun sangat disenangi oleh keluargaku.

Aku ingin lepas dari kehidupan Salam yang harus kuakui telah memberi warna baru dalam hidupku. Ia pun mengaku tulus mencintaiku. Di depanku juga ia mengaku berdosa telah mengkhianati istrinya. Tapi, ia pun tak bisa meninggalkanku.

Bulan berganti bulan, kehidupanku tak ada yang berubah. Aku pun dan Salam masih tetap jalan bareng. Bahkan, aku semakin takut kehilangannya. Namun, peribahasa yang mengatakan, "sepandai- pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga" telah terbukti kepada diriku.

Sepandai-pandainya aku menyembunyikan hubunganku dengan Salam, akhirnya ketahuan juga oleh suamiku. Aku ketahuan selingkuh setelah suamiku membaca SMS Salam yang berisi kata-kata mesra. Ia pun memaksa aku untuk mengaku. Aku saat itu tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi suamiku langsung menghubungi nomor ponsel Salam. Awalnya Salam membantah, dan mengatakan bahwa ia dan diriku hanya berteman.

Namun, setelah diancam oleh suamiku, Salam mengakuinya dan meminta maaf. Namun, suamiku sudah terlanjur sakit. Ia pun langsung menceraikanku. Saat ini aku, dan Rudi masih dalam tahap perceraian.

Namun, dalam doaku setiap selesai shalat aku memohon maaf kepada Allah SWT, kepada suamiku, kepada anak-anakku dan kepada keluargaku karena aku telah menyia-nyiakan cinta mereka. Aku ikhlas menerima ini semua atas konsekuensi dari perbuatanku sendiri. Namun, aku masih tetap berharap untuk bisa kembali bersama dengan Rudi, dan akan aku buktikan untuk menjadi istri yang baik."

Catatan : ...

Sejatinya Teknologi diciptakan untuk mempermudah manusia dalam kehidupannya sehari hari, tapi sayang, kenyataannya kita sendiri yang menyalahgunakan teknologi tersebut untuk hal-hal yang tidak baik, karena menurut data yang ada, sumber perceraian terbesar dunia saat ini adalah perselingkuhan via FACEBOOK disusul oleh TWITTER dan SMS/BBM.

Jadi gunakanlah semua teknologi itu dengan bijak, serta hati-hati dan waspadalah selalu karena setan akan terus menggoda untuk menyesatkan diri kita semua. Gunakanlah jejaring sosial untuk mendapatkan keberkahan silaturahim, mencari ilmu yang bermanfaat atau untuk syiar, dan terutama bagi wanita, janganlah memasang foto yang memperlihatkan aurat sehingga menarik perhatian lawan jenis.

Terima Kasih dan mudah mudahan bermanfaat untuk kita dan semua keluarga Indonesia ..

Wallahu a'lam bish-shawab ...
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...

.... Subhanallah wabihamdihi Subhanakallahumma Wabihamdika Asyhadu Allailaaha Illa Anta Astaghfiruka Wa'atuubu Ilaik ....


Referensi: www.LampuIslam.blogspot.com 
Page Facebook: www,facebook.com/riska.pratama.ardi