Kamis, 03 September 2015

Apakah Metode Islam Dalam Menyembelih Hewan Itu Kejam?


Pertanyaan:
Mengapa Muslim menyembelih hewan secara kejam dengan menyiksa dan membunuhnya perlahan-lahan?
Dijawab Oleh Dr. Zakir Naik dari www.irf.net
Metode Islam dalam menyembelih hewan, yang disebut Zabiha telah menuai banyak kritikan.
Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, saya akan menceritakan diskusi antara seorang penganut Sikh dan seorang Muslim tentang tata cara penyembelihan hewan.

Pada suatu ketika seorang Sikh bertanya kepada seorang Muslim, "Mengapa kamu menyembelih hewan secara menyakitkan dengan memotong tenggorokannya, tidak seperti yang kami lakukan dengan satu kali tebasan menggunakan metode jhatka?" Muslim tersebut menjawab "Kami adalah orang-orang pemberani karena menyerangnya dari depan. Kami adalah laki-laki macho, sedangkan kau adalah pengecut karena menyerangnya dari belakang."
Cerita di atas hanya lelucon saja. Alasan sebenarnya adalah, metode Zabiha tidak hanya manusiawi namun juga secara ilmiah adalah metode terbaik. Berikut ini penjelasannya:
1. Metode Islam dalam menyembelih hewan
Zakkaytum adalah kata kerja yang berasal dari akar kata Zakat (untuk memurnikan). Bentuk infinitifnya adalah Tazkiyah yang berarti “pemurnian.” Metode Islam dalam menyembelih hewan harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Hewan tersebut harus disembelih dengan benda tajam (pisau)
Hewan harus disembelih dengan benda tajam (pisau) dan dengan cepat sehingga rasa sakit penyembelihan dapat diminimalisir.
b. Memotong batang tenggorokan dan pembuluh leher
Zabiha adalah kata Arab yang berarti “disembelih.” Penyembelihan harus dilakukan dengan memotong batang tenggorokan dan pembuluh darah di leher tanpa memotong sumsum tulang belakang yang mengakibatkan hewan itu mati.
c. Darah harus dibiarkan mengalir habis
Darah harus dibiarkan mengalir sampai habis sepenuhnya sebelum kepala hewan itu dipenggal. Tujuannya adalah untuk menguras habis darah yang berfungsi sebagai medium yang baik bagi organisme mikro. Sumsum tulang belakang tidak boleh dipotong karena serabut saraf ke jantung bisa rusak selama proses tersebut sehingga menyebabkan serangan jantung, yang menyebabkan darah terhenti di dalam pembuluh darah.
2. Darah merupakan medium yang baik bagi kuman dan bakteri
Darah merupakan medium yang baik bagi kuman, bakteri, racun, dll. Oleh karena itu cara menyembelih metode Islami lebih higienis karena sebagian besar darah yang mengandung kuman, bakteri, racun, dll yang merupakan penyebab beberapa penyakit telah dikuras habis.
3. Daging tetap segar untuk waktu yang lebih lama
Daging dari hewan yang disembelih dengan cara Islami tetap segar untuk waktu yang lebih lama karena darah pada daging lebih sedikit dibandingkan dengan metode penyembelihan lainnya.
4. Hewan tidak merasa sakit
Pemotongan pembuluh leher yang cepat memutus aliran darah ke saraf otak yang bertanggung jawab atas rasa sakit. Hal ini membuat hewan tidak merasakan sakit. Kita melihat bahwa hewan yang disembelih dengan cara Islami meronta-ronta dan menendang-nendang. Hal ini bukan karena hewan merasa sakit, namun karena kontraksi dan relaksasi dari otot-otot yang kekurangan darah dan karena aliran darah yang keluar dari tubuh.
Referensi: www.LampuIslam.blogspot.com
Page Facebook: www.facebook.com/riska.pratama.ardi

Kenapa Islam Membolehkan Seorang Muslim Makan Daging?



Pertanyaan:
Sains memberitahu kita bahwa apapun yang dimakan seseorang, akan berpengaruh pada perilaku orang tersebut. Dengan demikian, kenapa Islam membolehkan umat Islam untuk makan makanan non-vegetarian (daging), karena makan daging hewan bisa membuat seseorang menjadi liar dan ganas?
Dijawab Oleh Dr. Zakir Naik dari www.irf.net

1. Hanya diperbolehkan memakan hewan herbivora
Saya setuju bahwa apa yang seseorang makan akan berdampak pada perilakunya. Inilah salah satu alasan mengapa Islam melarang untuk mengonsumsi hewan karnivora seperti singa, harimau, macan tutul, dll yang liar dan ganas. Konsumsi daging hewan buas seperti itu akan membuat seseorang berperilaku liar dan ganas. Islam hanya membolehkan makan hewan herbivora seperti sapi, kambing, domba, dll yang damai dan jinak. Kami sebagai Muslim makan hewan-hewan yang damai dan jinak karena kami cinta damai dan tidak suka dengan kekerasan.
2. Al-Qur'an berfirman bahwa Rasulullah melarang apa yang buruk
Al-Qur'an berfirman:
"Rasulullah menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf (baik) dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar (buruk) dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk...” [Qs. 7: 157]
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." [Qs. 59: 7]
Bagi seorang Muslim, tuntunan dari Rasulullah cukup untuk meyakinkannya bahwa Allah tidak ingin dirinya makan beberapa jenis daging sementara membolehkan beberapa jenis daging lainnya.
3. Hadist dari Muhammad (saw) yang melarang makan hewan karnivora
Menurut berbagai hadist sahih dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim termasuk hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dalam Sahih Muslim, Kitab berburu dan menyembelih, hadist nomor 4752 dan Sunan Ibn Majah bab 13 hadits nomor 3232-3234, Muhammad (saw) melarang untuk makan daging hewan-hewan dengan kriteria sebagai berikut:
(i) Hewan liar dengan gigi taring, yaitu daging hewan karnivora. Ini adalah hewan dalam keluarga kucing seperti singa, harimau, kucing, anjing, serigala, hyena, dll
(ii) Beberapa binatang pengerat seperti tikus, curut, kelinci bercakar, dll
(iii) Reptil tertentu seperti ular, buaya, dll
(iv) Burung pemangsa yang bercakar, seperti burung pemakan bangkai, elang, burung gagak, burung hantu, dll
Referensi: www.LampuIslam.blogspot.com
Page Facebook: www.facebook.com/riska.pratama.ardi

Senin, 31 Agustus 2015

Hukum Mengemis dalam Islam


Oleh: Drs. H. Ahmad Yani  ||  Email: ayani_ku@yahoo.co.id
Setiap manusia tentu membutuhkan rizki berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Untuk itu, manusia harus mencari nafkah dengan berbagai usaha yang halal. Bagi seorang muslim, mencari rizki secara halal merupakan salah satu prinsip hidup yang sangat mendasar. Kita tentu menghendaki dalam upaya mencari rizki, banyak yang bisa kita peroleh, mudah mendapatkannya, dan halal status hukumnya.

Namun seandainya sedikit yang kita dapat dan susah pula mendapatkannya, selama status hukumnya halal, maka hal itu jauh lebih baik daripada mudah mendapatkannya, banyak perolehannya, namun status hukumnya tidak halal. Yang lebih tragis lagi adalah bila seseorang mencari nafkah dengan susah payah, sedikit mendapatkannya, status hukumnya juga tidak halal, bahkan resikonya sangat berat. Inilah sekarang yang banyak terjadi. Kita dapati di masyarakat kita ada orang yang mencuri sandal atau sepatu di masjid, mencopet di bus kota, dan sebagainya. Korban penganiayaan dari masyarakat sudah banyak yang berjatuhan akibat pencurian semacam itu.
Dalam satu hadits, Rasulullah saw menyebutkan tentang kecintaan Allah swt kepada orang yang mencari rizki secara halal meskipun ia bersusah payah dalam mendapatkannya, beliau bersabda:
ِإنَّ للهَ تَعَالىَ يُحِبُّ أَنْ يَرَى تَعِبًا فىِ طَلَبِ الْحَلاَلِ
Sesungguhnya Allah cinta (senang) melihat hamba-Nya lelah dalam mencari yang halal.” (HR. Ad Dailami).

Salah satu cara mencari harta yang tidak terhormat adalah dengan meminta atau mengemis kepada orang lain. Karena itu, sebagai muslim jangan sampai meminta atau mengemis agar kita mendapat jaminan surga dari Rasulullah saw sebagaimana sabdanya:
مَنْ يَتَكَفَّلُ لِى أَنْ لاَ يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وأَتَكَفَّلُ لََهُ بالْجَنَّةِ
Barangsiapa yang menjamin kepadaku bahwa ia tidak meminta sesuatu kepada orang, aku menjamin untuknya dengan surga.” (HR. Abu Daud dan Hakim).
Mengemis Yang Dibolehkan
Pada dasarnya, mengemis termasuk cara mencari harta yang diharamkan oleh Allah swt, karena itu, mengemis tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim kecuali bila sangat terpaksa, Rasulullah saw bersabda:
عَنْ قَبِيْصَةَ بْنِ مُخَارِقِ الْهِلاَلِيِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: تَحَمَّلَتُ حَمَالَةً فَأَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ فِيْهَا, فَقَالَ: أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ, فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا. قَالَ: ثُمَّ قَالَ: يَا قَبِيْصَةُ, إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ ِلأَحَدٍ ثَلاَثَةٍ: رَجُلٌ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ, وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ احْتَاجَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ, أوْ قَالَ: سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ. وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لقدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاَقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ, أوْ قَالَ: سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ. فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ, سُحْتًا يًأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا
Qabishah bin Mukhariq al Hilal ra berkata: “aku pernah memikul tanggungan berat (diluar kemampuan), lalu aku datang kepada Rasulullah saw untuk mengadukan hal itu. Kemudian beliau bersabda: “Tunggulah sampai ada sedekah yang datang kepada kami lalu kami perintahkan agar sedekah itu diberikan kepadamu”. Setelah itu beliau bersabda: Hai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh kecuali bagi salah satu dari tiga golongan, yaitu (1) orang yang memikul beban tanggungan yang berat (diluar kemampuannya), maka dia boleh meminta-minta sehingga setelah cukup lalu berhenti, tidak meminta-minta lagi. (2) Orang yang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, maka dia boleh meminta sampai dia mendapatkan sekadar kebutuhan hidupnya. (3). Orang yang tertimpa kemiskinan sehingga tiga orang yang sehat pikirannya dari kaumnya menganggapnya benar-benar miskin, makia dia boleh meminta sampai dia memperoleh sekadar kebutuhan hidupnya. Sedangkan selain dari tiga golongan tersebut hai Qabishah, maka meminta-minta itu haram yang hasilnya bila dimakan juga juga haram (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, dapat kita pahami bahwa mengemis yang dibolehkan adalah mengemis yang sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupan seseorang, itupun tidak boleh menjadi pekerjaan atau profesi, karena situasi darurat seharusnya tidak berlangsung lama. Lebih jelas, ada tiga sebab atau keadaan dibolehkannya mengemis bagi seseorang. Pertama, orang yang memiliki beban hidup yang tidak mampu ditanggungnya sehingga dengan kesungguhan dan kerja keras ia dapat berusaha dengan cara lain yang halal untuk bisa memenuhi kebutuhannya.
Dalam kehidupan sekarang, para pengemis bisa jadi berada dalam keadaan memiliki tanggungan yang berat, namun karena dari mengemis ternyata banyak yang diperolehnya meskipun tanpa kerja keras, maka ia malah keasyikan sehingga tidak mau berusaha yang lain. Padahal seandainya seorang ibu yang kita lihat di jalan-jalan untuk mengemis mau jadi pembantu rumah tangga saja; makan, minum, dan tempat tinggal sudah terjamin, itupun masih mendapatkan upah setiap bulan. Kalau para preman yang suka memalak mau berusaha dengan cara berdagang minuman ringan dan makanan kecil saja, maka ia sudah bisa memperoleh uang, kalau orang cacat diberikan pendidikan ketrampilan yang membuatnya bisa berusaha dan berkarya, tentu ia tidak akan menunggu belas kasihan orang lain.
Oleh karena itu, setiap orang seharusnya bisa memahami dan menyadari bahwa semakin lama beban hidup memang semakin besar sehingga seseorang dituntut untuk meningkatkan semangat bekerja dan berusaha, termasuk di dalamnya dengan memperbanyak ketrampilan karena semakin banyak ketrampilan yang dikuasainya, semakin banyak pula pintu rizki yang bisa dibuka.
Kedua yang dibolehkan mengemis adalah orang yang tertimpa musibah seperti bencana alam yang menghabiskan hartanya, bahkan untuk sementara ia pun tidak bisa berusaha sebagaimana biasanya. Di negeri kita, bencana datang silih berganti bahkan ada bencana yang sudah bisa diperkirakan seperti banjir, tanah longsor, berbagai penyakit yang muncul akibat perubahan musim dan sebagainya. Kalau pemerintah tanggap dalam masalah ini, apalagi dibantu oleh lembaga swadaya masyarakat, mestinya orang yang tertimpa musibah tidak akan sampai mengemis, anggaran negara dan pemerintah daerah harus disediakan dalam jumlah yang banyak untuk menghadapi situasi darurat akibat bencana alam.
Ketiga, Kemiskinan yang diakui oleh masyarakat di sekitarnya bahwa dia memang miskin sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok saja seperti makan dan minum ia tidak sanggup lagi memenuhinya. Bila tidak ada pilihan lain, maka orang yang ditimpa kemiskinan dibolehkan mengemis sekadar untuk bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Namun, kemiskinan idealnya tidak sampai membuat seseorang menjadi pengemis, tapi orang yang berkemampuan apalagi pemerintah harus segera membantu masyarakat yang miskin dengan mendidik masyarakat dan membuka lapangan kerja yang luas.
Disamping itu, ketika seseorang mau berusaha lalu membutuhkan modal, maka permodalan bisa diberikan atau dipinjamkan dari dana zakat, infak, sedekah, atau memang dana yang disediakan oleh pemerintah sehingga seseorang bisa berusaha dengan cara yang baik dan tidak lagi menjadi pengemis.
Dengan demikian dalam situasi terpaksa, seseorang dibolehkan mengemis hanya untuk mendapatkan rizki sekadar bisa memenuhi kebutuhan pokok, bukan dengan mengemis itu ia menjadi kaya apalagi sampai menipu orang lain agar ada belas kasihan kepadanya. Orang yang selama ini menjadi pengemis harus meninggalkan cara mengemis dan secara serius pemerintah harus memberi perhatian dalam masalah ini.
Oleh karena itu, motivasi dan memberi pemahaman yang utuh untuk membantu yang lemah harus dibangun kembali, sedangkan mereka yang mengalami kesulitan hidup harus mau berusaha semaksimal mungkin dan tidak menjadikan keadaan dirinya sebagai alasan keterpaksanaan untuk mendapatkan rizki dengan cara yang tidak terhormat.
Sumber: eramuslim.com
Page Facebook: www.facebook.com/riska.pratama.ardi

Kesetaraan dalam Islam


Budaya zaman sekarang membicarakan tentang hak warga sipil atau hak kemanusiaan, tapi budaya zaman sekarang hampir tidak pernah menyebutkan gagasan tentang hak sosial, yaitu hak untuk mendapatkan kesetaraan dalam masyarakat.
Kita tahu bahwa kesamaan hak dan kesetaraan dalam masyarakat adalah “gagasan” dari demokrasi. Demokrasi menyatakan bahwa setiap individu itu sederajat, tapi faktanya ini tidak terjadi. Dalam budaya kita, sangat jelas bahwa ada tingkatan-tingkatan sosial. Jika anda berasal dari kalangan bawah, maka celakalah jika anda berurusan dengan orang yang memiliki status sosial lebih tinggi dari anda. Karena ketika anda berurusan dengan orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari anda, seringkali anda diperlakukan tidak adil. Inilah salah satu kerusakan yang terjadi dalam masyarakat kita, yaitu dimana orang-orang yang mempunyai kekuasaan tinggi dengan mudah menindas orang-orang yang lemah. Ada ketimpangan dalam soal keadilan dalam masyarakat kita. Kesimpulannya hak sosial (hak mendapatkan kesetaraan dalam masyarakat) hampir tidak pernah dibahas.
Namun dalam tradisi Islam, salah satu hal yang sangat menarik adalah Islam mengajarkan bahwa kita tidak tahu siapa di antara kita yang lebih mulia di mata Tuhan. Dengan begitu, anda menyadari bahwa orang lain mungkin saja lebih baik daripada diri anda di mata Tuhan. Jadi anda merasa setara dengan orang lain. Karena orang yang status sosialnya lebih rendah daripada anda, mungkin saja derajat mereka lebih tinggi di mata Tuhan. Dan inilah mengapa banyak para penguasa Islam yang meminta dido’akan para pengemis. Tidak ada agama lain yang mempunyai kualitas seperti ini selain Islam.
Hal lain yang sangat menarik, adalah bahwa dalam masyarakat ini, tidak ada orang Kristen dari daerah kumuh yang pergi ke gereja orang-orang elit. Namun dalam masyarakat Muslim, orang terkaya sekalipun bisa saja shalat di samping orang paling miskin dalam shaf yang sama. Hal ini seringkali terjadi.
Dan inilah yang luar biasa tentang Islam, yaitu Islam menciptakan persaudaraan yang sejati. Kita jadi sadar bahwa Tuhan menganugerahkan kekayaan kepada sebagian orang dan sementara orang lain tidak dianugerahkan kekayaan itu. Namun kita tetap mengakui bahwa orang yang miskin sejajar kedudukannya dengan yang kaya di mata Allah, dan malah orang yang miskin bisa saja lebih dekat kepada Allah daripada dirimu. Dan hal ini membangkitkan sebuah keinginan dalam hati anda untuk berbaik hati kepada mereka, karena anda takut jangan-jangan membuat Allah murka, karena menyimpan rasa tidak suka, atau berkelakuan tidak baik kepada mereka yang dicintai Allah.