Jumat, 29 Mei 2015

Kenapa Anda Tidak Bisa Shalat 5 Waktu?


Bismillah as salatu wassalamu ala rasulullah. Ada dua masalah yang dialami sebagian umat Muslim. Masalah pertama adalah ada yang berkata bahwa dia tidak bisa shalat 5 waktu sehari. Dan saya tidak percaya pada orang yang berkata seperti itu. Kenapa begitu? Karena saya percaya pada Allah dan firman-Nya. Allah s.w.t berfirman “La Yukallifullahu Nafsan Illa Wus’aha (Allah tidak membebani seseorang melebihi daripada yang dapat ditanggungnya).” Bagi orang yang berkata bahwa dia tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang Allah perintahkan, saya tidak percaya padanya. Misalnya anda berkata “Aku tidak bisa shalat 5 waktu. Bagiku, ini terlalu berat” sedangkan Allah berfirman “Ya, kamu bisa!” Jadi saya bisa memilih antara mempercayai perkataan anda atau mempercayai Allah.

Dan mungkin anda tidak sadar bahwa anda sedang membohongi diri sendiri. Mungkin anda membohongi diri sendiri karena kemalasan anda, karena kurang kemauan, sehingga anda tidak mau shalat 5 kali sehari, atau mungkin masalahnya anda malu shalat di depan non-Muslim.
Apakah masuk akal bahwa anda dapat beristirahat selama 15 menit untuk merokok di tempat kerja, tapi anda tidak bisa shalat 5 kali dalam sehari? Subhanallah. Saya dulu bekerja di kota New York, Amerika Serikat, dan saya seringkali melihat Muslim shalat dimanapun mereka berada. Saya melihat seorang satpam yang sedang bertugas, tapi dia tetap shalat di pinggir jalan 5th Avenue karena sudah masuk waktunya. Dan juga ketika di kampus, saya masuk ke ruang fotokopi di perpustakaan, dan saya melihat 3 orang sedang shalat disana.
Seorang Muslim haruslah shalat dan tidak ada tawar-menawar. Jadi itulah masalah yang pertama. Allah berfirman bahwa anda mampu shalat. Allah telah memerintahkan anda untuk melakukannya, dan anda pasti bisa melakukannya. Berdo’alah pada Allah agar Dia memudahkannya.
Masalah yang kedua adalah: "Apakah Allah benar-benar peduli kalau aku shalat atau tidak?" Dan pertanyaan ini sebenarnya lebih tentang “Apakah Allah butuh shalatku atau tidak?” Jika anda bertanya seperti itu, maka anda telah lupa bahwa shalat bukanlah untuk Allah. Shalat berguna untuk diri anda sendiri. Jika semua orang di dunia di sepanjang hidup mereka hanya digunakan untuk shalat, itu takkan membuat Allah lebih kaya dan tidak akan menambah kebesaran-Nya, karena Dia sudah Maha Besar. Dan jika tak seorang pun di seluruh dunia yang berdzikir kepada Allah, hal itu tidak akan mengurangi kebesaran-Nya sama sekali. Allah tidak butuh kita, kitalah yang butuh Allah.
Jadi pertanyaannya adalah: Apakah anda merasa bahwa shalat adalah kebutuhan anda? Dan jika anda merasa tidak perlu meminta bantuan pada Allah, tidak perlu mendekat kepada Allah dan tunduk pada perintah-Nya, maka ada masalah serius dalam keimanan anda. Keimanan anda berarti lemah, dan hal ini terjadi karena anda telah menjauh dari Allah untuk waktu yang sangat lama,
sehingga setan datang kepada anda dan berkata “Ya, aku tahu dulu kamu menyesal karena tak beribadah, mari kita buang rasa penyesalan itu dan ganti dengan perasaan “Lagipula aku tak butuh shalat.” Itulah fase selanjutnya dari penyakit keimanan. Pada awalnya anda masih merasa menyesal karena tidak shalat. Penyesalan itu adalah karunia dari Allah.
Ketika penyesalan itu telah pergi, anda pun berpikir “Allah lagipula tidak butuh shalatku. Jadi aku tidak perlu melakukannya selama aku berbuat baik.” Masalahnya, siapa yang menentukan apa saja yang baik? Ada dua jenis kebaikan di dunia ini: Ada kebaikan etika seperti berbaik hati kepada tetangga, jujur di tempat kerja, tidak mencuri, tidak curang dalam berdagang. Semua ini adalah kebaikan etika. Dan juga ada kebaikan religius misalnya berhaji, berzakat, shalat 5 waktu, puasa Ramadhan. Jadi ada dua jenis kebaikan: kebaikan religius dan kebaikan etika/moral.
Apa yang seringkali terjadi pada seorang Muslim adalah kita seringkali membedakan keduanya. Jadi di antara umat Muslim anda akan melihat orang-orang yang baik secara etika, misalnya baik pada tetangga, baik pada keluarga, mengurus anak-anak, mengurus rumah, jujur di tempat kerja, tapi mereka tidak taat beragama. “Aku tidak butuh agama untuk jadi orang baik”, itulah kata mereka.
Dan di sisi lain, anda melihat orang-orang yang shalat, berhaji, berzakat, memanjangkan jenggot, berpakaian sangat agamis, namun mereka jahat kepada keluarga, berbuat curang dalam berdagang, sangat tidak bermoral dan beretika.
Yang terjadi adalah kita memisahkan dua dimensi kebaikan: Kebaikan etika/moral dan kebaikan religius. Sedangkan yang Allah lakukan dalam Quran adalah menyatukan keduanya. Dalam sebuah ayat yang bernama Ayatul Birr (ayat kebaikan), dijelaskan apa makna kebaikan. Jika anda mempelajari ayat itu, disana dijelaskan bahwa kebaikan adalah kombinasi dari dua hal. Kebaikan adalah kombinasi dari prinsip-prinsip etika seperti menepati janji, bersabar, tetap teguh, dan juga kebaikan religius seperti menjaga shalat, berzakat, puasa, dsb. Jadi jika anda berpikir bahwa anda yang berhak menentukan definisi kebaikan, maka anda akan cendrung hanya melakukan kebaikan etika/moral, sementara anda akan mengesampingkan kebaikan religius.
Tapi yang Allah inginkan adalah agar kita baik secara etika dan religius. Inilah kebaikan yang sejati. Jika anda baik hanya pada salah satunya, maka anda tidak benar-benar baik. Anda hanya mendefinisikan kebaikan bagi diri sendiri, dan anda menolak definisi Allah tentang kebaikan.
Sekian artikel ini, semoga kita dapat menjaga shalat kita dan menjadi Muslim yang lebih baik.

Referensi: www.LampuIslam.blogspot.com
Page Facebook: www.facebook.com/riska.pratama.ardi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar