“Bangsa yang kalah cenderung mengekor yang menang.”
(Ibnu Khaldun)
Crasss... Kepala St. Valentine
dipancung oleh penguasa Roma. Inilah kisah tragis tentang seorang bishop di Terni, suatu tempat kira-kira
60 mil dari Roma. Kenapa ia dipancung? Konon kabarnya gara-gara ia memasukkan
sebuah keluarga Romawi ke dalam agama Kristen. Itu terjadi sekitar tahun 273
Masehi. Dalam perkembangannya, peristiwa tersebut lalu dikaitkan dengan gebyar Valentine’s Day.
Ajaibnya, hajatan Valentine’s Day yang digarap anak-anak
muda kontemporer rada-rada nggak nyambung dengan latar belakang sejarahnya. Alih-alih memperingati
“jasa-jasa” sang rahib, eh malah diisi dengan kegiatan curhat dan kasih sayang.
Benar-benar nggak nyambung!
Tapi apa mau dikata, kegiatan
rutin tahunan Valentine’s Day sudah
kepalang dinobatkan sebagai hari kasih sayang di seluruh dunia. Termasuk kita
jadi latah ikut heboh setiap tanggal 14 Februari. Padahal, Valentine’s Day ternyata punya latar belakang peristiwa yang bukan
berasal dari Islam. Jadi, bahkan dalam versi lain, disebutkan bahwa pada
awalnya orang-orang Romawi merayakan hari besar mereka yang jatuh pada tanggal
15 Februari yang diberi nama Lupercalia.
Peringatan ini adalah sebagai penghormatan kepada Juno (Tuhan wanita dan perkawinan) dan Pan (Tuhan dari alam ini) seperti apa yang mereka percayai.
Acaranya? Pria dan wnaita berkumpul, lalu saling memilih pasangannya lewat kado
yang telah dikumpulkan dan diberi tanda sebelumnya—tukar kado. Selanjutnya?
Hura-hura sampai pagi!
Seiring dengan berjalannya waktu,
pihak gereja—yang waktu itu agama Kristen mulai menyebar di Romawi—memindahkan
upacara penghormatan terhadap berhala itu menjadi tanggal 14 Februari. Dan
dibelokkan tujuannya, bukan lagi menghormati berhala, tapi menghormati seorang
pendeta Kristen yang tewas dihukum mati. Nama acaranya bukan lagi Lupercalia, tapi Saint Valentine.
Waduh, anda yang ikut-ikutan
dalam hajatan Valentine’s Day itu ternyata
merayakan peringatan yang bukan berasal dari Islam. Tidak tahu, apa tidak mau
tahu?
Jauh dari Islam
Melihat akar sejarahnya, kita
tidak bisa membantah kalau acara valentinan
itu tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran Islam. Malah, ibarat diamnya gunung
berapi, acara ini punya potensi besar untuk menyeret orang-orang ke dalam
pergaulan yang negatif.
Yang sudah nyata, adalah tanpa
sadar kita jadi latah ikutan acara ini. Padahal, budaya itu tidak sama denga way of life-nya Islam.
Terlebih, Al-Qur’an sangat
“cerewet” menyikapi masalah ini. Allah S.W.T berfirman,
“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai
pertanggungjawabannya.” (al-Israa’:36)
Budaya Valentine’s Day itu memang berasal dari way of life-nya akidah lain, yakni budaya orang Barat yang
berakidah sekuler. Firman Allah S.W.T,
“...dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah
datang ilmu kepadamu (keterangan-keterangan), sesungguhnya kamu kalau demikian
termasuk golongan orang-orang zalim.” (al-Baqarah:145)
Maka, disinilah wajib bagi anda
untuk mengetahui juga soal hukum-hukum Islam. Termasuk dalam hal ni adalah
ketika akan melakukan suatu perbuatan. Ada keharusan untuk tahu hukumnya dulu
sebelum melakukan. Sebagaimana suau kaidah syar’iyah
yang berbunyi, “Asal (pokok/dasar)
perbuatan adalh terkait (terikat) dengan hukum-hukum Islam.” Termasuk dalam
“berkasih sayang” bersi Valentine’s Day
ini, wajib tahu hukumnya agar anda tidak jeblok alias menyesal seumur hidup
anda.
Rasulullah S.A.W, orang yang
paling mulia dan kita teladani, dengan tegas memperingatkan kita agar jangan
mengikuti pola hidup (budaya) kaum/bangsa lain. Dalam hadist riwayat Bukhari
dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah S.A.W bersabda, “Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku
menerima (mengikuti) apa-apa yang dilakukan oleh bangsa-bangsa terdahulu (pada
masa silam), selangkah demi selangkah, sehasta demi sehasta.” Di antara
sahabat ada yang bertanya, “Ya
Rasulullah, apakah yang dimaksud (di sini) seperti bangsa Persia dan Romawi?”
Rasulullah S.A.W menjawab, “Siapa lagi
(kalau bukan mereka).”
Rasulullah S.A.W pun melarang
kita untuk menyerupai (tasyabbuh)
ajaran suatu kaum. “Siapa yang menyerupai
suatu kaum, maka ia termasuk ke dalamnya,” sabda baginda Nabi S.A.W. Nah,
termasuk yang dijadikan bahasan hadist itu adalah ikut merayakan hari raya
orang-orang di luar Islam, di antaranya Valentine’s
Day itu.
Lebih jelas lagi adalah apa yang
disebut dalam surah al-Furqaan ayat 72 tatkala menjelaskan ciri-ciri orang
beriman. Allah Ta’ala menyebutkan
satu di antaranya adalah mereka yang tidak menyaksikan kepalsuan. Firman-Nya, “Dan orang-orang yang tidak memberikan
persaksian palsu (adz-dzur)...”
Menurut para ahli tafsir
Al-Qur’an seperti Ibnu Abbas, lafal adz-dzur
itu artinya adalah ‘ayyadul musyrikin
‘hari raya orang-orang musyrik.’ Masih menurut mereka, haram hukumnya bagi kaum
muslimin untuk hadir apalagi merayakan hari raya di luar Islam.
Dan bicara soal Hari Raya,
bukankah Islam sudah memberikan alternatif Hari Raya yang jauh lebih baik dari
Hari Raya manapun? Nabi kita bersabda, “Sesungguhnya
Allah telah mengganti Hari Raya dengan dua Hari Raya yang lebih baik bagi
kalian; Idul Fitri dan Idul Adha.”
Mengambil Sikap
Jadi, apa jawaban anda ketika
ditanya kenapa ikut dalam pesta Valentine’s
Day? Karena acara itu adalah perayaan kasih sayang? Bisa jadi sebagian
besar jawabannya demikian. Tapi anda harus tahu bahwa “kasih sayang” versi
bangsa yang melahirkan acara ini tidak lebih dari mengumbar hawa nafsu. Untuk
orang-orang sekuler dan liberal seperti di Barat sana, biasa mengucapkan
kata-kata cinta dan kasih sayang dengan ucapan; make love. Nah, tentu saja itu artinya “bermain cinta” yang
ujung-ujungnya adalah zina. Wah, bahaya!
Cukuplah kita semua melihat apa
yang ditayangkan di film-film televisi bahwa cinta dan pacaran itu sudah lekat
dengan pergaulan bebas bak coklat menempel di gigi. Ada pegangan tangan,
pelukan, ciuman, dan na’udzubillah
sampai hubungan badan. Istilah lainnya gaul ala KNPI—Kissing, Necking, Petting, dan Intercourse.
Yang jelas, anda tidak akan mau melakukan hal seperti itu, kan?
Dan, anda juga harus sadar, bahwa
banyaknya orang-orang yang ikut merayakan Valentine’s
Day bukan berarti acara tersebut sah dan legal. Soalnya, sah atau legal
acara tersebut bukan bergantung dari banyaknya orang melakukan perbuatan itu.
Tidak juga bergantung dari selera anda sebagai manusia yang memandang persoalan
hanya dari ukuran perasaan dan pikiran anda semata. Tapi, seluruhnya
disandarkan kepada ajaran-ajaran Islam. Islam sebagai patokan.
Sebagai seorang muslim yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, tentu saja kita tidak layak mengikuti
budaya yang tak jelas juntrungannya. Terlebih Valentine’s Day ini adalah produk peradaban Barat yang sekuler yang
memisahkan antara agama dengan kehidupan.
Valentine’s Day hanya sebuah sarana dari sekian banyak sarana
peradaban Barat yang notabene terbilang maju dan “hobi” menghancurkan Islam.
Bisa jadi Valentine’s Day adalah
sebagai alat penjajahan Barat. Paling tidak dari sisi budaya dan gaya hidup.
Ada baiknya kita merenungkan pernyataan sosiolog muslim yang terkenal, Ibnu
Khaldun. Apa yang dikemukakannya? Ibnu Khaldun berkata, “Yang kalah cenderung mengekor yang menang dari segi pakaian,
kendaraan, dan bentuk senjata yang dipakai. Malah meniru dalam setiap cara hidup mereka, termasuk dalam masalah
ini adalah mengikuti adat-istiadat mereka, bidang seni; seperti seni lukis dan
seni pahat (patung berhala), baik di dinding-dinding, pabrik-pabrik maupun di
rumah.”
Dikutip dari buku Jangan Jadi Bebek karangan O.
Solihin Hal. 3-9 dengan perubahan.
Referensi: www.lampuislam.org
Facebook Page: www.facebook.com/riska.pratama.ardi