Senin, 13 Februari 2017

Jangan Tertipu Gemerlap Valentine's Day



 
 
“Bangsa yang kalah cenderung mengekor yang menang.”
(Ibnu Khaldun)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Crasss... Kepala St. Valentine dipancung oleh penguasa Roma. Inilah kisah tragis tentang seorang bishop di Terni, suatu tempat kira-kira 60 mil dari Roma. Kenapa ia dipancung? Konon kabarnya gara-gara ia memasukkan sebuah keluarga Romawi ke dalam agama Kristen. Itu terjadi sekitar tahun 273 Masehi. Dalam perkembangannya, peristiwa tersebut lalu dikaitkan dengan gebyar Valentine’s Day.
Ajaibnya, hajatan Valentine’s Day yang digarap anak-anak muda kontemporer rada-rada nggak nyambung dengan latar belakang sejarahnya. Alih-alih memperingati “jasa-jasa” sang rahib, eh malah diisi dengan kegiatan curhat dan kasih sayang. Benar-benar nggak nyambung!

Upacara Dewa-Dewa
Tapi apa mau dikata, kegiatan rutin tahunan Valentine’s Day sudah kepalang dinobatkan sebagai hari kasih sayang di seluruh dunia. Termasuk kita jadi latah ikut heboh setiap tanggal 14 Februari. Padahal, Valentine’s Day ternyata punya latar belakang peristiwa yang bukan berasal dari Islam. Jadi, bahkan dalam versi lain, disebutkan bahwa pada awalnya orang-orang Romawi merayakan hari besar mereka yang jatuh pada tanggal 15 Februari yang diberi nama Lupercalia. Peringatan ini adalah sebagai penghormatan kepada Juno (Tuhan wanita dan perkawinan) dan Pan (Tuhan dari alam ini) seperti apa yang mereka percayai. Acaranya? Pria dan wnaita berkumpul, lalu saling memilih pasangannya lewat kado yang telah dikumpulkan dan diberi tanda sebelumnya—tukar kado. Selanjutnya? Hura-hura sampai pagi!
Seiring dengan berjalannya waktu, pihak gereja—yang waktu itu agama Kristen mulai menyebar di Romawi—memindahkan upacara penghormatan terhadap berhala itu menjadi tanggal 14 Februari. Dan dibelokkan tujuannya, bukan lagi menghormati berhala, tapi menghormati seorang pendeta Kristen yang tewas dihukum mati. Nama acaranya bukan lagi Lupercalia, tapi Saint Valentine.
Waduh, anda yang ikut-ikutan dalam hajatan Valentine’s Day itu ternyata merayakan peringatan yang bukan berasal dari Islam. Tidak tahu, apa tidak mau tahu?
Jauh dari Islam
Melihat akar sejarahnya, kita tidak bisa membantah kalau acara valentinan itu tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran Islam. Malah, ibarat diamnya gunung berapi, acara ini punya potensi besar untuk menyeret orang-orang ke dalam pergaulan yang negatif.
Yang sudah nyata, adalah tanpa sadar kita jadi latah ikutan acara ini. Padahal, budaya itu tidak sama denga way of life­-nya Islam.
Terlebih, Al-Qur’an sangat “cerewet” menyikapi masalah ini. Allah S.W.T berfirman,
“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Israa’:36)
Budaya Valentine’s Day itu memang berasal dari way of life-nya akidah lain, yakni budaya orang Barat yang berakidah sekuler. Firman Allah S.W.T,
“...dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu (keterangan-keterangan), sesungguhnya kamu kalau demikian termasuk golongan orang-orang zalim.” (al-Baqarah:145)
Maka, disinilah wajib bagi anda untuk mengetahui juga soal hukum-hukum Islam. Termasuk dalam hal ni adalah ketika akan melakukan suatu perbuatan. Ada keharusan untuk tahu hukumnya dulu sebelum melakukan. Sebagaimana suau kaidah syar’iyah yang berbunyi, “Asal (pokok/dasar) perbuatan adalh terkait (terikat) dengan hukum-hukum Islam.” Termasuk dalam “berkasih sayang” bersi Valentine’s Day ini, wajib tahu hukumnya agar anda tidak jeblok alias menyesal seumur hidup anda.
Rasulullah S.A.W, orang yang paling mulia dan kita teladani, dengan tegas memperingatkan kita agar jangan mengikuti pola hidup (budaya) kaum/bangsa lain. Dalam hadist riwayat Bukhari dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah S.A.W bersabda, “Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku menerima (mengikuti) apa-apa yang dilakukan oleh bangsa-bangsa terdahulu (pada masa silam), selangkah demi selangkah, sehasta demi sehasta.” Di antara sahabat ada yang bertanya, “Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud (di sini) seperti bangsa Persia dan Romawi?” Rasulullah S.A.W menjawab, “Siapa lagi (kalau bukan mereka).”
Rasulullah S.A.W pun melarang kita untuk menyerupai (tasyabbuh) ajaran suatu kaum. “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk ke dalamnya,” sabda baginda Nabi S.A.W. Nah, termasuk yang dijadikan bahasan hadist itu adalah ikut merayakan hari raya orang-orang di luar Islam, di antaranya Valentine’s Day itu.
Lebih jelas lagi adalah apa yang disebut dalam surah al-Furqaan ayat 72 tatkala menjelaskan ciri-ciri orang beriman. Allah Ta’ala menyebutkan satu di antaranya adalah mereka yang tidak menyaksikan kepalsuan. Firman-Nya, “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu (adz-dzur)...”
Menurut para ahli tafsir Al-Qur’an seperti Ibnu Abbas, lafal adz-dzur itu artinya adalah ‘ayyadul musyrikin ‘hari raya orang-orang musyrik.’ Masih menurut mereka, haram hukumnya bagi kaum muslimin untuk hadir apalagi merayakan hari raya di luar Islam.
Dan bicara soal Hari Raya, bukankah Islam sudah memberikan alternatif Hari Raya yang jauh lebih baik dari Hari Raya manapun? Nabi kita bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti Hari Raya dengan dua Hari Raya yang lebih baik bagi kalian; Idul Fitri dan Idul Adha.”
Mengambil Sikap
Jadi, apa jawaban anda ketika ditanya kenapa ikut dalam pesta Valentine’s Day? Karena acara itu adalah perayaan kasih sayang? Bisa jadi sebagian besar jawabannya demikian. Tapi anda harus tahu bahwa “kasih sayang” versi bangsa yang melahirkan acara ini tidak lebih dari mengumbar hawa nafsu. Untuk orang-orang sekuler dan liberal seperti di Barat sana, biasa mengucapkan kata-kata cinta dan kasih sayang dengan ucapan; make love. Nah, tentu saja itu artinya “bermain cinta” yang ujung-ujungnya adalah zina. Wah, bahaya!
Cukuplah kita semua melihat apa yang ditayangkan di film-film televisi bahwa cinta dan pacaran itu sudah lekat dengan pergaulan bebas bak coklat menempel di gigi. Ada pegangan tangan, pelukan, ciuman, dan na’udzubillah sampai hubungan badan. Istilah lainnya gaul ala KNPI—Kissing, Necking, Petting, dan Intercourse. Yang jelas, anda tidak akan mau melakukan hal seperti itu, kan?
Dan, anda juga harus sadar, bahwa banyaknya orang-orang yang ikut merayakan Valentine’s Day bukan berarti acara tersebut sah dan legal. Soalnya, sah atau legal acara tersebut bukan bergantung dari banyaknya orang melakukan perbuatan itu. Tidak juga bergantung dari selera anda sebagai manusia yang memandang persoalan hanya dari ukuran perasaan dan pikiran anda semata. Tapi, seluruhnya disandarkan kepada ajaran-ajaran Islam. Islam sebagai patokan.
Sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tentu saja kita tidak layak mengikuti budaya yang tak jelas juntrungannya. Terlebih Valentine’s Day ini adalah produk peradaban Barat yang sekuler yang memisahkan antara agama dengan kehidupan.
Valentine’s Day hanya sebuah sarana dari sekian banyak sarana peradaban Barat yang notabene terbilang maju dan “hobi” menghancurkan Islam. Bisa jadi Valentine’s Day adalah sebagai alat penjajahan Barat. Paling tidak dari sisi budaya dan gaya hidup. Ada baiknya kita merenungkan pernyataan sosiolog muslim yang terkenal, Ibnu Khaldun. Apa yang dikemukakannya? Ibnu Khaldun berkata, “Yang kalah cenderung mengekor yang menang dari segi pakaian, kendaraan, dan bentuk senjata yang dipakai. Malah meniru dalam setiap cara hidup mereka, termasuk dalam masalah ini adalah mengikuti adat-istiadat mereka, bidang seni; seperti seni lukis dan seni pahat (patung berhala), baik di dinding-dinding, pabrik-pabrik maupun di rumah.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku Jangan Jadi Bebek karangan O. Solihin Hal. 3-9 dengan perubahan.
 
Referensi: www.lampuislam.org 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar