Assalamualaikum Warohmatullahi Wa Barokaatuhu
Pada kesempatan ini saya ingin berbagi sebuah kisah nyata
AKHIR HAYAT PENGGEMAR MUSIK DAN PENCINTA AL QUR'AN. Saya merinding ketika pertama kali membaca kisah ini. Semoga
kita tetap dalam lindungan-NYA untuk mati dalam keadaan iman dan
islam...aamiin
berikut adalah kisah AKHIR HAYAT PENGGEMAR MUSIK DAN PENCINTA AL QUR'AN selelngkapnya.
Tatkala masih di bangku sekolah, aku hidup bersama kedua orangtuaku
dalam lingkungan yang baik. Aku selalu mendengar do’a ibuku saat pulang
dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula ayahku, ia selalu dalam
shalatnya yang panjang. Aku heran, mengapa ayah shalat begitu lama,
apalagi jika saat musim dingin yang menyengat tulang.
Aku sungguh heran. Bahkan hingga aku berkata kepada diri sendiri:
“Alangkah sabarnya mereka, setiap hari begitu, benar-benar
mengherankan!” Aku belum tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang mukmin, dan itulah
shalat orang-orang pilihan, Mereka bangkit dari tempat tidumya untuk
bermunajat kepada Allah. Setelah menjalani pendidikan militer, aku
tumbuh sebagai pemuda yang matang. Tetapi diriku semakin jauh dari
Allah. Padahal berbagai nasihat selalu kuterima dan kudengar dari waktu
ke waktu. Setelah tamat dari pendidikan, aku ditugaskan ke kota yang jauh dari
kotaku. Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan
menanggung beban sebagai orang terasing.
Di sana, aku tak mendengar lagi suara bacaan Al-Qur’an. Tak ada lagi
suara ibu yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup
sendirian, jauh dari lingkungan keluarga yang dulu kami nikmati.
Aku ditugaskan mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol. Di samping
menjaga keamanan jalan, tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan
bantuan.
Pekejaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi.
Tetapi, hidupku bagai selalu diombang-ambingkan ombak. Aku bingung dan
sering melamun sendirian…banyak waktu luang…pengetahuanku terbatas.
Aku mulai jenuh…tak ada yang menuntunku di bidang agama. Aku sebatang
kara. Hampir tiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan orang-orang
yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentuk penganiayaan lain. Aku bosan
dengan rutinitas. Sampai suatu hari terjadilah suatu peristiwa yang
hingga kini tak pernah kulupakan.
Ketika itu, kami dengan seorang kawan sedang bertugas di sebuah pos
jalan. Kami asyik ngobrol…tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara benturan
yang amat keras. Kami mengalihkan pandangan. Ternyata, sebuah mobil
bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah berlawanan. Kami
segera berlari menuju tempat kejadian untuk menolong korban.
Kejadian yang sungguh tragis. Kami lihat dua awak salah satu mobil daIam
kondisi sangat kritis. Keduanya segera kami keluarkan dari mobil lalu
kami bujurkan di tanah.
Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas
dengan amat mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua orang yang berada
dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat
syahadat.
Ucapkanlah “Laailaaha Illallaah…Laailaaha Illallaah…” perintah temanku.
Tetapi sungguh mengherankan, dari mulutnya malah meluncur lagu-lagu.
Keadaan itu membuatku merinding.Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi
orang-orang yang sekarat…Kembali
ia menuntun korban itu membaca
syahadat. Aku diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar. Seumur
hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi
dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya
mengulang-ulang bacaan syahadat. Tetapi… keduanya tetap terus saja
melantunkan lagu.
Tak ada gunanya… Suara lagunya semakin melemah…lemah dan lemah sekali.
Orang pertama
diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada gerak… keduanya
telah meninggal dunia. Kami segera membawa mereka ke dalam mobil.
Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatah pun. Selama pejalanan hanya
ada kebisuan, hening.
Kesunyian pecah ketika temanku memulai bicara. Ia berbicara tentang
hakikat kematian dan su’ul khatimah (kesudahan yang buruk). Ia berkata:
“Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk. Kesudahan
hidup itu biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di
dunia”. Ia bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang
diriwayatkan dalam buku-buku Islam. Ia juga berbicara bagaimana
seseorang akan mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara
lahir batin. Perjalanan ke rumah sakit terasa singkat oleh pembicaraan kami tentang
kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat bahwa
kami sedang membawa mayat. Tiba-tiba aku menjadi takut mati. Peristiwa ini benar-benar memberi
pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku shalat kusyu’ sekali.
Tetapi perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu. Aku kembali pada kebiasaanku semula…Aku seperti tak pemah menyaksikan
apa yang menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu lalu. Tetapi
sejak saat itu, aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya
lagu-lagu. Aku tak mau tenggelam menikmatinya seperti sedia kala.
Mungkin itu ada kaitannya dengan lagu yang pemah kudengar dari dua orang
yang sedang sekarat dahulu. Kejadian Yang Menakjubkan… Selang enam bulan dari peristiwa mengerikan
itu…sebuah kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku.
Seseorang mengendarai mobilnya dengan pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya
mogok di sebuah terowongan menuju kota. Ia turun dari mobilnya untuk
mengganti ban yang kempes. Ketika ia
berdiri di belakang mobil untuk menurunkan ban serep, tiba-tiba sebuah
mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang. Lelaki itu
pun langsung tersungkur seketika. Aku dengan seorang kawan, -bukan
yang menemaniku pada peristiwa yang
pertama- cepat-cepat menuju tempat kejadian. Dia kami bawa dengan mobil
dan segera pula kami menghubungi rumah sakit agar langsung mendapat
penanganan. Dia masih muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang
ta’at menjalankan perintah agama.
Ketika mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup panik, sehingga tak
sempat memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika kami
membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang
keluar dari mulutnya. Ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an…dengan
suara amat lemah. “Subhanallah! ” dalam kondisi kritis seperti , ia masih sempat
melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran? Darah mengguyur seluruh pakaiannya;
tulang-tulangnya patah, bahkan ia hampir mati. Dalam kondisi seperti itu, ia terus melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan suaranya yang merdu. Selama hidup aku tak pernah mendengar suara
bacaan Al Quran seindah itu. Dalam batin aku bergumam sendirian: “Aku
akan menuntun membaca syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh temanku
terdahulu… apalagi aku Sudah punya pengalaman,” aku meyakinkan diriku
sendiri.
Aku dan kawanku seperti kena hipnotis mendengarkan suara bacaan
Al-Qur’an yang merdu itu. Sekonyong-konyong tubuhku merinding menjalar
dan menyelusup ke setiap rongga. Tiba-tiba suara itu berhenti. Aku
menoleh ke belakang. Kusaksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu
bersyahadat. Kepalanya terkulai, aku melompat ke belakang. Kupegang
tangannya, detak jantungnya nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia telah
meninggal dunia. Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes, kusembunyikan
tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku kalau
pemuda itu telah wafat. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya. Demikian
pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis, air mataku deras
mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.
Sampai di rumah sakit… Kepada orang-orang di sana kami mengabarkan perihal kematian pemuda itu
dan peristiwa menjelang kematiannya yang menakjubkan. Banyak orang yang
terpengaruh dengan kisah kami, sehingga tak sedikit yang meneteskan air
mata. Salah seorang dari mereka, demi mendengar kisahnya, segera
menghampiri jenazah dan mencium keningnya.
Semua orang yang hadir memutuskan untuk tidak beranjak sebelum
mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka ingin
memberi penghormatan terakhir kepada jenazah, semua ingin ikut
menyalatinya.
Salah seorang petugas tumah sakit menghubungi rumah almarhum. Kami ikut
mengantarkan jenazah hingga ke rumah keluarganya. Salah seorang
saudaranya mengisahkan ketika kecelakaan, sebetulnya almarhum hendak
menjenguk neneknya di desa. Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap hari
Senin. Di sana, almarhum juga menyantuni para janda, anak yatim dan
orang-orang miskin. Ketika tejadi kecelakaan, mobilnya penuh dengan
beras, gula, buah-buahan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Ia
juga tak lupa membawa buku-buku agama dan kaset-kaset pengajian. Semua
itu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang ia santuni. Bahkan ia
juga membawa permen untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil.
Bila ada yang mengeluhkan-padanya tentang kejenuhan dalam pejalanan, ia
menjawab dengan halus. “Justru saya memanfaatkan waktu perjalananku
dengan menghafal dan mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an, juga dengan
mendengarkan kaset-kaset pengajian, aku mengharap ridha Allah pada
setiap langkah kaki yang aku ayunkan,” kata almarhum. Aku ikut menyalati
jenazah dan mengantarnya sampai ke kuburan. Dalam liang lahat yang
sempit, almarhum dikebumikan. Wajahnya dihadapkan ke kiblat.
“Dengan nama Allah dan atas ngama Rasulullah”. Pelan-pelan, kami
menimbuninya dengan tanah…Mintalah kepada Allah keteguhan hati
saudaramu, sesungguhnya dia akan ditanya… Almarhum menghadapi hari
pertamanya dari hari-hari akhirat…
Dan aku… sungguh seakan-akan sedang menghadapi hari pertamaku di dunia.
Aku benar-benar bertaubat dari kebiasaan burukku. Mudah-mudahan Allah
mengampuni dosa-dosaku di masa lalu dan meneguhkanku untuk tetap
mentaatinya, memberiku kesudahan hidup yang baik (khusnul khatimah)
serta menjadikan kuburanku dan kuburan kaum muslimin sebagai taman-taman
Surga. Amin… (Azzamul Qaadim, hal 36-42)
Sumber : [“Saudariku Apa yang Menghalangimu Untuk Berhijab”; judul asli
Kesudahan yang Berlawanan; Asy Syaikh Abdul Hamid Al-Bilaly; Penerbit :
Akafa Press Hal. 48]
Referensi: www.lampuislam.org
Facebook Page: www.facebook.com/riska.pratama.ardi