Masih
banyak orang yang menganggap bahwa penerapan hukum Islam atas
non-Muslim hanya berujung pada kerusuhan, pertumpahan darah, dan
perpecahan. Ada ketakutan di kalangan non-Muslim,
seolah-olah hidup di bawah naungan hukum Islam akan menjadi awal
kehancuran kehidupan mereka. Di Dunia Islam, ketakutan ini dimanfaatkan
untuk menjustifikasi diambilnya langkah-langkah keras untuk menangani
aktivis Muslim yang menyerukan penerapan hukum syariat dengan menegakkan
Negara Khilafah.
Negara-negara
Barat imperialis, bersama-sama dengan media dan para penguasa di Dunia
Islam yang menjadi antek-antek mereka, dibarengi dengan pengawasan ketat
terhadap para pengemban dakwah, memanfaatkan isu-isu seperti penerapan
hukum syariat untuk mengolok-olok dan menyerang gagasan penerapan Islam.
Mereka masih khawatir jika hukum syariat Islam diterapkan secara benar,
hal ini akan melahirkan negara yang keadidayaannya tidak pernah
tersaingi oleh negara manapun. Bersatunya begitu banyak orang, dengan
latar belakang yang sangat beragam tidak pernah terjadi kecuali di era
Khilafah.
Karena
itu, kita paham, mengapa negara-negara Barat imperialis memiliki agenda
untuk merusak citra Islam, (yaitu) supaya Islam tidak dipandang sebagai
alternatif bagi ideologi Kapitalis. Untuk memperoleh gambaran yang
jernih perihal nasib orang-orang non-Muslim dalam Negara Khilafah, harus
dijelaskan kepada kaum Muslim maupun non Muslim, bagaimana Negara
Khilafah memperlakukan orang-orang non Muslim yang ada di wilayah
kekuasaan Negara Khilafah Islam. Ini diperlukan, agar kekhawatiran dan
kesalahpahaman berbagai pihak bisa hilang dengan sendirinya, sekaligus
dapat meng-counter berbagai tuduhan keji dari musuh-musuh Islam yang
tidak suka dengan kembali diterapkannya syariat Islam.
Non-Muslim adalah Ahlu Dzimmah
Allah
Subhanahu'wata'ala menurunkan syariat Islam kepada Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalam sebagai rahmat bagi
seluruh umat manusia, apapun warna kulit, agama, ras, dan segala latar
belakang mereka.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (QS. al-Anbiya [21]: 107)
Jika
kita kaji syariat dengan baik, maka kita akan melihat betapa syariat
Islam telah memberikan panduan rinci bagaimana menangani urusan kaum
Muslim, juga non-Muslim, yang hidup di bawah naungan Negara Khilafah.
Penerapan syariat terhadap non-Muslim merupakan metode praktis dakwah
Islam kepada non-Muslim. Adakah cara yang lebih baik bagi non-Muslim
untuk melihat kebenaran Islam selain dengan hidup berdasarkan sistem
Islam itu sendiri, dan mengalami kedamaian dan keadilan hukum Allah Subhanahu'wata'ala?
Dalam hukum Islam, warganegara Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah,
yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”. Islam menganggap
semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warganegara Negara
Islam, dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak
boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.
Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalam dalam sabdanya:
“Barangsiapa
membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan)
tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan
dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad)
Imam Qarafi menyinggung masalah tanggung jawab negara terhadap ahlu dzimmah. Ia menyatakan, “Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahlu dzimmah untuk
menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka
yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik,
bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga, sekalipun
kaum Muslim memang memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat
Islam juga harus memberikan masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan
masalah yang mereka hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang
bermaksud menyakiti mereka, mencuri dari mereka, atau merampas hak-hak
mereka.”
T.W. Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam,
menuliskan bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup
di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Dia menyatakan, “Sekalipun
jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai
provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan
diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka
dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat
Kristen”.
Arnold kemudian menjelaskan; “Perlakuan
pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman -selama kurang lebih dua
abad setelah penaklukkan Yunani- telah memberikan contoh toleransi
keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis
Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang
kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada
pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang
fanatik; kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki,
dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum
Islam… kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu
ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum
Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”
Kategori non-Muslim
Syariat Islam berlaku untuk semua ahlu dzimmah. Ahlu dzimmah mencakup seluruh mu’ahid (orang-orang yang terikat perjanjian dengan Negara Khilafah) dan musta’min (individu
yang memasuki wilayah Negara Khilafah dengan ijin), selain dari para
diplomat yang diperlakukan berdasarkan perjanjian bersama dengan negara
lain.
Ada dua kategori ahlu dzimmah. Pertama adalah Ahli Kitab, dan kategori kedua adalah
umat-umat agama lainnya. Ahli Kitab terdiri atas umat Yahudi dan
Kristen. Syariat menyatakan bahwa umat Islam diperbolehkan memakan
binatang-binatang sembelihan mereka, dan para lelaki Muslim
diperbolehkan menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab. Sementara umat
agama lainnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Ahli Kitab,
namun binatang sembelihan mereka tidak boleh dimakan oleh umat Islam,
dan perempuan-perempuan mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki Muslim.
Bukti untuk hal ini ialah:
Non-Muslim Berhak Menjalankan Kepercayaan Mereka
Allah Swt menyatakan:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (QS. al-Baqarah [2]: 256)
Ayat
tersebut menyatakan bahwa Negara Islam tidak diperbolehkan memaksa
orang-orang non-Islam untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Namun umat
non-Muslim harus menerima Islam bila telah meyakini akidah Islam secara
intelektual. Ini terbukti melalui fakta bahwa hingga hari ini masih ada
komunitas Yahudi dan Kristen yang tinggal di kawasan Timur Tengah
walaupun Negara Islam telah berkuasa di kawasan tersebut selama 1300
tahun.
Kita melihat penerapan peraturan ini secara praktis selama masa pemerintahan Khilafah Utsmaniyah. T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam,
menyatakan bahwa Uskup Agung Kristen dan Sinoda Agung bebas memutuskan
segala hal yang berkenaan dengan keyakinan dan dogma tanpa menerima
intervensi apapun dari negara. Hal ini justru tidak pernah terjadi pada
masa pemerintahan para Kaisar Byzantium.
Non-Muslim Mengikuti Aturan Agama Mereka dalam Hal Makanan dan Pakaian
Dalam hal makanan dan pakaian, umat non-Muslim berhak mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik.
Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: “Islam membolehkan ahlu dzimmah meminum minuman keras, memakan daging babi, dan menjalankan segala aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat.”
Maka,
selama hal tersebut dilakukan secara privat dan tidak dilakukan di
ruang publik, Negara Islam tidak punya urusan untuk mengusik
masalah-masalah pribadi mereka. Namun bila, misalnya seorang ahlu dzimmah membuka toko yang menjual minuman keras, maka dia akan dihukum berdasarkan aturan syariat Islam.
Urusan Pernikahan dan Perceraian Antar Non-Muslim Dilakukan Menurut Aturan Agama Mereka
Umat
non-Islam diijinkan untuk saling menikah antar mereka berdasarkan
keyakinannya. Mereka dapat dinikahkan di Gereja atau Sinagog oleh
Pendeta atau Rabbi. Mereka juga dapat bercerai menurut aturan agama
mereka.
Syariat membolehkan seorang lelaki Muslim untuk menikahi perempuan Ahli Kitab. Al-Qur’an menyatakan:
الْيَوْمَ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ
حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن
قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ
فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada
hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman, dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi
al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya, dan ia di
hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS. al-Maidah [5]: 5 )
Dengan
demikian, maka masalah pernikahan, perceraian, dan masalah-masalah
keluarga lainnya, termasuk anak-anak, harus diurus berdasarkan syariat
Islam.
Non-Muslim Wajib Mengikuti Syariat Islam dalam Masalah Hubungan Sosial Kemasyarakatan
Masalah
lain dan aturan-aturan lain yang digariskan syariat Islam, seperti
sistem sanksi, sistem peradilan, sistem pemerintahan, ekonomi, dan
kebijakan luar negeri, diterapkan oleh Negara Islam pada semua orang
secara sama, tanpa memandang Muslim atau non-Muslim.
Sistem Sanksi
Muslim
dan non-Muslim wajib dikenakan hukuman karena kejahatan yang mereka
lakukan berdasarkan hukum Islam. Beberapa contoh di bawah ini jelas
menunjukkan hal tersebut.
· Nabi Muhammad saw bersabda: “Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, akan kupotong tangannya.”
· Umar bin Khaththab ra menghukum puteranya sendiri ketika ia menjabat sebagai Khalifah.
· Ibnu Umar meriwayatkan: “Dua orang Yahudi didakwa karena berzina dan dibawa ke hadapan Nabi Shalallahu'alaihi'wasalam, beliau kemudian memerintahkan agar mereka dirajam.”
· Anas meriwayatkan: “Seorang Yahudi membunuh seorang gadis dengan batu, Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalm pun kemudian membunuhnya.”
· Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: “Bila
seorang Muslim membunuh siapapun dari kalangan ahlu dzimmah, maka dia
wajib dihukum dengan dibunuh pula, ini berlaku baik pada perempuan
maupun lelaki.”
Sistem Peradilan
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء
بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ
تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ
إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾
Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Maidah [5]: 8 )
Di mata hukum, tidak ada perbedaan antara non-Muslim dengan Muslim. Hakim (qadli)
wajib mencermati pembuktian yang disyaratkan menurut syariat semata,
bukan menurut aturan lain. Ada banyak contoh yang menunjukkan bagaimana
non-Muslim dapat mengalahkan seorang Muslim di pengadilan.
Pada
masa Khalifah Umar bin Khaththab, sejumlah Muslim menyerobot tanah yang
dimiliki oleh seorang Yahudi dan mendirikan masjid di atas tanah
tersebut. Ini jelas melanggar hak Yahudi tersebut sebagai ahlu dzimmah. Umar kemudian memerintahkan agar masjid tersebut dirubuhkan dan tanah tersebut dikembalikan pada orang Yahudi tersebut.
Dalam
kasus lainnya, pada masa pemerintahan Imam Ali, seorang Yahudi mencuri
baju zirah milik Khalifah. Ali kemudian mengadukan Yahudi tersebut ke
pengadilan dan membawa puteranya sebagai saksi. Hakim menolak gugatan
sang Khalifah, dan menyatakan bahwa seorang anak tidak dapat dijadikan
saksi dalam perkara yang melibatkan ayahnya di pengadilan. Setelah
menyaksikan keadilan tersebut, si Yahudi kemudian mengaku bahwa ia
memang mencuri baju tersebut dan kemudian memeluk Islam.
Sistem Ekonomi
قَاتِلُواْ
الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ
يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ
الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُواْ الْجِزْيَةَ
عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ ﴿٢٩﴾
Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada
hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam
keadaan tunduk. (QS. at Taubah [9]: 29)
Non-Muslim wajib membayar pungutan tahunan yang disebut jizyah. Sebagai balasannya, Negara Khilafah berkewajiban melindungi mereka. Ali menyatakan, “Dengan dibayarkannya jizyah, maka harta mereka sama nilainya dengan harta kita, dan darah mereka pun seperti darah kita.”
Jizyah diambil dari orang-orang dewasa yang sehat akalnya. Jizyah tidak dikenakan pada anak kecil, orang gila, atau wanita. Besaran jizyah tidak
diatur secara pasti, namun diserahkan pada opini dan ijtihad Khalifah.
Khalifah wajib mempertimbangkan aspek-aspek kesejahteraan dan
kemiskinan, sehingga tidak memberatkan kaum dzimmi.
Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalam pernah mengangkat Abdullah bin Arqam untuk mengurusi masalah jizyah para ahlu dzimmah, dan kala beliau hendak beranjak pergi, Nabi Shalallahu'alaihi'wasalam memanggilnya kembali dan menyatakan, “Siapapun
yang menindas seseorang yang terikat perjanjian (mu’ahid), atau
membebaninya melebihi kemampuannya dan menyakitinya, atau mengambil
apapun yang menjadi haknya tanpa keikhlasan darinya, maka aku akan
menuntut orang (penindas) tersebut pada Hari Perhitungan.” (HR. Abu Dawud)
Sebagai contoh, jizyah pada masa Umar bin Khaththab adalah sebagai berikut:
- 4 dinar untuk golongan kaya (setara £108,00)
- 2 dinar untuk golongan menengah (setara £54,00)
- 1 dinar untuk golongan miskin (setara £27,00)
Pungutan ini tidak sama dengan pajak, seperti sistem perpajakan yang amat menindas saat ini. Secara finansial, kesejahteraan ahlu dzimmah terjaga di bawah Negara Islam, dan mereka pun berhak menggarap berbagai bisnis dan melakukan perdagangan.
Cecil Roth, dalam bukunya The House of Nasi: Dona Gracia,
menyatakan bahwa perlakuan pada kaum Yahudi di bawah pemerintahan
Ottoman telah menarik perhatian kaum Yahudi dari berbagai negeri Eropa
Barat. Wilayah Islam pun menjadi lahan emas. Dokter-dokter Yahudi dari
Akademi Salanca dipekerjakan untuk mengurusi Sultan dan para Wazir. Di
berbagai tempat, industri pembuatan gelas dan penempaan logam menjadi
bidang-bidang yang dimonopoli kaum Yahudi, dengan pengetahuan mereka
dalam penguasaan bahasa asing, mereka merupakan kompetitor utama bagi
para pedagang Venesia.
Hukum syariat menyatakan: “Non-Muslim dari kalangan Ahli Kitab memiliki hak yang sama dengan Muslim untuk apapun yang berasal dari Baitul Mal.” Maka, kaum miskin ahlu dzimmah pun berhak mendapatkan bantuan dari Baitul Mal (Kas Negara).
Kondisi
ini jelas tidak sama dengan dunia Barat maupun Timur saat ini, yang
membatasi imigran dalam hal perekonomian, bersikap rasis pada mereka,
serta membuat aturan ketat yang mencegah masuknya kaum imigran. Negara
Islam tidak menerapkan kebijakan macam itu. Siapapun yang ingin menjadi
warga dari Negara Islam memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan
warganegara lainnya. Sultan Bayazid II menyikapi masalah pengusiran kaum
Yahudi yang dilakukan oleh Ferdinand, Raja Katolik Spanyol, dengan
mengeluarkan pernyataan, “Bagaimana mungkin Ferdinand dapat disebut ‘bijak’, dia telah memiskinkan wilayah kekuasaannya guna memperkaya dirinya.”
Sultan kemudian menerima pengungsi Yahudi dengan tangan terbuka. Sama
halnya dengan diterimanya kaum Yahudi di Turki setelah Konstantinopel
dibebaskan oleh Islam di bawah Muhammad Sang Penakluk (Muhammad
al-Fatih)
Non-Muslim Tidak Berhak Memegang Posisi Pengambil Kebijakan
الَّذِينَ
يَتَرَبَّصُونَ بِكُمْ فَإِن كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِّنَ اللّهِ قَالُواْ
أَلَمْ نَكُن مَّعَكُمْ وَإِن كَانَ لِلْكَافِرِينَ نَصِيبٌ قَالُواْ
أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُم مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
فَاللّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ
لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً ﴿١٤١﴾
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. an-Nisa [4]: 141)
Ayat
ini mengekspresikan larangan bagi non-Muslim (orang kafir) untuk
memegang pos-pos kekuasaan atas umat Islam. Selain itu, kaum non Muslim
tidak berhak berpartisipasi dalam pemilihan Khalifah.
Majelis Umat
Siapapun
yang memiliki kewarganegaraan, bila ia dewasa dan berakal sehat,
memiliki hak untuk menjadi anggota Majelis Umat. Dalam hal ini, dia
memiliki hak untuk memilih anggota-anggota Majelis, baik perempuan
maupun lelaki, baik Muslim maupun non Muslim.
Kaum
non Muslim berhak menjadi anggota Majelis Umat, untuk menampung
aspirasi kalangan mereka terhadap perlakuan hukum oleh penguasa pada
diri mereka, atau untuk mengoreksi kesalahan implementasi hukum Islam
atas diri mereka. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ra. berbincang dengan
seorang Yahudi bernama Finhas yang diajaknya untuk masuk Islam. Finhas
kemudian menjawab, “Demi Allah Abu Bakar, kita tidak memerlukan
Allah sebagaimana Ia membutuhkan kita, dan kita tak perlu meminta
bantuan-Nya sebagaimana Ia meminta bantuan pada kita. Kita tidak
memerlukan-Nya, sementara Dia memerlukan kita. Bila Dia benar-benar Maha
Kaya, Dia tak akan meminta pinjaman uang pada kita sebagaimana yang
dikatakan oleh temanmu. Dia (Rasulullah saw) melarangmu melakukan riba,
namun membolehkan kami (Yahudi) melakukannya, dan bila Dia benar-benar
Maha Kaya, Dia tak akan membolehkan kami melakukannya.” Dalam hal ini, Finhas mengomentari firman Allah:
مَّن
ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللّهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ
أَضْعَافاً كَثِيرَةً وَاللّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezeki), dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS. al-Baqarah [2]: 245)
Abu Bakar tidak terima dengan pelecehan tersebut. Ia memukul wajah Finhas dengan keras sambil berkata, “Demi
Allah, bila tidak ada ikatan perjanjian antara engkau dan kami (umat
Islam), aku akan membunuhmu, engkau adalah musuh Allah!” Finhas
kemudian pergi dan mengadukan pemukulan yang dilakukan Abu Bakar kepada
Nabi Shalallahu'alaihi'wasalam. Nabi Shalallahu'alahi'wasalam mendengarkan pengaduannya, lalu menanyai Abu Bakar
tentang insiden tersebut. Abu Bakar menceritakan pada Nabi Shalallahu'alaihi'wasalam tentang
apa yang terjadi, namun Finhas kemudian membantah bahwa dia telah
melakukan pelecehan. Segera setelah itu, Allah Shalallahu'alaihi'wasalam menurunkan wahyu:
لَّقَدْ
سَمِعَ اللّهُ قَوْلَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّ اللّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ
أَغْنِيَاء سَنَكْتُبُ مَا قَالُواْ وَقَتْلَهُمُ الأَنبِيَاءَ بِغَيْرِ
حَقٍّ وَنَقُولُ ذُوقُواْ عَذَابَ الْحَرِيقِ
Sesungguhnya
Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan;
‘Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya’. Kami akan mencatat perkataan
mereka itu dan perbuatan mereka membunuh Nabi-nabi tanpa alasan yang
benar, dan Kami akan mengatakan (kepada mereka); ‘Rasakanlah olehmu azab
yang membakar’. (QS. Ali Imran [3]: 181)
Abu Bakar adalah salah seorang pembantu Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalam pada saat insiden tersebut terjadi, dan Finhas adalah seorang dzimmi.
Rasulullah Shalallahu'alaihi'wasalam mendengarkan pengaduan Finhas atas Abu Bakar, sekalipun
yang diadukannya adalah dusta. Karena itu, bila pengaduan diajukan oleh
seseorang yang terikat perjanjian dengan negara, maka pengaduan tersebut
perlu didengarkan, karena dia terikat perjanjian sebagai ahlu dzimmah.
Namun,
non-Muslim tidak berhak menyuarakan opini mereka atas hal-hal yang
berkenaan dengan hukum, karena hukum Islam merupakan turunan dari akidah
Islam. Kaum non-Muslim meyakini doktrin yang asing dan bertentangan
dengan akidah Islam. Karena itu, opini mereka tidak dibutuhkan dalam
masalah hukum.
Anggota
Majelis dari kalangan non-Muslim tidak memiliki hak untuk mengkaji
pengadopsian yang dilakukan Khalifah dalam hal hukum dan peraturan
Islam, karena mereka tidak mengimani ajaran Islam. Hak mereka hanyalah
untuk menyuarakan opini mereka atas ketidakadilan penguasa terhadap
mereka, bukan dalam mengekspresikan opini atas hukum dan peraturan
Islam.
T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, menyatakan: “Kala
Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan
Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani.
Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras, dan untuk itu dikeluarkan
sebuah Dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung
yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan para
penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya.
Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga
berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi
para gubernur yang tidak adil.”
Militer
Perlindungan pada ahlu dzimmah merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam. Ahlu Dzimmah tidak diwajibkan bergabung dalam kemiliteran dan berperang untuk membela Negara Islam.
Ibnu Hazm menyatakan, “Salah
satu hak yang dimiliki oleh ahlu dzimmah adalah bilamana Negara Islam
diserang dan mereka tinggal di wilayah Islam, maka umat Islam wajib
melindungi mereka mati-matian. Dalam hal ini, perlakuan lemah lembut
adalah hak para ahlu dzimmah.”
Namun
bila mereka mau, mereka dapat menjadi bagian dari tentara Islam dan
berhak mendapat gaji atas kerja mereka. Namun mereka tidak diizinkan
untuk memegang posisi pemimpin pasukan dalam kemiliteran.
Pegawai Negeri Sipil
Siapa
pun yang memiliki kewarganegaraan dan memiliki kemampuan, lelaki
ataupun perempuan, Muslim ataupun non-Muslim, dapat dipilih sebagai
direktur atau pegawai departemen administratif. Ini diambil dari aturan
tentang pekerja (ijarah), yang membolehkan mempekerjakan orang,
terlepas dari apa pun agamanya. Riwayat-riwayat tentang pengupahan
tidak mengatur kelompok-kelompok tertentu secara spesifik:
Rasulullah
saw sendiri pernah mempekerjakan seorang lelaki non-Muslim dari Bani
ad-Dail. Ini menunjukkan bahwa mempekerjakan seorang non-Muslim
diperbolehkan, sebagaimana mempekerjakan seorang Muslim.
Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan
luar negeri Negara Islam adalah mengemban dakwah Islam ke seluruh
penjuru dunia. Metode yang ditempuh adalah melakukan jihad pada negara
lain. Tujuannya adalah untuk melenyapkan penghalang yang merintangi
penerapan aturan Islam dan menunjukkan pesan Islam pada seluruh
rakyatnya.
Motivasi
penaklukkan negeri-negeri lain semata-mata digerakkan oleh keinginan
untuk mencari keridlaan Allah Swt. Penaklukkan tidak boleh dilakukan
demi perolehan materi. Karena itu, bila Negara Islam menaklukkan negara
lainnya, Negara Islam tidak akan menindas rakyatnya dengan mencuri
kekayaan alamnya.
Dalam bukunya, al-Kharaj,
Abu Yusuf (yang kepala Qadli di masa pemerintahan Khalifah Harun
ar-Rasyid) memberikan laporan sebagai berikut: “Setelah
ditandatanganinya perjanjian dengan rakyat Suriah dan mengumpulkan jizyah dan kharaj,
Abu Ubaidah menerima berita bahwa pasukan Byzantium telah menyiapkan
pasukan untuk menyerang. Berita ini memberikan efek yang dahsyat pada
Abu Ubaidah dan umat Islam. Dia mengirimkan pesan pada para penguasa
kota-kota yang telah membuat perjanjian, meminta mereka mengembalikan
pembayaran jizyah dan kharaj, dengan satu perintah pada mereka, ‘Kami
kembalikan pada kalian uang kalian yang telah dibayarkan pada kami,
karena adanya berita yang menyebutkan pasukan musuh hendak menyerang
kami, namun, bila Allah memberikan kemenangan pada kami atas musuh, kami
akan menaati janji kami dengan mereka yang terikat perjanjian dengan
kami.’ Ketika hal ini disampaikan pada kaum ahlu dzimmah dan uang mereka dikembalikan, mereka berkata pada umat Islam, “Semoga Tuhan mengembalikan kalian pada kami, dan memberikan kemenangan pada kalian atas mereka!”
Wilayah-wilayah yang Tak Boleh Ditempati Non-Muslim
Non-Muslim tidak diperbolehkan tinggal di Jazirah Arab, karena Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku akan mengusir kaum Yahudi dan Kristen dari Semenanjung Arabia, dan tidak boleh ada yang tinggal di sini kecuali umat Islam” (HR. Muslim)
Yahya meriwayatkan padaku dari Malik dari Ibnu Shihab, bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Tidak boleh ada dua agama di Jazirah Arab.’
(al-Muwaththa). Selain itu, Yahudi tidak boleh tinggal di al-Quds,
karena Ijma para sahabat ketika penandatanganan perjanjian antara Umar
bin Khaththab dengan umat Kristen Iliya (al-Quds) saat dia menyatakan, “Tak seorang Yahudi pun boleh tinggal di Iliya.”
Integrasi Kaum Non-Muslim ke dalam Khilafah
Atas
dasar hal ini, jelas bahwa kaum non-Muslim dapat terintegrasikan dengan
baik dalam masyarakat Islam. Agama-agama Yahudi, Kristen, dan lainnya
hanya memiliki aturan yang membahas masalah manusia dengan Tuhan dan
manusia dengan dirinya sendiri. Dalam dua jenis hubungan tersebut, hukum
Islam memungkinkan non-Muslim untuk mengikuti keyakinan mereka sendiri;
maka, tak ada konflik dengan non-Muslim.
Dalam
hubungan sesama manusia, misalnya dalam hubungan kemayarakatan, kaum
non-Muslim tidak memiliki aturan yang mengatur masalah ini. Karena itu,
mereka harus mengadopsi sebuah sistem untuk kehidupan mereka di
tengah-tengah masyarakat. Sistem Islam, bilamana diterapkan, sejauh ini
merupakan sistem yang paling berhasil dalam mengintegrasikan non-Muslim
ke dalam masyarakat Islam. Berbagai pemberontakan dan perpecahan yang
dilakukan kaum non-Muslim yang hidup di Negara Islam pada zaman dahulu,
seperti kaum Kristen di Yunani dan Libanon, terjadi karena adanya campur
tangan Inggris dan Perancis yang mendukung pemberontakan tersebut
sebagai salah satu upaya menghancurkan Negara Khilafah.
Dengan
melakukan kajian atas peraturan Islam terhadap kaum non-Muslim, kita
dapat melihat bahwa Negara Khilafah bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti
oleh kaum non-Muslim. Khilafah adalah sebuah negara yang akan membawa
mereka keluar dari kegelapan dan penindasan sistem kapitalis, menuju
cahaya dan keadilan Islam. Perlakuan Khilafah pada kaum non-Muslim
semacam inilah yang kemudian membuat banyak orang memeluk agama Islam.
Jumlah orang yang pindah agama sangat besar sekali hingga akhirnya
seluruh suku di Jazirah Arab memeluk Islam. Para penguasa negara pada
masa lalu pun banyak yang menulis surat kepada Khalifah agar menerapkan
Islam atas mereka. Inilah sebabnya mengapa orang Kristen Ashsham
berperang di sisi umat Islam dalam menghadapi serangan Tentara Salib
Eropa yang hendak menyerang negara mereka. Di India pada 1920, bahkan
banyak umat Hindu yang bergabung dengan gerakan Khilafah yang mencoba
mengembalikan tegaknya Negara Khilafah!
إِذَا
جَاء نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ﴿١﴾ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي
دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجاً ﴿٢﴾ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ
إِنَّهُ كَانَ تَوَّاباً ﴿٣﴾
Sumber: hizbut-tahrir.or.id
Facebook Page: www.facebook.com/riska.pratama.ardi