Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam dikenal sebagai sosok yang luar biasa dalam menyambung tali silaturahmi dan persaudaraan. Bahkan, sebagai orang yang paling sempurna dalam hal menyambung dan mempererat tali silaturahmi ini sampai-sampai kaum Quraisy memuji beliau dan memberikan gelar ash-Shadiq dan al-Amin sebelum beliau diangkat menjadi seorang rasul. Khadijah, istri beliau tercinta, menyebut Nabi Muhammad sebagai “orang yang menyambung kekeluargaan dan berkata dengan benar.”
Hal
ini dapat kita lihat sejak dini di masa beliau ditinggal oleh ibu-bapaknya yang
telah meninggal. Sejak kecil beliau sudah melaksanakan hak dan kewajiban
sebagai anak, yaitu berziarah ke makam ibunya. Waktu itu beliau masih berumur
tujuh tahun. Abu Hurairah berkata, “Pernah Rasulullah berziarah ke makam
ibunya, lalu menangis dan membuat orang di sekelilingnya juga menangis karena
tangisnya, kemudian beliau berkata,
‘Aku minta izin kepada Tuhan untuk meminta
ampun atas ibuku, tapi tidak diberi izin. Kemudian aku minta izin untuk
menziarahi makamnya, lalu aku diizinkan. Maka ziarahilah kuburan, karena itu
akan mengingatkan kamu kepada kematian.” (H.R. Tirmidzi)
Betapa
kecintaan beliau sangat dalam kepada kaum kerabat. Betapa beliau sangat
antusias untuk mendakwahi mereka agar masuk Islam dan memberikan mereka jalan
hidayah serta menyelamatkan mereka dari api neraka. Dan beliau rela menanggung
segala risikonya, berupa cacian, dan siksaan secara fisik. Sungguh sebuah
tantangan yang sangat berat.
Dari
Abu Hurairah diceritakan, “Ketika turun ayat ‘Dan peringatkanlah olehmu kaum kerabatmu yang terdekat’ (asy-Syuara: 24), Rasulullah segera
memanggil dan mengumpulkan kaum kerabatnya. Di tengah-tengah mereka, beliau
berkata,
“Wahai Bani (keturunan) Abdi Syams, wahai
Bani Ka’ab, Bani Lu’ay, selamatkan dirimu dari api neraka. Wahai Bani Abdi
Manaf, selamatkan diri kalian dari api neraka! Wahai Bani Hasyim, selamatkanlah
diri kalian dari api neraka! Wahai Bani Abdul Muttalib, jagalah diri kalian
dari siksa neraka! Wahai Fatimah anakku, selamatkan dirimu dari api neraka!
Karena aku tidak bisa membela kalian kelak di hadapan Allah, walau kalian kaum
kerabatku, kecuali aku akan meneteskan air-air kekeluargaan ini semampuku untuk
menjaga hubungan dengan kalian di dunia.’” (H.R. Muslim)
Nabi
Muhammad tidak pernah bosan dan jemu untuk mengajak orang yang paling
dihormatinya, yaitu pamannya Abu Thalib, untuk memeluk Islam. Sampai
detik-detik terakhir menjelang kematian Abu Thalib, Rasulullah masih mengulang
ajakannya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.
Ketika
Abu Thalib di ambang kematian, di sekelilingnya ada Abu Jahal dan Abdullah bin
Abi Umayyah, masuklah Rasulullah untuk mengulangi ajakannya,
“Wahai paman, katakanlah tiada tuhan selain
Allah karena kalimat ini sebagai pembelaanku terhadap paman kelak di hadapan
Allah.”
Abu
Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah langsung menyela, “Abu Thalib, apakah engkau
akan meninggalkan agama nenek moyangmu Abdul Muthalib?” Begitu terus
berulang-ulang sampai akhirnya Abu Thalib terbawa ke dalam keyakinan mereka,
dan meninggal dengan agama nenek moyang. Namun walaupun begitu, seperti yang
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahmad, Rasulullah masih memintakan ampun
kepada Allah atas pamannya. Beliau tidak jemu beristighfar,
“Aku akan terus beristighfar untuk paman
selama aku tidak dilarang oleh Allah.”
Maka
turunlah ayat berikut, “Tidak boleh bagi
seorang nabi dan orang-orang yang beriman, beristighfar untuk orang-orang
musyrik, walaupun mereka adalah kerabat dekat, setelah diketahui bahwa mereka
adalah penghuni neraka Jahannam.” (Qs.
At-Taubah: 113) Juga turun ayat berikut ini, “Sesungguhnya engkau Muhammad, tidak bisa memberi hidayah kepada orang
yang engkau sukai, akan tetapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya.” (Qs. al-Qashash:
56) Maka berhentilah Rasulullah mendo’akan dan beristighfar untuk kaum
kerabatnya.
Inilah
sebagian dari ilustrasi agung, rahmat bagi umat, dan contoh yang pas bagi
loyalitas, dan ketundukannya pada Allah walaupun musibah terjadi menimpa keluarganya
sendiri. Dengarkanlah puisi yang indah tentang Nabi Muhammad berikut ini,
Seorang nabi yang
datang kepada kita
setelah putus asa dan
jeda waktu yang cukup lama
dari rasul-rasul
sebelumnya
dan setelah
berhala-berhala itu disembah di muka bumi.
Sebuah pelita terang
petunjuk kebenaran sejati,
memancarkan sinar
kemilau, bak kilatan cahaya pedang.
Memperingatkan kami
akan api neraka dan
kabar gembira berupa
surga.
Mengajar kami Islam
dan kepada Allah kami bersyukur.
Saya menyarankan agar para membaca juga melihat artikel-artikel lainnya tentang Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam. Hal ini dimaksudkan agar kita lebih mengenal pribadi beliau sehingga tumbuhlah rasa cinta kepada beliau.
Referensi: Abdul Malik Ibnu M. al-Qasim (2000). Sehari di Rumah Rasulullah. Jakarta: Gema Insani
Referensi: Abdul Malik Ibnu M. al-Qasim (2000). Sehari di Rumah Rasulullah. Jakarta: Gema Insani
Referensi Blog: www.lampuislam.blogspot.com
facebook Page: www.facebook.com/riska.pratama.ardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar