Berwisata ke rumah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam dan melihat dari dekat kehidupan pribadi dan cara beliau bersosialisasi dengan orang lain adalah sesuatu yang menyenangkan. Di samping mendapat pelajaran yang berharga, kita akan memperoleh pahala. Mengapa? Karena kita tidak sekadar bersantai, melainkan nuansa wisata ini sarat dengan wejangan, nasihat, teladan, dan petunjuk.
Wisata
ini maksudnya adalah dengan membaca beberapa kitab yang mencakup beberapa
keterangan yang sahih (benar) dari para Sahabat yang bisa dipercaya. Jadi,
sumbernya jelas.
Ada
hadits yang melarang berwisata kecuali ke tiga tempat, yaitu Masjidil Haram
(Mekkah), Masjid al-Aqsha (Palestina), dan Masjid Nabawi (Madinah). [1] Akan
tetapi, dalam konteks ini kiranya kita sama-sama maklum bahwa rumah Nabi
Muhammad berada di samping (satu tembok) masjid beliau yang terkenal dengan
nama Masjid Nabawi di Madinah. Kehidupan Nabi Muhammad sehari-hari di dalam
rumah pun banyak diriwayatkan oleh para Sahabat.
Dalam
wisata ini, kita tidak bermaksud mengkultuskan dan menuhankan
peninggalan-peninggalan Rasulullah berupa benda seperti sendal, baju, dan
sebagainya. Karena, selain benda tersebut sudah tidak ada, khawatir akan
terjadi pemujaan benda seperti yang terjadi pada masa jahiliah. Ibnu Wadhdhah
berkata, “Khalifah Umar ibnul Khaththab radiyallahu ‘anhu pernah memerintahkan
untuk memotong dan membakar kayu yang di bawahnya pernah terjadi “Ba’iatur Ridhwan” (tempat Nabi Muhammad
diba’iat untuk berperang melawan kafir Quraisy, yang waktu itu menawan Utsman
bin Affan dalam proses perdamaian Hudaibiyah). Mengapa? Karena kalau tidak
dipotong, kayu itu tetap didatangi orang untuk shalat, berdo’a, dan sebagainya
sehingga menimbulkan fitnah. [2]
Dalam
hal ini, Ibnu Taimiyah pernah berkomentar tentang Gua Hira, “Sebelum Nabi
Muhammad diangkat menjadi rasul, beliau sering menyendiri disana. [3] Dan
disanalah wahyu pertama turun. Namun setelah wahyu turun, beliau tidak pernah
lagi kesana, baik untuk mengingat dan mengenang, maupun untuk maksud lain.
Sekalipun beliau tinggal di Mekkah setelah wahyu pertama turun selama 11 tahun,
para Sahabat dan keluarganya tidak pernah mendatangi tempat itu. Begitu pula umat
Muslim pengikut beliau setelah hijrah. Pada waktu umrah Hudaibiyah, penaklukkan
Mekkah, dan umrah Ji’ranah, beliau tidak pernah pergi ke Gua Hira lagi...” [4]
Mari
kita mulai wisata syari’iyyah ini. Di depan mata kita, terbentang luas “Madinah
Nabawiyah” atau kota Nabi. Dahulu ia bernama Yatsrib. Setelah Rasulullah pindah
dari Mekkah ke kota ini, beliau menggantinya dengan “Madinah” yang berarti kota
atau tempat peradaban.
Di
Madinah, yang paling dahulu tampak dari jauh adalah Gunung Uhud yang bersejarah
itu. Inilah gunung yang oleh Nabi Muhammad dicap sebagai “hazdaa jabalun yuhibbuna wanuhibbuhu”, (inilah gunung yang kita
senangi dan ia menyenangi kita).
Mari
kita mendekat. Di samping sebelah timur Masjid Nabawi, tampak sebuah bangunan
yang akan membuat kita takjub karena kesederhanaannya, yaitu tempat tinggal
seorang rasul agung.
Jangan
heran bila kita melihat tempat tinggal yang ukurannya sangat kecil dan
sederhana, dengan hamparan tikar yang usang dan nyaris tanpa perabot. Sebab,
yang tinggal di rumah ini adalah imam para zahid yang tidak butuh dunia kecuali
sebagai sarana dan tidak silau oleh gemerlap harta. Bahkan, dunia dan seisinya
dijadikan penyejuk hatinya dalam shalat. (H.R.
Imam Nasa’i)
Komentar
Rasulullah tentang harta dunia,
“Untuk apa dunia bagiku, hubunganku dengan
dunia tidak lain hanyalah seperti seorang pengembara di hari yang terik.
Berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya.” (H.R. Tirmidzi)
Telah
kita lalui rumah Rasulullah yang pintunya senantiasa terbuka bagi siapapun.
Mari kita lanjutkan napak tilas kita di lorong-lorong Madinah yang lain.
Setelah melangkah dari rumah Rasulullah, tampak deretan rumah-rumah petak yang
berdampingan dengan rumah beliau, dibangun dari tanah liat dan batu-batu yang
tersusun. Atapnya dari pelepah kurma, berhimpit satu sama lain. Inilah rumah
istri-istri beliau, pendamping setia di kala suka maupun duka.
Hasan
bin Ali, cucu beliau, pernah menceritakan keadaan rumah-rumah petak ini, “Aku
pernah masuk ke dalam rumah istri-istri Rasulullah sewaktu khalifah Utsman
memerintah, dan aku bisa menyentuh atapnya (yang terbuat dari rumbia kurma)
dengan tanganku. [5]
Saya menyarankan agar para membaca juga melihat artikel-artikel lainnya tentang Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam. Hal ini dimaksudkan agar kita lebih mengenal pribadi beliau sehingga tumbuhlah rasa cinta kepada beliau.
Referensi: Referensi: Abdul Malik Ibnu M. al-Qasim (2000). Sehari di Rumah Rasulullah. Jakarta: Gema Insani
Referensi blogg: www.lampuislam.blogspot.com
facebook page: www.facebook.com/riska.pratama.ardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar