Selasa, 19 Januari 2016

BERWISATA KE RUMAH NABI MUHAMMAD SAW

 
Berwisata ke rumah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam dan melihat dari dekat kehidupan pribadi dan cara beliau bersosialisasi dengan orang lain adalah sesuatu yang menyenangkan. Di samping mendapat pelajaran yang berharga, kita akan memperoleh pahala. Mengapa? Karena kita tidak sekadar bersantai, melainkan nuansa wisata ini sarat dengan wejangan, nasihat, teladan, dan petunjuk.
Wisata ini maksudnya adalah dengan membaca beberapa kitab yang mencakup beberapa keterangan yang sahih (benar) dari para Sahabat yang bisa dipercaya. Jadi, sumbernya jelas.

Ada hadits yang melarang berwisata kecuali ke tiga tempat, yaitu Masjidil Haram (Mekkah), Masjid al-Aqsha (Palestina), dan Masjid Nabawi (Madinah). [1] Akan tetapi, dalam konteks ini kiranya kita sama-sama maklum bahwa rumah Nabi Muhammad berada di samping (satu tembok) masjid beliau yang terkenal dengan nama Masjid Nabawi di Madinah. Kehidupan Nabi Muhammad sehari-hari di dalam rumah pun banyak diriwayatkan oleh para Sahabat.
Dalam wisata ini, kita tidak bermaksud mengkultuskan dan menuhankan peninggalan-peninggalan Rasulullah berupa benda seperti sendal, baju, dan sebagainya. Karena, selain benda tersebut sudah tidak ada, khawatir akan terjadi pemujaan benda seperti yang terjadi pada masa jahiliah. Ibnu Wadhdhah berkata, “Khalifah Umar ibnul Khaththab radiyallahu ‘anhu pernah memerintahkan untuk memotong dan membakar kayu yang di bawahnya pernah terjadi “Ba’iatur Ridhwan” (tempat Nabi Muhammad diba’iat untuk berperang melawan kafir Quraisy, yang waktu itu menawan Utsman bin Affan dalam proses perdamaian Hudaibiyah). Mengapa? Karena kalau tidak dipotong, kayu itu tetap didatangi orang untuk shalat, berdo’a, dan sebagainya sehingga menimbulkan fitnah. [2]
Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah pernah berkomentar tentang Gua Hira, “Sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul, beliau sering menyendiri disana. [3] Dan disanalah wahyu pertama turun. Namun setelah wahyu turun, beliau tidak pernah lagi kesana, baik untuk mengingat dan mengenang, maupun untuk maksud lain. Sekalipun beliau tinggal di Mekkah setelah wahyu pertama turun selama 11 tahun, para Sahabat dan keluarganya tidak pernah mendatangi tempat itu. Begitu pula umat Muslim pengikut beliau setelah hijrah. Pada waktu umrah Hudaibiyah, penaklukkan Mekkah, dan umrah Ji’ranah, beliau tidak pernah pergi ke Gua Hira lagi...” [4]
Mari kita mulai wisata syari’iyyah ini. Di depan mata kita, terbentang luas “Madinah Nabawiyah” atau kota Nabi. Dahulu ia bernama Yatsrib. Setelah Rasulullah pindah dari Mekkah ke kota ini, beliau menggantinya dengan “Madinah” yang berarti kota atau tempat peradaban.
Di Madinah, yang paling dahulu tampak dari jauh adalah Gunung Uhud yang bersejarah itu. Inilah gunung yang oleh Nabi Muhammad dicap sebagai “hazdaa jabalun yuhibbuna wanuhibbuhu”, (inilah gunung yang kita senangi dan ia menyenangi kita).
Mari kita mendekat. Di samping sebelah timur Masjid Nabawi, tampak sebuah bangunan yang akan membuat kita takjub karena kesederhanaannya, yaitu tempat tinggal seorang rasul agung.
Jangan heran bila kita melihat tempat tinggal yang ukurannya sangat kecil dan sederhana, dengan hamparan tikar yang usang dan nyaris tanpa perabot. Sebab, yang tinggal di rumah ini adalah imam para zahid yang tidak butuh dunia kecuali sebagai sarana dan tidak silau oleh gemerlap harta. Bahkan, dunia dan seisinya dijadikan penyejuk hatinya dalam shalat. (H.R. Imam Nasa’i)
Komentar Rasulullah tentang harta dunia,
Untuk apa dunia bagiku, hubunganku dengan dunia tidak lain hanyalah seperti seorang pengembara di hari yang terik. Berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya.” (H.R. Tirmidzi)
Telah kita lalui rumah Rasulullah yang pintunya senantiasa terbuka bagi siapapun. Mari kita lanjutkan napak tilas kita di lorong-lorong Madinah yang lain. Setelah melangkah dari rumah Rasulullah, tampak deretan rumah-rumah petak yang berdampingan dengan rumah beliau, dibangun dari tanah liat dan batu-batu yang tersusun. Atapnya dari pelepah kurma, berhimpit satu sama lain. Inilah rumah istri-istri beliau, pendamping setia di kala suka maupun duka.
Hasan bin Ali, cucu beliau, pernah menceritakan keadaan rumah-rumah petak ini, “Aku pernah masuk ke dalam rumah istri-istri Rasulullah sewaktu khalifah Utsman memerintah, dan aku bisa menyentuh atapnya (yang terbuat dari rumbia kurma) dengan tanganku. [5]
Sebuah rumah yang sangat sederhana, tetapi sarat dengan keimanan dan ketaatan, penuh dengan wahyu dan risalah.

Saya menyarankan agar para membaca juga melihat artikel-artikel lainnya tentang Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam. Hal ini dimaksudkan agar kita lebih mengenal pribadi beliau sehingga tumbuhlah rasa cinta kepada beliau.

Referensi: Referensi: Abdul Malik Ibnu M. al-Qasim (2000). Sehari di Rumah Rasulullah. Jakarta: Gema Insani 
Referensi blogg: www.lampuislam.blogspot.com 
facebook page: www.facebook.com/riska.pratama.ardi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar