Jumat, 05 Juni 2015

Kebebasan yang Destruktif



Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal
Bebas, bebas, lagi-lagi tentang kebebasan. Memang kebebasan itu topik yang menarik. Kali ini saya ingin mengeksplorasi tema tentang kebebasan, dan aspek-aspek destruktif di dalamnya. Apakah kebebasan selalu destruktif? Tidak juga. Masalah muncul karena kebebasan tidak bisa membatasi dirinya sendiri. Apakah manusia punya kebebasan dalam menentukan nasibnya sendiri? Jawabannya ya dan tidak. Ya, dalam artian memang manusia diberikan hak dan kemampuan untuk memilih. Tidak, dalam artian bahwa pada hakikatnya Allah s.w.t telah menjelaskan yang haq untuk dipilih dan yang bathil untuk ditinggalkan. Dengan kata lain, manusia bisa saja memilih yang bathil, namun kelak akan dipertanggungjawabkan. Dalam pertanggungjawaban itu, yang haq takkan jadi bathil dan yang bathil takkan jadi haq. Biasanya manusia mengalami ilusi karena tidak bisa 'melepaskan diri' dari dunia ini.

Kata “dunia” dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa arab “dunya” yang artinya “yang dekat”. Mengapa orang tertipu dengan dunia? Ya karena ia dekat. Akhirat itu jauh, makanya banyak yang lupa. Karena dunia ini dekat dan ada di hadapan mata, maka ada yang menyangka bahwa dunia inilah satu-satunya realitas. Akibatnya, eksistensi kerap kali disalahpahami sebagai kebenaran. Sederhananya, keberadaan sesuatu dianggap sebagai justifikasinya.
Dalam paham pluralisme agama, misalnya, terutama bagi penganut tren Hikmah Abadi, logika ini juga digunakan. Mereka katakan, “jika agama-agama lain itu bathil, maka mengapa Allah membiarkannya ada selama ribuan tahun?” Mungkin mereka lupa bahwa Iblis pun ada, padahal ia dipandang sebagai makhluk yang kafir dan zalim oleh Allah. Artinya, hanya karena sesuatu itu ada (exist), tidak berarti hal itu dapat dibenarkan. Logika semacam ini sejalan – anehnya – dengan logika sebagian kaum ateis. Mereka berkata, “Kalau Tuhan itu ada, kenapa ada peperangan, penderitaan dan sebagainya di dunia?” Mungkin itulah sebabnya mengapa liberalis yang pluralis, walau mengaku beragama, tapi dekat dengan orang-orang ateis. Logikanya mirip. Demikianlah orang-orang yang tertipu dengan dunia, atau menganggap bahwa dunia ini satu-satunya realitas.
Belum lama ini ada diskusi di UNJ tentang LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) dipandang dari sisi sosiologis. Salah satu pembicaranya adalah Guntur Romli (Tokoh Jaringan Islam Liberal). Teman-teman dari Indonesia Tanpa JIL kenal betul siapa dia. Banyak yang bertanya kepada saya, sederhananya begini: “Apa kesalahan fundamental dalam acara tersebut?” Persoalannya terletak pada pisau analisisnya, yaitu sosiologi, yang menurut saya tidak pas. Masalahnya apa? Ya, karena hanya melihat realita yang eksis, maka sosiologi tidak bisa bicara soal kebenaran. Apakah LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) itu benar? Kalau pisau analisisnya adalah sosiologi, maka jawabannya: “LGBT itu ADA!” Tapi ADA belum tentu BENAR. Kita butuh pisau analisis lain untuk bicara soal kebenaran.
Bagi seorang Muslim, tentu mengukur kebenaran adalah lewat agama, yaitu Islam itu sendiri. Dan agama memang alat paling tepat untuk membicarakan kebenaran. Karena hanya dalam agamalah terdapat konsep iman. Apa iman itu? Kata “iman” seakar kata dengan “amanah”. Ada kaitannya dengan ‘rasa aman’. Yup, iman itu keyakinan yang tidak dikotori oleh keraguan, dan karenanya menimbulkan rasa aman bagi pemiliknya. Kalau masih ragu-ragu dan gelisah, ya bukan iman namanya. Ini bukan sikap kritis yang tepat. Jadi gak boleh kritis? Ya boleh. Tapi kalau belum yakin, ya jangan mengaku sudah beriman.
Kembali pada masalah kebenaran, soal LGBT semestinya kita nilai dengan agama, bukan dengan sosiologi. Dalam agama Islam, sudah jelas LGBT itu salah. Yang membahas sudah banyak, jadi gak akan saya bahas lagi di artikel ini. Satu lagi keanehan dari seminar ‘LGBT dari sisi sosiologis’, yaitu bahwa pisau analisisnya gak konsisten. Menurut catatan yang saya dapat dari peserta seminar tersebut, salah seorang nara sumbernya adalah pelaku LGBT. Nah, orang ini, bukannya membahas dari sisi sosiologis, malah mengutip Al-Qur’an melulu. Tafsirnya ya sesukanya lah. Tabiat orang sekuler ya seperti itu. Agama dipakai seenaknya, tapi seringnya sih dilupakan saja. Dalam politik, orang-orang sekuler juga begitu kan? Biasanya anti agama, tapi untuk merebut suara kadang-kadang bergaya agamis juga :)
Kembali pada topik tentang kebebasan. Karena manusia bisa 'bebas' di dunia, lantas mereka menyangka semuanya itu boleh/benar. Makanya Ulil Abshar Abdalla (Tokoh Jaringan Islam Liberal) pernah ‘menantang’ begini. Dangkal kan logikanya?


Ya begitulah imajinasi mereka tentang Allah. Sebenarnya mereka tidak paham agama. Atau tidak mau paham. Orang-orang yang ingin bebas ini, atau yang tidak paham hakikat kebebasan, pada akhirnya akan merusak. Bagi mereka, aturan ada untuk dilanggar. Bahkan akal akan dikerahkan untuk mencari pembenaran. Lalu mereka sebutlah “akal bebas”, padahal ini kontradiktif. ‘Aql (akal) adalah potensi intelektual manusia. Apakah akal membebaskan manusia? Tentu tidak! Orang-orang berakal justru berpikir dan bertindak lebih teratur. Ada kaidahnya. Tidak asal, atau random saja. Siapa yang berperilaku random? Hmmmm.... orang tak berakal, alias gila, mungkin?
Prof. Al-Attas, cendekiawan Malaysia, menjelaskan bahwa manusia jelas berbeda dengan hewan dalam beberapa aspek penting. Salah satu perbedaannya adalah: manusia punya kemampuan untuk bertindak sesuai prinsip yang dianutnya. Itulah manusia. Hidupnya menjadi berarti karena memiliki prinsip. Itulah sebabnya banyak manusia yang mengorbankan jiwanya untuk hal-hal yang dianggapnya penting. Misalnya, orang mati karena menyelamatkan anaknya, atau membela negara, atau membela agama. Mengapa nyawanya yang sangat berharga mau dilepasnya? Ya, karena adanya prinsip. Bukan tindakan asal saja.
Manusia pun bukan hewan yang hanya bertindak menuruti insting dan kebutuhan jasadnya saja. Jika menginginkan kesenangan pribadi saja, tentu takkan ada manusia yang mau berkorban. Itulah manusia, selalu berprinsip. Bahkan yang mengaku bebas pun sebenarnya berprinsip juga. Yang mengatakan ‘semua benar’ toh juga menyalah-nyalahkan orang lain. Karena diam-diam dia punya prinsip. Pernyataan seperti dibawah ini, walau kelihatan gagah, tapi apa mungkin?
 
Apa iya ada orangtua yang membiarkan anaknya ‘bebas nilai’ atau membiarkan mereka memilih segalanya sendiri? Bagaimana kalau anaknya memutuskan untuk tidak mengakui orangtuanya lagi? Apa akan dibiarkan juga? Kalau mengingkari Allah boleh, kenapa mengingkari orangtua gak boleh? Ini bukan bebas, tapi prinsipnya ‘beda’. Membiarkan manusia bebas tanpa nilai, aturan dan prinsip, pada dasarnya membiarkan mereka berhenti jadi manusia. Agama melarang LGBT, lalu mau beralasan apa? Karena LGBT itu kecenderungan alamiah? Berikutnya, kaum pedofili pun akan menggunakan argumen yang sama. Mereka juga merasa kecenderungan ini alamiah.
Baik LGBT maupun pedofili sama-sama menular. Orang tua yang ingin melindungi anak-anaknya kini berada di bawah tekanan. Kaum LGBT terus menuntut pengakuan dan ingin ‘tampil’, padahal orangtua ingin menjaga anak-anaknya. LGBT dan yang semacamnya muncul terus-menerus di film-film dan layar televisi. Apa semua orangtua rela anaknya dipengaruhi? “Kalau gak suka ya jangan nonton!” Ya, tapi kita bicara soal anak-anak. Apa mereka bisa memutuskan segalanya sendiri? Bahkan masyarakat liberal pun tidak menganggap anak-anak mampu memutuskan segalanya sendiri. Itulah manusia. Tidak mungkin membebaskan manusia sebebas-sebebasnya. Selalu ada aturan, kalau tidak ada aturan, jadilah binatang. Tapi anehnya, ada juga yang menganggap manusia tidak berbeda dengan binatang.
Demikianlah sedikit brainstorming tentang topik kebebasan. Masih banyak yang belum dibahas. Bagaimanaapun artikel ini harus diakhiri. Takut kepanjangan dan melebar kemana-mana. Semoga Allah selalu melimpahkan petunjuk-Nya kepada kita. Aamiin...
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar