Para kafir harby sering kali menuduh Ayat Alqur’an tidak ilmiah
berkaitan dengan anggapan bahwa menurut Alqur’an bumi itu datar. Berikut
ini dalil Alqur’an yang biasa mereka pakai:
ARGUMEN PERTAMA:
firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al-Qur’an surat Al-Hijr: 19,
“Dan Kami (Allah) telah menghamparkan bumi….”. Nah lihatlah, kata
mereka, bukankah ayat ini dengan gamblang telah menjelaskan bahwa bumi
itu terhampar, dan tidak dikatakan bulat…! Kemudian mereka pun dengan
enteng mengkafirkan semua orang yang berseberangan faham dengan mereka.
ARGUMEN KEDUA:
adalah firman Allah pada surat Al-Baqarah: 22, “Dialah (Allah) yang telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan (firasy) bagimu.”
ARGUMEN KETIGA:
adalah firman Allah pada surat Qaf:7, “Dan Kami hamparkan bumi itu
dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan
padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata…”
ARGUMEN KEEMPAT:
adalah firman Allah pada surat An-Naba 78: 6-7, “Bukankah Kami telah
menjadikan bumi itu sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak?
ARGUMEN KELIMA
adalah firman Allah pada surat Al-Ghasyiyah : 20, “Dan bumi bagaimana dihamparkan ?”Memang secara tekstual, bunyi ayat-ayat di atas mengatakan bahwa bumi
ini terhampar, seumpama firasy, karpet, atau tempat tidur. Namun,
apakah sesederhana itu sajakah memahamkan ayat Al-Qur’an….? Apakah
memahamkan al-Qur’an yang agung cukup secara tekstual saja, kemudian
mengabaikan arti kontekstualnya…? Kalau demikian, yakni Al-Qur’an hanya
difahamkan secara tekstual saja, maka pasti akan hilanglah kehebatan dan
keagungan Al-Qur’an itu. Padahal ada banyak ayat suci Al-Qur’an dan
hadis yang mendudukkan derajat orang-orang berpengetahuan berada
beberapa tingkat di atas orang awam. Dalam hal ini, pemahaman
kontekstual jelas memerlukan daya nalar yang lebih tinggi dibandingkan
sekedar pemahaman tekstual saja. Dengan demikian, pantaslah kiranya jika
Allah dalam Al-Qur’an dan Nabi dalam banyak hadis beliau, memuji dan
menyatakan bahwa orang yang berilmu pengetahuan, yang memakai akal dan
nalar, memiliki derajat yang tinggi jauh berbeda dengan orang awam.
JAWABAN
Pada surat Al-Hijr ayat 19 dikatakan bahwa Allah telah menghamparkan
bumi. Disitu tidak ada dikatakan bagian yang dihamparkan adalah bagian
bumi tertentu, tetapi yang terhampar adalah bumi secara mutlak. Sehingga
dengan demikian, jika kita berada di suatu tempat di bagian manapun
dari pada bumi itu (selatan, barat, utara, dan timur), maka kita akan
melihat bahwa bumi itu datar saja, SEOLAH-OLAH TERHAMPAR di hadapan
kita. Kemudian jika kita berjalan dan terus berjalan dengan mengikuti
satu arah yang tetap, maka bumi itu akan terus menerus kita dapati
terhampar di hadapan kita sampai suatu saat kita kembali ke tempat
semula saat awal berjalan. Hal ini telah jelas membuktikan bahwa justru
bumi itu bulat adanya. Sebaliknya, jika saja bumi itu berbentuk kubus,
misalnya, maka pasti hamparan itu suatu saat akan terpotong, dan kita
akan menuruni suatu bagian yang menjurang, menurun, TIDAK LAGI
TERHAMPAR…..!
Selanjutnya, jika bumi itu adalah sebuah hamparan seperti karpet atau
tikar, maka jika ada orang yang melakukan perjalanan lurus satu arah
secara terus menerus, maka orang itu pada akhir perjalanannya akan
sampai pada ujung bumi yang terpotong, dan tidak akan pernah kembali ke
tempatnya semula, di mana dia memulai perjalanannya yang pertama dulu.
Penelitian dan pengalaman manusia telah membuktikan bahwa perjalanan
yang dilakukan secara terus menerus ke satu arah tertentu tidak pernah
menemukan ujung dunia yang terpotong, melainkan terus menerus yang
ditemukan hanyalah hamparan demi hamparan di tanah yang dilalui, untuk
kemudian perjalanan itu berakhir pada tempat semula saat perjalanan
pertama dimulai. Hal ini tidak mungkin dapat terjadi jika saja bumi itu
tidak bulat keberadaannya.
Penjelasan yang lebih gamblang adalah pada surat Al-Baqarah ayat 22: “
Dia (Allah) yang telah menjadikan bumi itu firasy (hamparan, kapet)
BAGIMU ……” Perhatikan kata-kata “bagimu”. Al-Qur’an dalam hal ini, tidak
sekedar mengatakan bahwa bumi itu hamparan umpama karpet saja, kemudian
berhenti pada kalimat itu, tapi ada kata tambahan lain yaitu “bagimu”.
Artinya, bagi kita manusia yang tinggal di atas permukaan bumi ini, bumi
terasa datar. Walaupun, bumi itu pada kenyataannya adalah tidak datar.
Hanya TERASA DATAR bagi kita manusia. Terasa datar bukan berarti
benar-benar datar, bukan….?
Penjelasan kata “karpet (firasy)” bagimu bukankah bisa diartikan
sebagai sesuatu yang berfungsi untuk diduduki atau dipakai tidur, dengan
aman dan nyaman…?. Kata firasy dalam bahasa Indonesia dapat diartikan
karpet, atau ranjang adalah sesuatu yang nyaman dan aman dan dipakai
untuk tidur. Nampaknya arti seperti ini dapat dipakai, sebab keberadaan
struktur bumi ini memang berlapis-lapis. Bagian intinya sangat panas
dengan suhu ribuan derajat celcius yang mematikan. Namun demikian, pada
bagian LAPISAN YANG PALING ATAS, ada sebuah lapisan keras setebal 70
kilometer, disebut lapisan kerak bumi yang paling aman dan nyaman,
dengan suhu yang aman pula bagi kehidupan. Seolah-olah lapisan bumi
bagian atas itu adalah ‘karpet’ atau ‘ranjang’ yang terbentang luas dan
melindungi manusia serta seluruh makhluk Allah yang berada di atasnya,
aman dari bahaya lapisan bumi bagian dalam yang cair, yang sangat panas
lagi mematikan itu.
Kemudian dalam QS.Qaf:7, “Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami
letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya
segala macam tanaman yang indah dipandang mata…”
Perhatikan gambaran bumi dalam ayat lainnya:
waal-ardha ba’da dzaalika dahaahaa
[79:30] Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.
tejemahan bahasa Indonesia kembali menyaakan kata ini dengan ‘hamparan’.
Lalu ketika Al-Qur’an menyebut kata ‘al-ardha‘ atau ‘al-ardhi‘
yang diterjemahkan menjadi ‘bumi’, bisa juga merujuk kepada ‘permukaan
bumi’ atau lapisan bumi paling luar tempat kita berpijak, lihat ayat ini
:
walakum fii al-ardhi mustaqarrun wamataa’un ilaa hiinin
[2:36] dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.”
wa-idzaa tawallaa sa’aa fii al-ardhi liyufsida fiihaa wayuhlika alhartsa waalnnasla waallaahu laa yuhibbu alfasaada
[2:205] Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi
untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan
binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan
Ayat-ayat tersebut merupakan sinyal-sinyal ilmiah dari Al-Qur’an
tentang proses pembentukan kulit bumi, tempat kita berpijak, disitu ada
indikasi terjadinya proses yang berangsur-angsur, mulai dari sedikit
lalu meluas menjadi seperti permukaan bumi yang ada sekarang, ibarat
orang menggelar/menghamparkan permadani..
Kata ‘farsya’ juga diartikan sebagian para ulama
dengan ‘alas’ atau ‘tunggangan’. Sebagian ulama tafsir mengartikan
sebagai ‘yang disembelih’, dalam hal ini adalah terkait dengan kambing,
domba dan sapi (lihat Tafsir Al-Mishbah – Quraish Shihab). Ini
menjelaskan bahwa hewan yang diembelih tersebut bisa dimanfaatkan,
misalnya kulitnya sebagai alas untuk tempat duduk.
wamina al-an’aami hamuulatan wafarsyan
[6:142] Dan di antara hewan ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih.
Ini dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an yang lain :
waallaahu ja’ala lakum min buyuutikum sakanan waja’ala lakum
min juluudi al-an’aami buyuutan tastakhiffuunahaa yawma zha’nikum
wayawma iqaamatikum wamin ashwaafihaa wa-awbaarihaa wa-asy’aarihaa
atsaatsan wamataa’an ilaa hiinin
[16:80] Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat
tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari
kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu
berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu
domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan
(yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).
Maka lagi-lagi kata ‘farasy’ dalam ayat tersebut
tidak mengandung unsur ‘datar’ melainkan ‘alas tempat duduk’. Tentu saja
suatu yang dihamparkan/digelar/dibentangkan akan membentuk sesuai
tempat dimana dia dihamparkan, hamparan akan berbentuk melengkung kalau
dasar tempatnya juga melengkung, hamparan akan berbentuk datar kalau
dasar tempatnya juga datar..
Kata tersebut juga dipakai dalam ayat lain :
muttaki-iina ‘alaa furusyin bathaa-inuhaa min istabraqin wajanaa aljannatayni daanin
[55:54] Mereka bertelekan di atas permadani yang sebelah dalamnya dari sutera. Dan buah-buahan di kedua syurga itu dapat (dipetik) dari dekat.
wafurusyin marfuu’atin
[56:34] dan kasur-kasur yang tebal lagi empuk.
Ayat tersebut juga tidak menyinggung tentang suatu bidang yang datar, tapi mengenai suatu benda yang ‘dibentangkan‘ untuk tempat duduk-duduk atau istirahat.
al’farasyi’ dalam ayat ini diartikan sebagai ‘anai-anai/laron’ yang baru lahir sehingga posisi mereka bertumpuk-tumpuk bergerak makin lama makin meluas, maka kata ini diikuti dengan ‘al-mabtsuutsi’
= bertebaran, menyebar makin lama makin luas, dalam kalimat ini juga
tidak ada korelasi antara kata ‘faraasyi’ dengan datar, melainkan
menjelaskan sesuatu yang berkembang meluas. Bisa dilihat dalam ayat ini :
yawma yakuunu alnnaasu kaalfaraasyi almabtsuutsi
[101:4] Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran,
Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu;
karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal
kamu mengetahui.
alladzii ja’ala lakumu al-ardha firaasyan
[2:22] Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu
Farasya = ‘fa-ra-syin’
Kata tersebut berasal dari kata ‘farasya’ yang berarti : to spread out, extend, stretch forth, furnish = menghampar, mempunyai kata turunan : furusy (berbentuk jamak, bentuk tunggalnya :firasy). Kata ‘firasy’
berarti : hamparan yang biasanya digunakan untuk duduk atau berbaring.
Dari situ kata tersebut juga bisa diartikan : permadani, kasur atau
ranjang. Dalam kalimat ini tidak ada kaitan sesuatu yang terhampar
dengan ‘datar’.
Ketahuilah wahai saudaraku seiman, bahwa bumi yang kita tempati ini
berbentuk bulat menurut kesepakatan para ulama. Hal ini mereka nyatakan
jauh-jauh hari sebelum para ilmuwan barat menyatakan hal ini. Berkata
Imam Ibnu Hazm dalam Al-Fishal fil Milal wan Nihal (2/97) : Pasal
penjelasan tentang bulatnya bumi. Tidak ada satupun dari ulama kaum
muslimin semoga Allah meridlai mereka- yang mengingkari bahwa bumi itu
bulat, dan tidak dijumpai bantahan atau satu kalimat pun dari salah
seorang dari mereka, bahkan al-Quran dan as-Sunnah telah menguatkan
tentang bulatnya bumi.
Hal senada pernah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan
menukil perkataan Imam Abul Husain Ahmad bin Jafar bin Munadi salah
seorang ulama Hanabillah yang sangat masyhur di zamannya- berkata :
Demikianlah juga para ulama sepakat bahwasanya bumi dengan segala
gerakannya, baik di darat maupun di laut itu bulat [Lihat Majmu Fatawa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 25/159] Dan Syaikhul Islam pun menukil
adanya ijma para ulama mengenai hal ini dari Imam Ibnu Hazm dan Abul
Faraj Ibnul Jauzi. [Lihat Majmu Fatawa 6/586]
Berkata Imam Ibnu Hazm : Kita katakan kepada orang yang tidak
memahami masalah ini : Bukankah Allah mewajikan kepada kita untuk shalat
Dzuhur apabila matahari telah bergeser ke arah barat (zawal)? Pasti dia
akan menjawab : Ya. Lalu tanyakan kepadanya tentang makna bergesernya
matahari ke arah barat, pasti jawabannya adalah bahwa matahari telah
berpindah dari tempat pertengahan jarak antara waktu terbitnya dengan
waktu tenggelamnya, dan ini terjadi di semua waktu dan semua tempat.
Maka orang yang mengatakan bahwa bumi itu datar dan tidak bulat dia
harus mengatakan bahwa orang yang tinggal di daerah bumi paling timur
harus shalat Dhuhur saat matahari barusan terbit, juga orang yang
tinggal di daerah paling barat tidak menjalankan shalat Dhuhur kecuali
di pengunjung siang dan ini adalah sesuatu yang sudah keluar dari
ketetapan syariat Islam [Lihat Al-Fishal 2/87 dengan diringkas)
Adapun firman Allah. Artinya : Dan bumi bagaimana dihamparkan?
{Al-Ghasyiyah [88] : 20] Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa
bumi itu datar, karena sebuah benda yang bulat kalau semakin besar, maka
akan semakin tidak kelihatan bulatnya dan akan nampak seperti datar.
[Lihat Hidayatul Hairan Fi Masalatid Daurah oleh Syaikh Abdul karim
Al-Humaid hal. 56]
Berkata Syaikh Bin Baz : Keberadaan bumi itu bulat tidak bertentangan
dengan bahwa permukaan bumi itu datar yang layak untuk dijadikan tempat
tinggal, sebagaimana firman Allah Taala. Artinya : Dialah yang
menjadikan bumi sebagai hamparan [Al-Baqarah [2] ; 22]
Juga firmanNya. Artinya : Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu
sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak? [An-Naba [78] : 6-7]
Artinya : Dan bumi bagaimana dihamparkan ? [Al-Ghasyiyah [88] : 20]
Kesimpulannya, bumi itu bentuknya bulat namun permukaannya datar agar
bisa dijadikan tempat tinggal dan dimanfaatkan oleh manusia. Dan saya
tidak menemukan dalil naqli dan hissi yang menentang masalah ini [Lihat
Al-Adilah An-Naqliyah wal Hissiyah oleh Syaikh Ibnu Baz hal. 103]
LANGITPUN BULAT
Adapun mengenai keberadaan bahwa langit itu bulat, maka ini pun
sesuatu yang telah disepakati oleh para ulama Islam. Berkata Imam Ibnu
Katsir : Imam Ibnu Hazm, Ibnul Munadi dan Ibnu Jauzi serta para ulama
lainnya telah menukil adanya ijma bahwa langit itu bulat [Lihat
Al-bidayah wan Nihayah 1/69 tahqiq DR Abdullah At-Turki, lihat juga
Al-Fishal 1/97-100]
Dan ini pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : Telah
kami jelaskan bahwa langit itu bulat menurut para ulama dari kalangan
sahabat dan tabiain, bahkan tidak hanya satu orang ulama yang mana
mereka adalah orang paling mengetahui tentang riwayat menyatakan bahwa
langit itu bulat, seperti Abul Husain bin Munadi, Ibnu Hazm dan Ibnul
Jauzi [Majmu Fatawa 25/195]
Dalil mengenai masalah ini sangat banyak, di antaranya adalah firman
Allah Artinya : Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan
malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada
garis edarnya [Yasin [36] : 40] Berkata Hasan Al-Bashri bahwa maksudnya
adalah berputar, berkata Ibnu Abbas : Berputar pada falak seperti falkah
mighzal Falkah mighzal adalah kayu berbentuk bulat yang digunakan untuk
menenun kain. Juga firman Allah. Artinya : Dan Kami jadikan langit itu
sebagai atap yang terjaga [Al-Anbiya : [21] : 32]
Keberadaan langit sebagai atap bumi, sedangkan bumi itu bulat maka
langit pun bulat. Berkata Syaikhul Islam ibnu Taimiyah : “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhabarkan bhawa Arsy itu seperti
kubah, dan ini adalah sebuay isyarat bahwa langit itu bulat”. Kemudian
setelah ini, pahamilah wahai saudaraku, bahwa bumi kita ini adalah pusat
alam semesta. Dia berada persis di tengah-tengah lingkaran langit. Hal
ini adalah sesuatu yang disepakati oleh para ulama sebagaimana dinukil
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam beberapa tempat dalam Majmu
Fatawa beliau. Beliau berkata : “Bahwasanya bumi terletak di tengah
bulatan langit. Yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya semua benda
langit itu terlihat dari bumi di segala penjuru langit dalam jarak yang
sama, ini semua menunjukkan bahwa jauhnya antara bumi dan langit itu
sama dari segala sisi, dan ini dengan tegas menunjukkan bahwa bumi itu
terletak persis di tengah-tengah” [Lihat Majmu Fatawa 25/195]
Ilmuan Eropa, Galileo Galilei (1546-1642) mengatakan dengan tegas
bahwa bumi berbentuk bulat. Pernyataannya ini oleh otoritas Gereja
dianggap menyimpang sehingga dia harus dihadapkan pada hukuman mati.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebenaran
pernyataan Galileo tersebut pun semakin jelas. Belakangan, tak sedikit
orang yang beranggapan bahwa dialah orang pertama yang menemukan teori
bulatnya bumi.
Bagaimana Pendapat Ulama Islam?
Sebenarnya jauh-jauh sebelum Galileo, sudah banyak ulama dan ilmuan yang mengatakan bahwa pelanet bumi ini berbentuk bulat.
Lebih jelasnya mari kita lihat beberapa perkataan ulama Islam berikut
ini:Ilmuan Islam, Ibnu Khaldun (1332 – 1406 M / 732H – 808 H):
“Ketahuilah, sudah jelas di kitab-kitab para ilmuan dan peneliti tentang
alam bahwa bumi berbentuk bumi….” (Muqaddimah Ibnu Khaldun, Kairo).
Ulama Islam, Ibnu Taimiyah (1263-1328 M): “Ketahuilah, bahwa mereka
(para ulama) sepakat bahwa bumi berbentuk bulat. Yang ada di bawah bumi
hanyalah tengah. Dan paling bawahnya adalah pusat….” (Al-Jawab
Ash-Shahih li Man Baddala Din Al-Masih).
Bagi Qazuaini (seorang ilmuan), salah satu bukti bumi berbentuk bulat
adalah bintang-bintang dan planet-planet yang berbentuk bulat (Atsar
Al-Bilad wa Akhbar Al-Bilad).
Selain mereka, masih banyak ilmuan dan ulama Islam klasik yang
menyebutkan di dalam bukunya bahwa bumi berbentuk bulat. Di antara buku
tersebut adalah:
1. Muruj Al-Dzahab wa Ma’adin Al-Jauhar, oleh Mas’udi Ali Husain Ali bin Husain (w. 346 H).
2. Ahsan Taqasim fi Ma’rifah Al-Aqalim, oleh Al-Maqdisi (w. 375 H)
3. Kitab Shurah Al-Ardh, oleh Ibnu Hauqal
4. Al-Masalik wa Al-Mamalik, oleh Al-Ishthikhry
5. Ruh Al-Ma’ani, oleh Imam Al-Alusi (ulama tafsir Al-Qur’an)
6. Mafatih Al-Ghaib, oleh Fakhru Ar-Razi (ulama tafsir Al-Qur’an)
Dan lain-lain.
Apakah Pendapat Mereka Bertentangan dengan Al-Qur’an?
Tentu saja tidak. Justru Dr. Hadi bin Mar’i dalam bukunya “Mausu’ah
Al-Ilmiyah fi I’jaz Al-Qur’anul Karim” (Penerbit Attawfiqiah, Kairo)
mengambil dalil bumi berbentuk bulat dari isyarat Al-Qur’an. Demikian
juga para ahli tafsir lainnya.
Ada satu ayat Al-Qur’an lagi yang patut kita perhatikan
sebagai tambahan penjelasan masalah ini, inilah jawaban telak tentang
tuduhan bumi itu datar menurut Alqur’an:surat Az-Zumar ayat 5
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ يُكَوِّرُ
اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ
وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى أَلَا
هُوَ الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ
“Dia (Allah) menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang
benar. Dia memasukkan malam atas siang dan memasukkan siang atas malam
dan menundukan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu
yang ditentukan. Ingatlah! Dialah Yang Maha Mulia, Maha Pengampun.”
(QS.Az-Zumar:5)
Kata “at-takwir” artinya adalah menggulung. Pada ayat di atas dengan
jelas Allah berfirman bahwa malam menggulung siang dan siang menggulung
malam. Kalau malam dan siang dapat saling menggulung, pastilah karena
keduanya berada pada satu TEMPAT YANG BULAT secara bersama-sama.
Bagaimana keduanya dapat saling menggulung jika berada pada tempat yang
datar….? Kalau saja kejadian itu pada tempat yang datar, mestinya akan
lebih tepat jika dipakai kata MENIMPA atau MENINDIH.
Dari keterangan ayat di atas juga dapat diperoleh gambaran bahwa pada
permukaan bumi ini setiap saat, separuh permukaannya senantiasa malam,
dan separuh lagi permukaannya adalah siang hari. Hal ini dapat
digambarkan dari keterangan ayat, dimana seolah-olah bagian kepala dari
sang malam itu menggulung bagian ekor dari sang siang, namun pada saat
yang sama bagian kepala dari sang siang sedang menggulung pula bagian
ekor dari sang malam. Sebanyak bagian siang yang digulung malam, maka
pada saat yang bersamaan, sebanyak itu pula bagian malam yang sedang
digulung oleh sang siang. Sekali lagi, keterangan ini menggambarkan
bahwa terjadinya hal menakjubkan tersebut di atas bumi, hanya jika
permukaan BUMI ITU BULAT adanya…!
Ajaibnya, keterangan-keterangan ini ditulis dalam ayat-ayat Al-Qur’an
pada 14 abad yang lalu, disaat orang-orang Eropa dan Amerika masih
primitif, dan masih menganggap bumi ini datar serta menganggapnya
sebagai pusat bagi jagad raya ini.
Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya….
Wallahu’alam bishowab….
Sumber: answeringkristen.wordpress.com
Referensi: www.lampuislam.org
Facebook Page: www.facebook.com/riska.pratama.ardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar