
Artikel ini masih berhubungan dengan artikel sebelumnya yang berjudul "Apakah Orang yg Masuk Neraka sudah di Takdirkan Allah?"  Sebaiknya bacalah dahulu artikel sebelumnya itu sebelum membaca artikel ini untuk menambah wawasan kita. 
Berikut ini adalah pertanyaan yang dilontarkan seorang penanya pada situs eramuslim.com dan jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo.
Pertanyaan:
2- Apakah bunuh diri, meninggal dalam kecelakaan, dan meninggal saat Jihad termasuk kedalam Takdir Allah s.w.t?
Jawaban:
Perbedaan Takdir dan Nasib
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasib diartikan dengan sesuatu 
yang ditentukan oleh Tuhan atas diri seseorang; misalnya, nasib 
membawanya terhempas di Jakarta. Nasib baik (nasib mujur) adalah 
keberuntungan, misalnya ; ia selalu memperoleh nasib baik di usahanya. 
Nasib buruk adalah kemalangan, misalnya; nasib buruk telah menimpa 
keluarganya.
Dari kedua makna tersebut, nasib bisa diartikan dengan bagian yang 
diterima seseorang, baik itu berupa kesenangan maupun kesusahan, 
keuntungan maupun kerugian, kebaikan maupun keburukan.
Sedangkan takdir berasal dari kata al qodr yang menurut 
syariat adalah bahwasanya Allah swt mengetahui ukuran-ukuran dan 
waktu-waktunya sejak azali kemudian Dia swt mewujudkannya dengan 
kekuasaan dan kehendak-Nya sesuai dengan ilmu-Nya. Dan Dia swt juga 
menetapkannya di Lauh Mahfuzh sebelum menciptakannnya, sebagaimana 
disebutkan didalam hadits, ”Yang pertama kali diciptakan Allah adalah 
pena. Dia swt mengatakan kepadanya, ’Tulislah.’ Pena itu mengatakan, 
’Apa yang aku tulis?’ Dia swt mengatakan, ’Tulislah segala sesuatu yang 
akan terjadi.” (Syarhul aqidah al wasathiyah juz I hal 32, Maktabah 
Syamilah)
Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam ini—tidak hanya pada 
manusia—baik pada mahkluk hidup maupun benda mati, yang bergerak maupun 
yang diam, yang kecil maupun yang besar, yang ghaib maupun yang nyata 
kecuali sudah ditetapkan dan dituliskan oleh Allah swt di Lauh Mahfuzh.
Tidak satu pun daun yang rontok dari dahannya, semut yang mati di 
atas batu hitam, benda langit yang hilang, kerikil yang berpindah 
tempatnya, jumlah bayi yang terlahir dan meninggal setiap detiknya 
kecuali itu semua berada dalam ilmu, ketetapan, kehendak dan ciptaan 
Allah swt.
Artinya bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada manusia baik 
perbuatan maupun perkataannya, kesenangan maupun kesusahannya, sehat 
maupun sakitnya, rezeki maupun musibahnya, pahala maupun dosanya, hidup 
maupun matinya, yang seluruhnya adalah bagian dari kehidupannya kecuali 
sudah diketahui dan ditetapkan Allah swt serta sesuai dengan kehendak 
dan ciptaan-Nya.
Firman Allah swt,
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي 
أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ
 عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ ﴿٢٢﴾
”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) 
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul 
Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu 
adalah mudah bagi Allah. (QS. Al Hadid : 22)
Dari definisi tentang nasib dan takdir diatas, maka bisa disimpulkan 
bahwa nasib pada umumnya digunakan untuk bagian yang diterima manusia 
baik berupa kebaikan atau keburukan, kesenangan atau kesusahan. 
Sedangkan takdir tidak hanya mencakup hal-hal yang terjadi pada manusia 
namun ia juga yang terjadi pada seluruh makhluk lainnya di alam ini 
sejak zaman azali dan sudah dituliskan di Lauh Mahfuzh. Sehingga nasib 
adalah bagian dari takdir.
Sebagaimana disebutkan diatas tentang definisi dari takdir yang 
mencakup ilmu, ketetapan, kehendak dan ciptaan Allah swt. Maka segala 
perbuatan dan perkataan manusia tidaklah lepas dari keempat hal 
tersebut. 
Namun jangan kemudian diartikan bahwa ketika seseorang memukul orang 
lain, gagal dalam ujian, menjadi penjahat, berbuat maksiat atau bunuh 
diri kemudian dengan mudah mengatakan bahwa itu semua adalah takdir 
Allah swt atas dirinya. Ini tidaklah betul berdasarkan dalil-dalil 
berikut:
1. Allah swt berfirman,
وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلكِن 
يُضِلُّ مَن يَشَاء وَيَهْدِي مَن يَشَاء وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنتُمْ 
تَعْمَلُونَ ﴿٩٣﴾
”Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu 
umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan 
memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya 
kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. An Nahl : 93)
Makna al hidayah didalam Al Qur’an mengandung pengertian ad dalalah 
(menunjukan) dan al i’anah (pertolongan). Ad dalalah (menunjukan) ini 
adalah bagi semua orang baik mukmin maupun kafir karena Allah swt 
menunjukkan semua orang dengan manhaj-Nya, mengutus Rasul-Nya yang 
membawa kitab-Nya namun karena kecongkakan dan kesombongannya maka 
mereka lebih memilih kesesatan daripada petunjuk, sebagaimana firman-Nya,
وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى 
عَلَى الْهُدَى فَأَخَذَتْهُمْ صَاعِقَةُ الْعَذَابِ الْهُونِ بِمَا 
كَانُوا يَكْسِبُونَ ﴿١٧﴾
”Dan Adapun kaum Tsamud, Maka mereka telah Kami beri petunjuk 
tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, Maka 
mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah 
mereka kerjakan.” (QS. Fushilat : 17} 
3. Allah swt mengetahui bahwa hamba-hamba-Nya akan memilih dan 
melakukan sesuatu dan ketika Dia swt menulis di Lauh Mahfuzh apa yang 
akan dipilih dan dilakukannya, maka Allah dalam menulis ini, hanya 
berdasarkan kepada ilmu-Nya yang meliputi dan menyeluruh. Ilmu Allah 
tidak pernah berubah. Ilmu Allah hanya mempunyai sifat inkisyaf 
(menyingkap) terhadap sesuatu yang telah lalu, saat ini dan akan datang.
 Ilmu Allah tidak memiliki sifat ijbar (memaksa) dan ta’tsir 
(mempengaruhi) sebagaimana halnya kemampuan dan kehendak-Nya. Jadi Allah
 mengetahui secara azali tentang hamba-Nya, bahwa ia akan memilih jalan 
kekufuran dan akan mati dalam kekufuran, tetapi ilmu Allah hanya 
memiliki sifat inkisyaf tidak memiliki sifat ijbar dan ta’tsir.
Sedangkan al ‘ianah (pertolongan) dan dorongan untuk melakukan 
kebaikan adalah khusus buat orang yang beriman kepada Allah, mengikuti 
Rasul-Nya dan menjalankan isi kitab-Nya maka mereka mendapatkan petunjuk
 dari-Nya,
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْواهُمْ ﴿١٧﴾
”Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan Balasan ketaqwaannya.” (QS. Muhammad : 17)
2. Kehendak (masyi’ah) Allah didalam menunjukkan atau menyesatkan 
seseorang adalah muthlaq, tidak dipertanyakan apa yang Dia swt perbuat. 
Namun Allah juga bersifat Adil, maka tidak mungkin Allah menyesatkan 
orang yang berhak mendapatkan petunjuk atau sebaliknya, firman-Nya,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاء فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ ﴿٤٦﴾
”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) 
untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka 
(dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu 
Menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fushilat : 46)
4. Setiap orang yang bertakwa maupun tidak bertakwa mempunyai 
kemampuan ikhtiar dan kebebasan ikhtiar. Allah swt memberikan mereka 
akal untuk bisa membedakan mana yang baik maupun buruk bagi dirinya. 
Kemudian manusia pun diberikan kebebasan berikhtiar manakah jalan yang 
dipilihnya; jalan yang baik atau yang buruk, ketaatan atau kemaksiatan 
dan apabila ini telah terwujud maka berarti telah berlaku tuntutan 
pertanggung-jawaban atau dasar diberlakukannya pembalasan dengan pahala 
atau siksa.
Diantara bukti kebebasan ikhtiar ini adalah perasaan ingin bebas 
melaksanakan shalat atau meninggalkannya, membayar zakat atau tidak. 
Firman Allah swt,
فَأَمَّا مَن طَغَى ﴿٣٧﴾ وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ﴿٣٨﴾ 
فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى ﴿٣٩﴾ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ 
رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى ﴿٤٠﴾ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ 
الْمَأْوَى ﴿٤١﴾
”Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan 
kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). dan 
Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri
 dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat 
tinggal(nya).” (QS. An Nazi’aat : 37 – 41)
Manusia tidak akan berdosa atau dihisab bahkan tidak akan disiksa 
terhadap sesuatu yang dia tidak memiliki pilihan didalamnya, seperti 
lupa, dipaksa atau keadaan darurat, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya Allah swt telah membebaskan umatku karena keliru, lupa dan mereka yang dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi) (Disarikan dari buku Jawaban Tuntas Masalah Taqdir, DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan) 
Jadi ketika seorang bunuh diri, meninggal karena suatu kecelakaan 
atau jihad di jalan Allah maka segala yang tekait dengan perbuatannya 
itu sudah diketahui Allah swt dan sudah dituliskan di Lauh Mahfuzh namun
 pengetahuan Allah swt ini hanya bersifat inkisyaf (menyingkap) dan 
ilmu-Nya tidaklah bersifat ijbari (memaksa) dan tatsir (mempengaruhi).
Bukti dari keadilan Allah kepadanya adalah dengan diberikannya akal 
untuk mampu mempertimbangkan segala efek dari bunuh dirinya itu atau 
berjihad dijalan Allah baik dari sudut pandang agama maupun yang 
lainnya. Setelah itu ia diberikan kebebasan menentukan pilihannya apakah
 dia meneruskan niatnya dengan menusukkan pisau ke perutnya sendiri, 
menyerang sendirian pasukan musuh tanpa satu senjata pun padahal kondisi
 tidaklah memaksa mujahid itu untuk melakukannya ataukah dia 
mengurungkan niatnya tersebut, bersabar dan mencari solusi yang diridhoi
 Allah swt.
Apabila dia mengambil pilihan untuk menusukan pisau ke perutnya 
sendiri, menyerang sendirian pasukan musuh tanpa satu senjata pun 
sehingga dia meninggal dunia dan ketika perbuatan itu terjadi maka ia 
bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.
Dan terhadap sesuatu yang dimana manusia tidak memiliki pilihan 
atasnya maka dia tidaklah berdosa, seperti ketika seseorang yang tengah 
mengendarai sebuah mobil secara wajar di sebuah dataran tinggi namun 
secara tiba-tiba jalan yang dilaluinya longsor dan ia pun terhempas ke 
jurang dan meninggal dunia.
Kalaulah masih ada yang mengatakan bahwa bunuh diri dengan pisau atau
 mati dengan cara menyerang pasukan musuh sendirian adalah takdir Allah 
semata maka bagaimana pendapatnya jika datang seseorang mendekatinya dan
 menampar pipinya kemudian orang yang menampar itu dengan mudah 
mengatakan kepadanya,”maaf itu semua adalah takdir Allah.” maka apakah 
ia akan menerimanya?!!
Atau bagaimana pendapatnya jika orang itu diminta untuk setiap 
harinya menetap di rumah saja, menutup pintu, tidak usah bekerja dan 
berusaha hanya menanti rezeki yang datang ke rumah maka bisakah anak 
istrinya kenyang, terpenuhi kebutuhan sandang pangannya?!!
Atau seandainya dia seorang pemuda dewasa yang belum memiliki 
keahlian kerja sama sekali sementara dia butuh pekerjaan maka apakah dia
 akan berpangku tangan, berdiam diri dan tidak berusaha keras menajamkan
 keahliannya sampai pekerjaan yang diinginkannya datang menjemputnya?!!
Wallahu A’lam
Sumber: eramuslim.com
Referensi: www.lampuislam.org 
Facebook Page: www.facebook.com/riska.pratama.ardi  
Tidak ada komentar:
Posting Komentar