Ini
juga merupakan pertanyaan yang sering diajukan oleh pihak non-Muslim
yang tidak memahami konsep Islam soal kesesatan manusia. Al-Qur’an jelas
menyatakan bahwa setiap kesesatan yang terjadi memang merupakan
kehendak-Nya, dan apabila Dia berkehendak untuk menyesatkan manusia,
tidak ada sesuatupun yang sanggup untuk menyelamatkan manusia tersebut
:
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. (An-Nahl: 93)
Maka
Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada
siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha
Bijaksana. (Ibrahim: 4)
dan siapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorangpun yang akan memberi petunjuk. (Ghaafir: 33)
dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (Al-Kahfi:17)
Pernyataan Al-Qur’an ini sangat jelas, bahwa kesesatan yang dialami manusia merupakan ‘hasil kerja’ Allah sendiri yang memang mengehendaki manusia tersebut tersesat, dan ketika Dia sudah menyesatkan manusia, maka tidak ada kekuasaan apapun yang mampu memberikan pertunjuk agar manusia tersebut bisa diselamatkan. Menanggapi soal ini, biasanya non-Muslim akan langsung bereaksi :”Tuhan seperti apa yang telah membuat manusia tersesat..??”, lalu mulai ‘berpromosi’ untuk mengajukan alternatif konsep ketuhanan mereka dengan menyatakan :”Tuhan kami Maha Kasih, Dia selalu mengharapkan agar manusia yang tersesat untuk kembali, bahkan Dia mau mengorbankan diri untuk itu. Tuhan yang benar adalah Tuhan yang menyelamatkan ketika tahu ada manusia yang tersesat, bukan malah mempergunakan kekuasaan dan kehendak-Nya untuk menyesatkan manusia..”. Sampai disini logikanya terkesan benar, namun terbentur kepada satu pertanyaan :”Kalau bukan atas dasar kehendak dan kuasa Tuhan, lalu atas kuasa siapa seseorang bisa menjadi tersesat..?? atas kehendak siapa seorang manusia bisa tersesat..?? Apakah ada kekuasaan dan kehendak diluar kuasa dan kehendak Tuhan yang mempunyai kemampuan untuk itu..??”. Kalau dikatakan kesesatan seseorang diakibatkan oleh kehendak dan kuasanya sendiri, maka ini bertentangan dengan fakta, bahwa bisa terjadi seseorang yang telah berusaha untuk menyesatkan dirinya sendiri, namun atas kuasa dan kehendak Allah, dia tetap tidak akan tersesat. Kalau dikatakan kesesatan manusia tersebut merupakan kehendak dan kuasa syaitan dan Iblis, maka apabila Tuhan berkehendak agar manusia tersebut tidak tersesat, kuasa dan kehendak syaitan dan Iblis tidak akan bisa direalisasikan. Ini adalah pikiran yang masuk akal dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Pernyataan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang menginginkan hamba-Nya untuk selamat dan tidak tersesat, itu sebenarnya juga ada dalam konsep Islam, bahwa Allah selalu menanti hamba-hamba-Nya agar kembali kepada-Nya :
Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih. (Hud: 90)
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.. (At-Tahrim: 8)
Melalui Al-Qur’an, Allah menyuruh agar manusia mau kembali kepada-Nya, menyelamatkan diri dari kesesatan yang selama ini dijalani. Allah menyatakan diri-Nya sangat terbuka untuk menerima taubat. Bahkan dalam Hadits Qudsi dikatakan :
“Wahai anak Adam selama engkau masih berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku ampuni engkau apa pun yang datang darimu dan aku tidak peduli. Wahai anak Adam walaupun dosa-dosamu mencapai batas langit kemudian engkau meminta ampun kepada-Ku, Aku akan ampuni engkau dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan sepenuh bumi dosa dan engkau tidak menyekutukan-Ku, maka Aku akan menemuimu dengan sepenuh itu pula ampunan.” (HR. Tirmidzi)
Islam
mengajarkan bahwa kehendak dan kuasa Allah dalam konteks kesesatan
manusia berbeda dengan keinginan Allah. Keinginan Allah datang dari
diri-Nya sendiri, bahwa Allah menginginkan semua manusia selamat dan tidak
tersesat, bahkan Allah menyatakan diri-Nya sangat berharap dan terbuka
untuk menerima hamba-hamba yang ingin kembali, menghapus dosa mereka dan
tidak mengingat-ingat lagi kemaksiatan yang pernah dilakukan. Sedangkan
kuasa dan kehendak-Nya selalu berdasarkan ‘input’ yang datang
dari manusia itu sendiri. Kalau kita simak ayat-ayat Al-Qur’an tentang
pernyataan ‘Allah menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya’, maka ini
selalu merupakan ‘muara’ dari suatu kalimat panjang yang sebelum atau
sesudahnya menyatakan kondisi manusia yang telah ‘menyediakan diri’
untuk disesatkan Allah.
Pernyataan Allah dalam surat an-Nahl 93 misalnya didahului dengan pernyataan ‘Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu antaramu sesudah meneguhkannya , kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu’, lalu dilanjutkan dengan kalimat sesudahnya ‘Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah’. Ketika Allah menyatakan kehendak dan kuasanya untuk menyesatkan manusia, maka itu bukanlah suatu pernyataan yang berdiri sendiri, melainkan ada penyebabnya. Demikian juga dengan contoh ayat lain, misalnya surat Ibrahim 4, sebelumnya dijelaskan ‘Dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih, (yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh’, baru dilanjutkan kepada pernyataan bahwa Allah akan menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya. Anda bisa mendalami semua ayat Al-Qur’an terkait soal ini, semuanya memiliki pola yang sama, bahwa pernyataan tersebut terkait dengan kelakuan manusia yang memang sudah ‘menyiapkan diri’ untuk disesatkan Allah, tentu saja, sesuai penjelasan sebelumnya tidak ada sesuatu kekuatanpun yang mampu menyesatkan manusia selain kuasa dan kehendak Allah sendiri.
Allah sendiri menyatakan bahwa tindakan-Nya untuk menyesatkan manusia karena memang manusia itu sendiri yang menginginkannya, merupakan implementasi dari sifat-Nya yang adil dan tidak dzalim :
“Wahai hamba-hamba-Ku sesungguhnya Aku mengharamkan kedzaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian maka janganlah kalian saling mendzalimi…” (HR. Muslim)
Pernyataan Allah dalam surat an-Nahl 93 misalnya didahului dengan pernyataan ‘Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu antaramu sesudah meneguhkannya , kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu’, lalu dilanjutkan dengan kalimat sesudahnya ‘Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah’. Ketika Allah menyatakan kehendak dan kuasanya untuk menyesatkan manusia, maka itu bukanlah suatu pernyataan yang berdiri sendiri, melainkan ada penyebabnya. Demikian juga dengan contoh ayat lain, misalnya surat Ibrahim 4, sebelumnya dijelaskan ‘Dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih, (yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh’, baru dilanjutkan kepada pernyataan bahwa Allah akan menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya. Anda bisa mendalami semua ayat Al-Qur’an terkait soal ini, semuanya memiliki pola yang sama, bahwa pernyataan tersebut terkait dengan kelakuan manusia yang memang sudah ‘menyiapkan diri’ untuk disesatkan Allah, tentu saja, sesuai penjelasan sebelumnya tidak ada sesuatu kekuatanpun yang mampu menyesatkan manusia selain kuasa dan kehendak Allah sendiri.
Allah sendiri menyatakan bahwa tindakan-Nya untuk menyesatkan manusia karena memang manusia itu sendiri yang menginginkannya, merupakan implementasi dari sifat-Nya yang adil dan tidak dzalim :
“Wahai hamba-hamba-Ku sesungguhnya Aku mengharamkan kedzaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian maka janganlah kalian saling mendzalimi…” (HR. Muslim)
Pengetahuan manusia tentang Tuhan hanya sebatas apa yang diinformasikan oleh Tuhan sendiri, ketika Dia menyatakan berkehendak dan berkuasa untuk menyesatkan manusia maka itulah yang bisa kita terima, ketika Dia menyatakan diri-Nya Maha Adil dan mengharamkan untuk berlaku dzalim, maka sebatas itu yang mampu kita terima, memikirkan lebih dari itu merupakan tindakan yang akan ‘mementahkan’ kebenaran tentang Tuhan. Karena tidak ada informasi apakah sifat-Nya yang Maha Adil bisa membatasi sifat-Nya yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak, maka kita juga tidak perlu memikirkan bagaimana sifat-sifat tersebut berinteraksi dalam diri Allah.
Kemudian muncul pertanyaan lanjutan :”Lalu bagaimana fungsi dan peranan Iblis dan syaitan dalam kesesatan manusia..??”. Menarik apa yang disampaikan secara terang-benderang dalam Al-Qur’an :
Iblis berkata : “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”. Allah berfirman : “Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya). Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat. (al-Hijr 39-42).
Pertama,
jelas dinyatakan bahwa Iblis tersesat karena memang atas keputusan dari
Allah, artinya juga otomatis berdasarkan kekuasaan, kehendak dan ijin
Allah, sama seperti apa yang disampaikan Allah kepada manusia, keputusan
Allah tersebut merupakan akibat dari perbuatan Iblis sendiri yang telah
membangkang perintah Allah karena kesombongannya. Ternyata disini Iblis
sama sekali tidak menyalahkan Allah, tidak ada suatu pernyataan Iblis:
“Saya kan tidak punya kuasa apa-apa, jadi kalau saya telah berbuat
kesesatan itu memang karena Engkau telah menciptakan saya untuk punya
potensi agar berbuat demikian, saya tersesat bukan atas kehendak saya
sendiri”,
Iblis ternyata lebih cerdas dari kebanyakan manusia dan memahami bahwa
kebebasan untuk memilih yang ditanamkan Allah dalam dirinya
mengakibatkan konsekuensi dari pilihan tersebut akan ditanggung sendiri.
Kedua, jelas dinyatakan bahwa sekalipun Iblis diberi ijin untuk
menyesatkan manusia, namun IBLIS TIDAK DIBERIKAN KEKUASAAN UNTUK
MENYESATKAN MANUSIA, dalam arti kesesatan yang terjadi bukan didasari
kuasa, kehendak atau ijin Iblis, tapi merupakan sesuatu yang datang dari
Allah. Iblis atau syaitan hanya berperan untuk mempengaruhi dan
mendorong agar manusia melakukan perbuatan yang kemudian mendasari
keputusan Allah untuk menyesatkan manusia tersebut.
Kalau kemudian dilemparkan ‘tuduhan’ : “apakah ini artinya Allah ‘bekerjasama’ dengan Iblis untuk menyesatkan manusia…??” maka ini dibantah oleh ayat Al-Qur’an yang lain, menyatakan bahwa dalam diri manusia diberikan dasar-dasar kehendak bebas dan manusia itu sendirilah yang menentukan pilihan mana yang mesti ditetapkannya :
..maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (ash-Shams 8)
Lalu dilengkapi pernyataan bahwa Allah akan melindungi manusia dari godaan Iblis atau syaitan :
Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-A’raaf: 200).
Kalau kemudian dilemparkan ‘tuduhan’ : “apakah ini artinya Allah ‘bekerjasama’ dengan Iblis untuk menyesatkan manusia…??” maka ini dibantah oleh ayat Al-Qur’an yang lain, menyatakan bahwa dalam diri manusia diberikan dasar-dasar kehendak bebas dan manusia itu sendirilah yang menentukan pilihan mana yang mesti ditetapkannya :
..maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (ash-Shams 8)
Lalu dilengkapi pernyataan bahwa Allah akan melindungi manusia dari godaan Iblis atau syaitan :
Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-A’raaf: 200).
Dan katakanlah: “Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. (al-Mu’minuun: 97)
Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Fussilat: 36)
Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Fussilat: 36)
Pada ayat lain, Allah mewanti-wanti manusia untuk berhati-hati terhadap Iblis atau syaitan :
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (al-Baqarah: 168)
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (al-Baqarah: 208)
Al-Qur’an juga menyampaikan bahwa apa yang dilakukan Iblis atau syaitan tersebut hanyalah angan-angan kosong yang menyesatkan :
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (al-Baqarah: 168)
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (al-Baqarah: 208)
Al-Qur’an juga menyampaikan bahwa apa yang dilakukan Iblis atau syaitan tersebut hanyalah angan-angan kosong yang menyesatkan :
Syaitan
itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan
kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka
selain dari tipuan belaka. (an-Nisaa: 120)
Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. (Muhammad 25)
Lalu Allah melengkapi lagi dengan ilustrasi bagaimana besarnya penyesalan manusia yang telah mengikuti langkah-langkah Iblis dan syaitan ketika di akhirat kelak mereka mencoba meminta pertanggung-jawaban ‘mentor-mentor’ mereka tersebut. Iblis dan syaitan akan ‘membuka kedok’ mereka, mengakui bahwa mereka sebenarnya tidak punya kuasa apa-apa. Apa yang selama ini dijanjikan untuk mempengaruhi manusia agar tersesat tidak lain hanyalah angan-angan kosong :
Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: “Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab: “Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri”. Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih. (Ibrahim: 21-22)
Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. (Muhammad 25)
Lalu Allah melengkapi lagi dengan ilustrasi bagaimana besarnya penyesalan manusia yang telah mengikuti langkah-langkah Iblis dan syaitan ketika di akhirat kelak mereka mencoba meminta pertanggung-jawaban ‘mentor-mentor’ mereka tersebut. Iblis dan syaitan akan ‘membuka kedok’ mereka, mengakui bahwa mereka sebenarnya tidak punya kuasa apa-apa. Apa yang selama ini dijanjikan untuk mempengaruhi manusia agar tersesat tidak lain hanyalah angan-angan kosong :
Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: “Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab: “Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri”. Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih. (Ibrahim: 21-22)
Pada
saat ini, kita semua bisa membaca dan mengakses semua informasi
tersebut lewat Al-Qur’an, ketika dalam pikiran kita sudah masuk
informasi bahwa Allah Maha Berkuasa, Maha Berkehendak dan Maha
Menentukan segalanya yang terkait dengan keselamatan dan kesesatan kita,
kita juga sudah diberitahu bahwa Iblis dan syaitan sama sekali tidak
punya kuasa, mereka hanya mampu untuk mengiming-imingi angan-angan
kosong, lalu diinformasikan juga bagaimana kelak penyesalan kita apabila
kita memilih untuk mengikuti iblis dan syaitan, maka masih pantaskan
kita kemudian menyalahkan Allah atas kesesatan yang kita lakukan..??
hanya karena Allah bertindak menjalankan apa yang menjadi hak-Nya untuk
menetapkan segala sesuatu.
Konsep Islam tentang posisi Allah dalam keselamatan dan kesesatan kita menciptakan suatu pikiran : TIDAK ADA JALAN LAIN BAGI MANUSIA UNTUK MENDAPATKAN KESELAMATAN DAN TERHINDAR DARI KESESATAN KECUALI HANYA MENYANDARKAN DIRI KEPADA ALLAH, dalam Al-Qur’an Allah telah menyatakan melalui suatu ungkapan :
Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan. (Luqman 22)
Ketika memegang tali kebenaran, boleh jadi suatu saat kita diterpa angin kencang, terombang-ambing ke kiri dan ke kanan, kadang pegangan kita serasa mau lepas, tangan menggenggam dengan penuh kesakitan, namun sepanjang kita mau berusaha untuk tetap berpegang kepada tali tersebut, Allah telah berjanji untuk menolong kita.
Konsep Islam tentang posisi Allah dalam keselamatan dan kesesatan kita menciptakan suatu pikiran : TIDAK ADA JALAN LAIN BAGI MANUSIA UNTUK MENDAPATKAN KESELAMATAN DAN TERHINDAR DARI KESESATAN KECUALI HANYA MENYANDARKAN DIRI KEPADA ALLAH, dalam Al-Qur’an Allah telah menyatakan melalui suatu ungkapan :
Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan. (Luqman 22)
Ketika memegang tali kebenaran, boleh jadi suatu saat kita diterpa angin kencang, terombang-ambing ke kiri dan ke kanan, kadang pegangan kita serasa mau lepas, tangan menggenggam dengan penuh kesakitan, namun sepanjang kita mau berusaha untuk tetap berpegang kepada tali tersebut, Allah telah berjanji untuk menolong kita.
Sumber: hikmah.muslim-menjawab.com
Referensi: www.lampuislam.org
Facebook Page: www.facebook.com/riska.pratama.ardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar