Senin, 19 September 2016

Konsep Ketuhanan dalam Islam

 
 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQ0HteBHEBw4_pSuR0Kq-qTh-L3UCg-b2dJTa0P5Yh67IYhzKSsHgSIHFzTC2ubQJ_tr1WgYbtBHIzxDciLKBZbxQAVqqARH8yvRZ7Kb7fW8rsh9S_Auc0PZ8qmpptkhw7D1lZbKtZ1h9h/s1600/Wallpaper+Allah.jpg

Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal
 
Dalam The Worldview of Islam, konsep Tuhan adalah masalah yang paling sentral. Secara sederhana, The Worldview of Islam adalah pandangan hidup berdasarkan Islam. Ajaran Islam yang komprehensif membuat setiap Muslim memiliki pandangan hidup yang khas. Karena Islam melahirkan sebuah worldview/pandangan hidup, maka seorang Muslim merespon masalah dengan cara yang unik. ‘Unik’ di sini berarti bahwa seorang Muslim berpikir dengan cara yang berbeda dengan orang kafir.
The Worldview of Islam lebih dikenal dengan istilah Islamic Worldview, tapi sebenarnya istilah ini kurang pas. Islamic Worldview secara harfiah berarti “worldview yang Islami”, seolah-olah dimungkinkan ada yang Islami di luar Islam. The Worldview of Islam artinya “worldview-nya Islam”. Ini bersifat definitif. Artinya ia cuma milik Islam.

Mengapa konsep Tuhan itu penting dalam membentuk pandangan hidup? Pertama, kita harus tahu bahwa kata “Tuhan” dipahami dengan cara yang berbeda oleh masing-masing agama. Kedua, konsep Tuhan itulah yang akan membentuk cara kita memahami tujuan hidup kita. Umat Kristiani, misalnya, ketika menyebut kata “Tuhan”, membayangkan sebuah konsep unik dalam benak mereka. “Tuhan” dalam bayangan mereka adalah subyek trinitas, mengirimkan “anaknya” untuk disalib untuk menebus dosa manusia. Konsep Tuhan dalam Islam lain lagi. Demikian pula dengan agama-agama lainnya, saling berlainan.
Beberapa filsuf Yunani kuno berpendapat bahwa tuhan itu ada dan mencipta, namun setelah mencipta, tuhan diam saja. Artinya, dalam pandangan mereka, tuhan tidak terlibat dalam kehidupan di alam semesta setelah ia menciptakannya. Oleh karena itu, dalam segala hal, mereka berfilsafat. Sebab tuhan mereka tidak membimbing dengan wahyu. Tuhan mereka hanya diam.
Ketika Nabi Ibrahim a.s menghancurkan berhala-berhala kaumnya, secara tidak langsung ia “menggugat” konsep Tuhan mereka. Mengapa tuhan-tuhan mereka terbuat dari batu, kayu, dan sebagainya? Kenapa tuhan mereka hanya bisa diam, lalu kenapa tuhan seperti itu disembah? Itukah konsep Tuhan yang benar?
Dalam Islam, ada 1 surah di juz 30 yang sangat ringkas, tapi efektif menjelaskan konsep Tuhan, yaitu Surah Al-Ikhlash: Qul huwallaahu ahad (Allah itu hanya satu). Allaahush-shamad, (Allah tempat bergantung segala sesuatu). Lam yalid wa lam yuulad, (Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan). Wa lam yaqun lahuu kufuwan ahad, (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya).”
Ayat pertama langsung memperkenalkan konsep tauhidullaah, yaitu keesaan Allah. Allah itu satu. Apanya yang satu? Dzat-Nya sudah pasti cuma satu. Dia-lah satu-satunya Dzat yang bernama Allah. Para ulama berpendapat bahwa tauhidullah jauh lebih dalam daripada sekedar menjelaskan tunggalnya Dzat Allah. Selain tunggal Dzat-Nya, Allah pun tunggal dari segi sifat dan perbuatan-Nya. Artinya, sifat Allah hanya milik Allah, dan perbuatan Allah hanya milik Allah. Tidak ada makhluk yang memiliki sifat seperti Allah, dan tak ada makhluk yang mampu berbuat seperti Allah.
Lihat perbuatan Nabi Ibrahim a.s. Berhala-berhala itu sifatnya sama seperti benda mati, bahkan tak mampu berbuat apa-apa. Itukah konsep Tuhan yang benar? Maka, ayat pertama dalam Surah Al-Ikhlash telah secara jitu menjelaskan konsep tauhidullaah. Inilah konsep Tuhan yang khas milik Islam. Bukan milik yang lain.
Ayat kedua menjelaskan apa “pekerjaan” Allah. Kepada Allah-lah tempat bergantung segala sesuatu. Tidak seperti orang Yunani kuno yang percaya bahwa tuhan cuma diam, Islam percaya bahwa Allah senantiasa dalam kesibukan. Allah-lah yang membuat keputusan atas segala sesuatunya di dunia ini. Karena itu, kita meminta kepada-Nya. Kita beribadah pada-Nya dan meminta pertolongan pada-Nya. Iyyaaka na’buduu wa iyyaaka nasta’iin. Di sini, kita dapat melihat perbedaan pandangan antara Islam dan kepercayaan Yunani kuno tadi. “Tuhan” yang diam versi para filsuf Yunani itu tidak bisa dimintakan pertolongan. Sebab maunya cuma diam. Dalam kepercayaan dewa-dewi ala Yunani yang lebih kuno lagi, “tuhan” malah perlu disogok dan dirayu. Kalau tidak diadakan pemujaan dan persembahan macam-macam, dewa-dewi Yunani tidak peduli pada manusia.
Dalam Islam, kita diajarkan untuk berdo’a dan meminta pada Allah. Sebab semuanya bergantung pada Allah. Kalau kita menganggap bahwa prestasi kita adalah hasil kerja keras kita sendiri, maka itulah hamba Allah yang sombong. Jangankan kita, para Nabi dan Rasul saja berdo’a. Siapa yang lebih saleh daripada mereka?
Setelah menegaskan ketunggalan Allah, ayat ketiga menjelaskan bahwa Allah itu tak punya keturunan dan bukan anak siapa-siapa. Sebab, bisa jadi orang menyangka bahwa Allah itu memang satu, tapi Dia punya anak yang mewarisi kehebatannya. Jika kita katakan bahwa “Hanya ada 1 orang yang bernama X”, maka bisa jadi si X punya anak bernama si Y. Dan Y sejenis dengan X. Sebagaimana Zeus itu cuma 1, tapi anaknya banyak. Ini bukan konsep Tuhan ala Islam. Dalam kepercayaan dewa-dewi Yunani, Zeus jadi dewa terkuat setelah menggulingkan ayahnya, Kronos. Kronos pun sebelumnya telah menggulingkan ayah kandungnya sendiri.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Allah hanya 1 dan takkan ada “pesaing” yang sejenis dengan-Nya. Tapi, kalau berhenti di sini, bisa jadi ada orang berpikir bahwa Allah hanya ada satu, tapi ada pengganti yang mirip. Sama saja seperti kita punya pisau, tapi juga punya cutter yang bisa menjalankan fungsi yang
mirip dengan pisau.
Ayat terakhir menuntaskan konsep tauhidullaah. Allah hanya satu, dan tak ada yang serupa dengan-Nya. Ayat terakhir ini juga penting untuk menjelaskan dua konsep tauhidullaah, yaitu ketunggalan sifat dan perbuatan-Nya. Apa pun yang bisa kita bayangkan, itu bukanlah Allah. Karena Allah berbeda dari segalanya. Karena itu, Islam tidak mengenal penggambaran Dzat Allah. Jika umat Kristiani dan Hindu menggambarkan sosok tuhan mereka, maka Islam tidak menggambarkan sosok Allah. Allah Maha Melihat, kita pun dapat melihat. Tapi penglihatan kita berbeda dengan Allah. Tidak ada yang serupa dengan-Nya. Burung dan lalat bisa terbang, pesawat pun bisa. Tapi burung dan lalat itu berbeda dengan pesawat.
Allah ciptakan segalanya dari ketiadaan, sedangkan manusia hanya bisa menciptakan benda-benda dari bahan baku yang Allah sediakan. Sifat Allah pun berbeda dengan manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Manusia, misalnya, marah jika kepentingannya dilanggar. Allah murka bukan karena alasan yang sama, karena Allah tak butuh apa-apa dari kita. Dia tidak pernah merasa dirugikan. Jadi, kemurkaan Allah berbeda dengan kemarahan manusia. Maka, “ekspresinya” pun berbeda. Adakalanya, Allah murka pada seorang hamba yang durhaka, lantas ia malah dibiarkan hidup bergelimang kenikmatan. Semua itu hanya menambah kedurhakaannya, dan kelak ia akan disiksa di neraka. Itulah salah 1 bentuk murka Allah. Apa manusia bisa melakukan hal yang sama? Marah kepada orang lain, lantas malah menyenangkannya? Tidak!
Allah murka bukan karena merasa rugi. Allah melarang bukan karena takut. Kita melarang orang masuk ke pekarangan kita tanpa izin karena takut akan disakiti orang tak dikenal atau takut orang tersebut merampok rumah kita. Tapi Allah melarang manusia untuk memikirkan Dzat-Nya bukan karena takut. Memang manusia bisa apa?
Dengan konsep Tuhan yang demikian, kita terbebas dari materialisme. Kebenaran tidak diukur dari kenikmatan duniawi. Sebaliknya, kita justru memandang kenikmatan duniawi sebagai cobaan. Itu konsekuensi dari konsep Tuhan ala Islam.
Di cerita-cerita vampir ala Barat, banyak yang memperlihatkan konsep Tuhan seolah-olah Tuhan sedang berperang dengan Iblis. Dalam Islam, Allah tidak berperang melawan siapa-siapa. Memang siapa yang bisa memerangi Allah?
Ada seorang non-Muslim yang pernah berkata bahwa semakin banyak berdo’a, iman kita makin lemah. Inilah tandanya konsep Tuhan kita berbeda. Dalam Islam, Allah-lah yang memerintahkan manusia untuk berdo’a. Jika ada orang tidak berdo’a itu tandanya orang tersebut tak beriman. Hanya hamba yang angkuh yang tidak meminta kepada-Nya. Dengan tidak berdo’a, seolah-olah kita mampu berdiri sendiri tanpa Allah. Hal ini bertentangan dengan Surah Al-Ikhlash dan Al-Fatihah.
Non-Muslim tersebut kemudian mengatakan bahwa yang banyak berdo’a itu rewel kepada Tuhan. Konsep Tuhan-nya memang beda. Dalam Islam, Allah tidak keberatan kalau manusia banyak berdo’a. Mungkin, dalam pandangan non-Muslim tersebut, Tuhan akan jengkel dan merasa direpotkan. Dalam Islam, Allah tak pernah merasa kerepotan. Mintalah apa saja pada-Nya, Dia sanggup mengabulkannya dan senantiasa mendengarkan do’a-do’a kita.
Non-Muslim tersebut berkata lagi bahwa yang bersatu dengan Tuhan tak bicara pada-Nya. Konsep “bersatu dengan Tuhan” (wihdatul wujud) memang berbahaya. Karena merasa bersatu dengan Tuhan, lantas merasa dirinya sudah sama dengan Tuhan. Lama-lama, ia pun merasa tak perlu beribadah lagi. Padahal, manusia paling saleh yaitu Rasulullah s.a.w saja selalu berdo’a. Siapa lagi yang lebih dekat dengan Allah selain dirinya? Berdoa mengajarkan kita untuk memahami posisi kita di hadapan Allah. konsep Tuhan yang diutarakan non-Muslim tersebut memang berbeda. Beda agama, beda konsep Tuhan-nya. Beda konsep Tuhan, tentu berbeda pula pandangan hidupnya. Biarkanlah non-Muslim tersebut dengan agamanya, itu urusan dia. Tapi seorang Muslim tidak semestinya mengikutinya. Untuk sementara cukup sampai disini artikel kali ini. Semoga kita semakin mengenal Allah, sesuai konsep Tuhan dalam ajaran Islam. Aamiin.
 
Sumber:  chirpstory.com
Referensi: www.lampuislam.org 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar