Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal
Dalam
The Worldview of Islam, konsep Tuhan
adalah masalah yang paling sentral. Secara sederhana, The Worldview of Islam adalah pandangan hidup berdasarkan Islam.
Ajaran Islam yang komprehensif membuat setiap Muslim memiliki pandangan hidup yang
khas. Karena Islam melahirkan sebuah worldview/pandangan
hidup, maka seorang Muslim merespon masalah dengan cara yang unik. ‘Unik’ di
sini berarti bahwa seorang Muslim berpikir dengan cara yang berbeda dengan orang
kafir.
The Worldview of Islam lebih dikenal dengan istilah Islamic Worldview, tapi sebenarnya istilah ini kurang pas. Islamic Worldview secara harfiah berarti
“worldview yang Islami”, seolah-olah
dimungkinkan ada yang Islami di luar Islam. The
Worldview of Islam artinya “worldview-nya
Islam”. Ini bersifat definitif. Artinya ia cuma milik Islam.
Mengapa
konsep Tuhan itu penting dalam membentuk pandangan hidup? Pertama, kita harus tahu
bahwa kata “Tuhan” dipahami dengan cara yang berbeda oleh masing-masing agama.
Kedua, konsep Tuhan itulah yang akan membentuk cara kita memahami tujuan hidup
kita. Umat Kristiani, misalnya, ketika menyebut kata “Tuhan”, membayangkan
sebuah konsep unik dalam benak mereka. “Tuhan” dalam bayangan mereka adalah
subyek trinitas, mengirimkan “anaknya” untuk disalib untuk menebus dosa manusia.
Konsep Tuhan dalam Islam lain lagi. Demikian pula dengan agama-agama lainnya,
saling berlainan.
Beberapa
filsuf Yunani kuno berpendapat bahwa tuhan itu ada dan mencipta, namun setelah
mencipta, tuhan diam saja. Artinya, dalam pandangan mereka, tuhan tidak
terlibat dalam kehidupan di alam semesta setelah ia menciptakannya. Oleh karena
itu, dalam segala hal, mereka berfilsafat. Sebab tuhan mereka tidak membimbing dengan
wahyu. Tuhan mereka hanya diam.
Ketika
Nabi Ibrahim a.s menghancurkan berhala-berhala kaumnya, secara tidak langsung
ia “menggugat” konsep Tuhan mereka. Mengapa tuhan-tuhan mereka terbuat dari
batu, kayu, dan sebagainya? Kenapa tuhan mereka hanya bisa diam, lalu kenapa
tuhan seperti itu disembah? Itukah konsep Tuhan yang benar?
Dalam
Islam, ada 1 surah di juz 30 yang sangat ringkas, tapi efektif menjelaskan konsep
Tuhan, yaitu Surah Al-Ikhlash: Qul
huwallaahu ahad (Allah itu hanya satu). Allaahush-shamad,
(Allah tempat bergantung segala sesuatu). Lam yalid wa lam yuulad, (Allah tidak
beranak dan tidak diperanakkan). Wa lam
yaqun lahuu kufuwan ahad, (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya).”
Ayat
pertama langsung memperkenalkan konsep tauhidullaah,
yaitu keesaan Allah. Allah itu satu. Apanya yang satu? Dzat-Nya sudah pasti
cuma satu. Dia-lah satu-satunya Dzat yang bernama Allah. Para ulama berpendapat
bahwa tauhidullah jauh lebih dalam daripada
sekedar menjelaskan tunggalnya Dzat Allah. Selain tunggal Dzat-Nya, Allah pun
tunggal dari segi sifat dan perbuatan-Nya. Artinya, sifat Allah hanya milik
Allah, dan perbuatan Allah hanya milik Allah. Tidak ada makhluk yang memiliki
sifat seperti Allah, dan tak ada makhluk yang mampu berbuat seperti Allah.
Lihat
perbuatan Nabi Ibrahim a.s. Berhala-berhala itu sifatnya sama seperti benda
mati, bahkan tak mampu berbuat apa-apa. Itukah konsep Tuhan yang benar? Maka,
ayat pertama dalam Surah Al-Ikhlash telah secara jitu menjelaskan konsep tauhidullaah. Inilah konsep Tuhan yang
khas milik Islam. Bukan milik yang lain.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa Allah hanya 1 dan takkan ada “pesaing” yang sejenis
dengan-Nya. Tapi, kalau berhenti di sini, bisa jadi ada orang berpikir bahwa Allah
hanya ada satu, tapi ada pengganti yang mirip. Sama saja seperti kita punya
pisau, tapi juga punya cutter yang
bisa menjalankan fungsi yang
mirip dengan pisau.
Ayat
kedua menjelaskan apa “pekerjaan” Allah. Kepada Allah-lah tempat bergantung
segala sesuatu. Tidak seperti orang Yunani kuno yang percaya bahwa tuhan cuma
diam, Islam percaya bahwa Allah senantiasa dalam kesibukan. Allah-lah yang
membuat keputusan atas segala sesuatunya di dunia ini. Karena itu, kita meminta
kepada-Nya. Kita beribadah pada-Nya dan meminta pertolongan pada-Nya. Iyyaaka na’buduu wa iyyaaka nasta’iin.
Di sini, kita dapat melihat perbedaan pandangan antara Islam dan kepercayaan
Yunani kuno tadi. “Tuhan” yang diam versi para filsuf Yunani itu tidak bisa
dimintakan pertolongan. Sebab maunya cuma diam. Dalam kepercayaan dewa-dewi ala
Yunani yang lebih kuno lagi, “tuhan” malah perlu disogok dan dirayu. Kalau tidak
diadakan pemujaan dan persembahan macam-macam, dewa-dewi Yunani tidak peduli pada
manusia.
Dalam
Islam, kita diajarkan untuk berdo’a dan meminta pada Allah. Sebab semuanya
bergantung pada Allah. Kalau kita menganggap bahwa prestasi kita adalah hasil
kerja keras kita sendiri, maka itulah hamba Allah yang sombong. Jangankan kita,
para Nabi dan Rasul saja berdo’a. Siapa yang lebih saleh daripada mereka?
Setelah
menegaskan ketunggalan Allah, ayat ketiga menjelaskan bahwa Allah itu tak punya
keturunan dan bukan anak siapa-siapa. Sebab, bisa jadi orang menyangka bahwa
Allah itu memang satu, tapi Dia punya anak yang mewarisi kehebatannya. Jika
kita katakan bahwa “Hanya ada 1 orang yang bernama X”, maka bisa jadi si X
punya anak bernama si Y. Dan Y sejenis dengan X. Sebagaimana Zeus itu cuma 1,
tapi anaknya banyak. Ini bukan konsep Tuhan ala Islam. Dalam kepercayaan
dewa-dewi Yunani, Zeus jadi dewa terkuat setelah menggulingkan ayahnya, Kronos.
Kronos pun sebelumnya telah menggulingkan ayah kandungnya sendiri.
mirip dengan pisau.
Ayat
terakhir menuntaskan konsep tauhidullaah.
Allah hanya satu, dan tak ada yang serupa dengan-Nya. Ayat terakhir ini juga
penting untuk menjelaskan dua konsep tauhidullaah,
yaitu ketunggalan sifat dan perbuatan-Nya. Apa pun yang bisa kita bayangkan,
itu bukanlah Allah. Karena Allah berbeda dari segalanya. Karena itu, Islam tidak
mengenal penggambaran Dzat Allah. Jika umat Kristiani dan Hindu menggambarkan
sosok tuhan mereka, maka Islam tidak menggambarkan sosok Allah. Allah Maha
Melihat, kita pun dapat melihat. Tapi penglihatan kita berbeda dengan Allah. Tidak
ada yang serupa dengan-Nya. Burung dan lalat bisa terbang, pesawat pun bisa.
Tapi burung dan lalat itu berbeda dengan pesawat.
Allah
ciptakan segalanya dari ketiadaan, sedangkan manusia hanya bisa menciptakan
benda-benda dari bahan baku yang Allah sediakan. Sifat Allah pun berbeda dengan
manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Manusia, misalnya, marah jika
kepentingannya dilanggar. Allah murka bukan karena alasan yang sama, karena
Allah tak butuh apa-apa dari kita. Dia tidak pernah merasa dirugikan. Jadi,
kemurkaan Allah berbeda dengan kemarahan manusia. Maka, “ekspresinya” pun
berbeda. Adakalanya, Allah murka pada seorang hamba yang durhaka, lantas ia
malah dibiarkan hidup bergelimang kenikmatan. Semua itu hanya menambah
kedurhakaannya, dan kelak ia akan disiksa di neraka. Itulah salah 1 bentuk
murka Allah. Apa manusia bisa melakukan hal yang sama? Marah kepada orang lain,
lantas malah menyenangkannya? Tidak!
Allah
murka bukan karena merasa rugi. Allah melarang bukan karena takut. Kita
melarang orang masuk ke pekarangan kita tanpa izin karena takut akan disakiti orang
tak dikenal atau takut orang tersebut merampok rumah kita. Tapi Allah melarang
manusia untuk memikirkan Dzat-Nya bukan karena takut. Memang manusia bisa apa?
Dengan
konsep Tuhan yang demikian, kita terbebas dari materialisme. Kebenaran tidak
diukur dari kenikmatan duniawi. Sebaliknya, kita justru memandang kenikmatan
duniawi sebagai cobaan. Itu konsekuensi dari konsep Tuhan ala Islam.
Di
cerita-cerita vampir ala Barat, banyak yang memperlihatkan konsep Tuhan seolah-olah
Tuhan sedang berperang dengan Iblis. Dalam Islam, Allah tidak berperang melawan
siapa-siapa. Memang siapa yang bisa memerangi Allah?
Ada
seorang non-Muslim yang pernah berkata bahwa semakin banyak berdo’a, iman kita
makin lemah. Inilah tandanya konsep Tuhan kita berbeda. Dalam Islam, Allah-lah yang
memerintahkan manusia untuk berdo’a. Jika ada orang tidak berdo’a itu tandanya
orang tersebut tak beriman. Hanya hamba yang angkuh yang tidak meminta kepada-Nya.
Dengan tidak berdo’a, seolah-olah kita mampu berdiri sendiri tanpa Allah. Hal
ini bertentangan dengan Surah Al-Ikhlash dan Al-Fatihah.
Non-Muslim
tersebut kemudian mengatakan bahwa yang banyak berdo’a itu rewel kepada Tuhan. Konsep
Tuhan-nya memang beda. Dalam Islam, Allah tidak keberatan kalau manusia banyak berdo’a.
Mungkin, dalam pandangan non-Muslim tersebut, Tuhan akan jengkel dan merasa
direpotkan. Dalam Islam, Allah tak pernah merasa kerepotan. Mintalah apa saja
pada-Nya, Dia sanggup mengabulkannya dan senantiasa mendengarkan do’a-do’a kita.
Non-Muslim
tersebut berkata lagi bahwa yang bersatu dengan Tuhan tak bicara pada-Nya. Konsep
“bersatu dengan Tuhan” (wihdatul wujud) memang berbahaya. Karena merasa
bersatu dengan Tuhan, lantas merasa dirinya sudah sama dengan Tuhan. Lama-lama,
ia pun merasa tak perlu beribadah lagi. Padahal, manusia paling saleh yaitu
Rasulullah s.a.w saja selalu berdo’a. Siapa lagi yang lebih dekat dengan Allah
selain dirinya? Berdoa mengajarkan kita untuk memahami posisi kita di hadapan
Allah. konsep Tuhan yang diutarakan non-Muslim tersebut memang berbeda. Beda
agama, beda konsep Tuhan-nya. Beda konsep Tuhan, tentu berbeda pula pandangan
hidupnya. Biarkanlah non-Muslim tersebut dengan agamanya, itu urusan dia. Tapi
seorang Muslim tidak semestinya mengikutinya. Untuk sementara cukup sampai disini
artikel kali ini. Semoga kita semakin mengenal Allah, sesuai konsep Tuhan dalam
ajaran Islam. Aamiin.
Sumber:
chirpstory.com
Referensi: www.lampuislam.org
Facebook Page: www.facebook.com/riska.pratama.ardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar