Jumat, 15 Desember 2017

Allah Membalas Ketulusan Hati Imam Al-Bazzar

 
 
 
 
 Al-Bazzar adalah al-Imam al-Hafizh Abu Bakar Ahmad Ibn Amr Ibn Abdul Khaliq al-Bashri, beliau menulis kitab al-Musnad al-Kabir dan al-‘Ilal, mengambil hadits dari al-Thabrani, dan wafat pada tahun 292 H di Ramlah. Beliau adalah salah seorang ulama besar, hingga dikatakan setelah Ali Ibn al-Madini tidak ada yang lebih alim tentang hadits dari padanya. Ia menjadi rujukan para hafizh Baghdad.
Di dalam kitab Dzail Thabaqat Hanabilah, Ibnu Rajab menyebutkan biografi al-Qadhi Abu Bakar al-Anshari al-Bazzar, bahwa dia berkata: “Ketika itu akan tinggal di samping kota Makkah –mudah-mudahan Allah Ta’ala senantiasa menjaganya-, suatu hari aku sangat lapar, sementara aku tidak mendapati sesuatu yang bisa kugunakan untuk mengganjal rasa lapar.
Akupun keluar untuk mendapatkan makanan akan tetapi aku tidak mendapatkanya. Kemudian tiba-tiba aku mendapatkan sebuah kantong terbuat dari sutra dan terikat dengan ikatan dari sutra pula.”
Dia berkata: “Akupun mengambil kantong tersebut, dan aku bawa ke rumahku. Akupun membuka ikatannya, ternyata di dalamnya aku mendapati seuntai kalung mutiara yang aku belum pernah melihatnya seumur hidupku.”
Dia berkata: “Akupun mengikatnya kembali, dan kukembalikan seperti sediakala. Kemudian aku keluar untuk mencari makanan. Tiba-tiba ada seorang kakek yang menyeru: “Barang siapa menemukan sebuah bungkusan, ciri-cirinya demikian dan demikian, maka baginya 500 dinar emas.” Maka aku berkata di dalam hati: “Sesungguhnya aku orang yang membutuhkan dan kelaparan, apakah aku akan mengambil dinar-dinar tersebut untuk kugunakan manfaatnya dan kukembalikan padanya kantongnya?"

Maka kukatakan kepadanya: “Kemarilah. Lalu aku membawanya ke rumahku, aku menanyainya tentang ciri-ciri kantongnya, serta ciri-ciri mutiara serta jumlah mutiara yang tersimpan di dalamnya, ternyata ciri-cirinya sama seperti kantong sutra berisi mutiara yang kutemukan.” 
Dia berkata: “Akupun mengeluarkannya, kemudian kuserahkan kepadanya, lalu dia menyerahkan kepadaku 500 dinar sebagai hadiah sebagaimana telah dia sebutkan.”
Maka kukatakan kepadanya: “Sudah menjadi kewajibanku untuk mengembalikannya kepadamu, dan aku tidak akan mengambil balasan untuknya.” Diapun berkata: “Engkau harus mengambilnya...” dan banyak kalimat lain. Padahal aku dalam kondisi paling membutuhkan saat itu. Maka kukatakan: “Demi dzat yang tidak ada sesembahan yang haq selain-Nya, aku tidak akan mengambil balasan apapun dari seorangpun selain dari Allah.” Akupun tidak menerima dinar-dinar tersebut, maka diapun meninggalkanku. Berlalulah hari demi hari, pulanglah kakek tersebut ke negerinya setelah musim haji. 
Adapun tentangku, maka aku keluar dari kota Mekkah dengan menumpang pada sebuah kapal ditengah ombak yang bergulung-gulung lagi menakutkan. Pecahlah kapal tersebut, manusiapun tenggelam, dan sirnalah harta.
Dia berkata: “Allah Ta’ala menyelamatkanku, aku tetap tinggal dengan berpegangan diatas sebuah potongan papan kapal, dia membawaku ke kanan dan kekiri, aku tidak tahu kemana dia pergi membawaku. Akupun tinggal beberapa waktu di tengah lautan. Ombak mengombang-ambingkanku dari satu tempat ke tempat lain hingga mendamparkan aku di sebuah pulau yang di dalamnya banyak orang ummi, yakni yang tidak bisa membaca dan menulis.”
Dia berkata: “Akupun duduk di masjid mereka, dan mulailah aku membaca al-Qur`an. Maka tidak ada seorangpun yang melihatku dari penghuni masjid kecuali mereka berkumpul mengerumuni aku. Maka tidak tertinggal seorangpun dari pulau tersebut kecuali berkata: “Ajari aku al-Qur`an.”
Dia berkata: “Maka akupun mengajari mereka al-Qur`an, maka akupun mendapatkan kebaikan yang sangat banyak sebagai balasan dari itu semua.”

Dia berkata: “Kemudian aku melihat sebuah mushaf di dalam masjid yang sudah robek, maka akupun mengambilnya dan lembaran-lembarannya untuk kubaca dengannya.” Maka mereka berkata: “Apakah engkau bisa menulis?” Kujawab: “Ya.” Mereka berkata: “Ajari kami menulis.”
Kukatakan: “Tidak masalah.” Maka merekapun datang dengan anak-anak dan remaja-remaja mereka. Maka ketika itu akulah yang mengajari mereka. Dan akupun mendapatkan banyak kebaikan.”
Merekapun sangat berharap kepadanya, dan mereka berkata kepadanya setelah itu bahwa mereka ingin agar dia tinggal bersama mereka. Mereka berkata kepadanya: “Kami memiliki seorang anak wanita yatim, dan dia memiliki peninggalan harta, kami ingin menikahkannya denganmu, dan engkau tinggal bersama kami di pulau ini.”
Dia berkata: “Akupun berupaya menolaknya, tapi mereka mendesakku dan memaksaku, akhirnya aku penuhi permintaan mereka. Maka merekapun mempersiapkannya untukku, dan mahram wanita tersebut menikahkanku dengannya. Akupun duduk bersama mereka, maka tatkala aku melihat kepadanya, aku melihat kalung yang dulu aku telah melihatnya di Makkah tengah tergantung di lehernya. Akupun tercengang, akupun sibuk melihat kepada kalung tersebut.
Maka berkatalah mahramnya: “Wahai syaikh, engkau telah menghancurkan hati wanita yatim tersebut, engkau tidak melihat kepadanya tapi engkau melihat kepada kalungnya.”
Maka kukatakan: “Sesungguhnya aku memiliki kisah dengan kalung tersebut.” Mereka bertanya: “Kisah apa itu?” Maka kuceritakan kisah kalung tersebut kepada mereka. Maka merekapun bersuara keras mengucapkan tahlil, takbir, dan tasbih hingga suara mereka mencapai setiap penjuru pulau.
Kukatakan: “Subhanallah, ada apa dengan kalian?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kakek yang engkau lihat, dan telah mengambil kalung darimu di Mekkah adalah ayah dari wanita yatim ini. Dulu dia berkata sekembalinya dari haji, dan terus mengulang-ulang perkataannya: “Demi Allah, aku belum pernah melihat sekali pun di muka bumi ini seorang pemuda Muslim seperti orang yang telah mengembalikan kalung ini kepadaku di Mekkah, Ya Allah, kumpulkanlah antara aku dengannya hingga aku nikahkan dia dengan putriku.” Laki-laki tersebut telah meninggal, dan sekarang Allah telah mengabulkan do’anya.”
Dia berkata: “Akupun tinggal bersamanya selama beberapa masa, dan dia adalah sebaik-baik wanita. Aku diberi rizqi dua orang putra darinya. Kemudian dia meninggal. Mudah-mudahan Allah Ta’ala merahmatinya, aku dan kedua anakkupun mewarisi kalung tersebut darinya.”
Dia berkata: “Kemudian satu persatu putraku meninggal.” Dia berkata: “Akupun mewarisi kalung tersebut dari mereka.” Dia berkata: “Kalung tersebut lalu kujual dengan harga 100 ribu dinar.”
Setelah beberapa waktu dia berkata: “Dan ini adalah sisa dari harga kalung tersebut.” Mudah-mudahan rahmat Allah dilimpahkan kepada semuanya.
Sumber: Facebook Majalah Qiblati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar