Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal
Ada baiknya kita
menengok kembali syahadatain kita. Syahadatain artinya dua kalimat
syahadat. Pasti kita sudah hafal dengan dua kalimat ini. Syahadatain ini sangat istimewa di dalam Islam. Kita membacanya
minimal sekali dalam setiap shalat. Selain dalam shalat, syahadatain dikumandangkan di seluruh muka bumi dalam bentuk adzan
atau iqamat.
Dahulu pernah ada perdebatan
mengenai metode cara memanggil orang untuk shalat. Ada usulan agar menggunakan
terompet, meniru cara umat Yahudi pada masa itu. Ada juga usulan agar
menggunakan loncen seperti cara umat Nasrani.
Rasulullah Shalallahu 'alaihi 'wasalam kemudian
mensyariatkan adzan dan iqamat sebagaimana yang kita kenal hari ini. Demikianlah
umat Islam dilatih hingga terbiasa untuk merespon kalimat-kalimat tauhid,
termasuk syahadatain. Dengan demikian,
syahadatain seharusnya menjadi
kalimat yang sangat dekat dengan hati kita, jika kita memang beriman.
Kalimat syahadat yang pertama adalah
kesaksian tentang satu-satunya Ilah, yaitu Allah Subhanahu 'wa 'ta'ala Adapun kalimat kedua
adalah kesaksian tentang status Muhammad Shalallahu 'alahi 'wasalm sebagai utusan-Nya. Kedua
kalimat ini tak bisa dipahami secara terpisah, karena keduanya adalah ‘satu
paket’. Menyatakan bahwa Allah Subhanahu 'wa 'ta'ala adalah satu-satunya Ilah bagi kita
menunjukkan penyerahan diri yang total. Perlu diingat, penyerahan diri yang
dimaksud bukanlah sikap pasrah yang pasif. Sebab, berserah diri kepada Allah Subhanahu 'wa 'ta'ala
adalah sama dengan kesediaan untuk menjalankan perintah-perintah-Nya.
Untuk membantu manusia memahami tugas-tugasnya
sebagai hamba, Allah pun mengutus para Nabi dan Rasul. Para Nabi dan Rasul ini
penting sekali, karena tanpa mereka kita tak mungkin memahami agama. Dalam
Al-Qur’an ditegaskan bahwa Allah memang sengaja mengutus para Nabi dari golongan
manusia, sebab hanya manusialah yang bisa mengajari manusia lainnya secara
sempurna. Dalam hal mengendalikan hawa nafsu, misalnya, malaikat tak bisa
mengajari manusia dengan sempurna. Sebab, malaikat itu makhluk yang tidak punya
hawa nafsu untuk durhaka kepada Allah. Mereka tidak bisa memberi contoh dalam
hal ini. Malaikat juga tidak bisa mengajari manusia caranya menahan amarah,
mengobati hati yang sedih, dll.
Dalam proses turunnya wahyu, Malaikat
Jibril hanya mengajarkan bacaan-bacaan. Adapun pemahamannya langsung dari
Allah. Itulah sebabnya ketika wahyu turun, seolah-olah pemahaman itu langsung
ditanamkan dalam benak Rasulullah s.a.w. Oleh karena itu, kesaksian tentang
status Muhammad s.a.w sebagai Rasul sangatlah penting karena beliau adalah
acuan kita.
Para sahabat menerima wahyu yang
langsung disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu 'alahi 'wasalam, tapi adakalanya mereka salah paham.
Misalnya, ada yang puasa setiap hari di luar Ramadhan, shalat sepanjang malam,
bertekad tidak menikah, dll. Rasulullah Shalallahu 'alahi 'wasalm kemudian menegurnya, karena
hal-hal tersebut dipandang berlebihan dalam agama.
Inilah peran sentral para Nabi dan
Rasul, karena mereka menjadi teladan bagi umatnya. Rasulullah Shalallahu 'alaihi 'wasalam juga
bertugas mengawasi para sahabatnya agar tidak salah dalam mengamalkan ajaran
Islam. Jika tidak mencontoh Rasulullah Shalallahu 'alaihi 'wasalam, maka jangan mengaku-ngaku sebagai
umatnya. Dan karena Rasulullah s.a.w adalah utusan Allah, maka ketidakpatuhan
padanya adalah pembangkangan pada Allah.
Kaum orientalis dahulu biasa
menyebut Islam dengan sebutan “Mohammedanism.”
Ini bersumber dari kesalahpahaman. Lantaran kita mengikuti beliau, kita
disangka menyembah beliau. Padahal, kepatuhan kita pada beliau adalah
konsekuensi dari penyerahan diri kepada Allah. Penyerahan diri (kepada Allah) yang
benar adalah yang mengikuti keteladanan Rasulullah Shalallahu 'alaihi 'wasalam. Mengurangi syariat yang
beliau ajarkan adalah kecurangan, dan menambahkannya adalah berlebihan.
Allah Subhanahu 'wa 'ta'ala, menciptakan mekanisme
“ma’shum” untuk menghilangkan keraguan terhadap Rasulullah s.a.w. Mekanisme ini
menjaga Rasulullah Shalallahu'alaihi 'wasalam dari segala kesalahan. Ini bukan berarti beliau tak
pernah salah. Namun jika beliau keliru, langsung dikoreksi oleh Allah (lihat
Qs. ‘Abasa). Koreksi-koreksi yang dilakukan langsung oleh Allah ini justru
membuktikan bahwa Rasulullah Shalallahu'alaihi 'wasalam memang dijaga dari kesalahan.
Dengan demikian, umat Islam meyakini
bahwa ajaran beliau pastilah benar, meskipun kita belum paham hikmah dan
tujuannya. Hikmah lainnya, kita pun dapat belajar cara mengoreksi kesalahan
sendiri dengan meneladani RasulullahShalallahu'alaihi 'wasalam
Dengan kedalaman makna yang
demikian, kita dapat memahami mengapa syahadatain
menjadi syarat bagi keislaman seseorang. Seorang muallaf boleh belajar shalat
secara bertahap, pelan-pelan belajar shaum, tapi syahadatain-nya harus sempurna. Sebab, syahadatain inilah yang akan membedakan seorang Muslim dengan yang
lainnya.
Tentu saja, syahadatain yang dimaksud di sini bukanlah sekedar ucapan di bibir,
alias basa-basi. Syahadatain adalah
ikrar komitmen kita terhadap Allah. Ibadah bisa disempurnakan seiring waktu, tapi
komitmen kita harus ada sejak awal. Dari sini, kita bisa membedakan antara
Muslim yang saleh, Muslim yang jahil, orang kafir yang baik, dan orang kafir yang
jahat.
Islam menetapkan ukuran pembeda
manusia, yaitu ketaqwaannya. Jadi, derajat kemuliaan setiap manusia tidak sama
di hadapan Allah. Adapun level ketaqwaan diukur dari kehati-hatiannya. Orang
bertaqwa bukanlah orang yang tidak pernah berbuat salah. Rasulullah Shalallahu'alaihi 'wasalam pun
pernah salah, namun setiap kesalahannya selalu dikoreksi dengan sempurna.
Itulah taqwa. Beliau juga senantiasa berhati-hati agar tidak melanggar aturan
Allah. Ini juga bagian dari sifat taqwa.
Karena itu kita bisa membedakan
antara Muslim yang saleh dan yang jahil. Yang saleh adalah yang berhati-hati, yang
jahil adalah yang cuek. Tahu dan mengakui kewajiban shalat, tapi tidak
dilaksanakan, itulah contoh perilaku Muslim yang jahil. Muslim yang baik tidak
akan dengan sengaja melanggar perintah Allah. Kalau sesekali khilaf, dia langsung taubat.
Adapun orang kafir adalah yang tidak
memiliki komitmen syahadatain. Mereka
tidak tunduk pada Allah dan tidak mencontoh Rasulullah Shalallahu'alaihi 'wasalam. Orang kafir ada yang
baik dan yang jahat. Yang baik adalah yang bisa bergaul dengan baik bersama
kita, sesuai norma-norma yang wajar. Adapun orang kafir yang jahat adalah yang
mengganggu dan memerangi umat Muslim. Yang ini harus dilawan.
Sekarang muncul pertanyaan: apakah
orang kafir yang baik bukan main itu takkan dapat pahala? Sebaliknya, apakah
Muslim yang jahil luar biasa itu akan tetap dianggap beriman? Kita dapat
menggunakan ilustrasi seorang buruh pabrik yang sangat rajin, cermat kerjanya,
dan jujur. Pada akhir bulan, hatinya berbunga-bunga akan menerima upah dari
kerja kerasnya. Apa dinyana, ia malah dimarahi oleh staf HRD sebab ternyata ia
bukan pegawai resmi di pabrik itu.
Sebaik-baiknya manusia, jika ia
tidak berkomitmen menjadi hamba Allah, maka takkan dapat pahala dari Allah. Sederhananya:
jika beramal bukan karena Allah, mengapa minta balasan dari Allah? Ini adalah
bukti kasih sayang Allah. Yang Allah minta hanyalah pengakuan dari kita sebagai
hamba-Nya. Apakah ini terlalu berat? Untuk segala kenikmatan yang kita peroleh,
Allah hanya meminta pengakuan kita sebagai hamba-Nya.
Penyembah berhala seharusnya meminta
balasan dari berhala-berhalanya, bukan dari Allah. Ini sesuai dengan logika. Sebaliknya,
hamba Allah yang jahil, selama ia masih mengakui otoritas Allah, maka ia bisa
mendapat pahala dari Allah. Namun, sudah barang tentu, karena kejahilannya,
bisa jadi dosanya lebih banyak daripada pahalanya.
Di antara yang beriman dan yang
kafir adalah orang-orang munafiq. Mereka mengaku beriman, padahal tidak. Mereka
mengaku sebagai umat Muhammad Shalallahu'alaihi 'wasalam, namun syariatnya diabaikan. Mereka mengaku
beriman pada Al-Qur’an, tapi hendak merevisinya. Mereka mengaku Muslim namun
tidak tunduk patuh pada aturan agama. Mereka mengaku tunduk patuh namun bangga
meninggalkan shalat Jum’at, bahkan mengumumkannya. Mereka mengaku beragama
namun hendak mencampuradukkan kesalehan dan kemaksiatan.
Semoga pemahaman kita terhadap syahadatain semakin mendalam, agar kita tidak
menjadi Muslim yang jahil, munafiq, atau kafir.
Sumber: cooltwit.wordpress.com
Referensi: www.lampuislam.id
Facebook Page: www.facebook.com/riska.pratama.ardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar