Selasa, 15 Maret 2016

SIFAT PEMAAF NABI MUHAMMAD SAW



Sifat keras, kasar, dan kejam sangat dibenci oleh Nabi Muhammad. Beliau menganjurkan kita untuk mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan jalan yang baik dan lemah lembut. Sebab, dengan berbuat baik kepada orang lain, kecil kemungkinannya orang berkeinginan untuk berbuat jahat kepada kita. Kalau bisa, walaupun kita disakiti, jangan dibalas, bahkan balaslah dengan kebaikan. Inilah sifat hilm yang dianjurkan Nabi Muhammad.
Nabi Muhammad tidak pernah membalas dendam pribadi, tidak pernah memukul kecuali dalam perang. (H.R. Ahmad) Diriwayatkan dari Anas, “Aku berjalan bersama Rasulullah, beliau memakai kain sorban tebal buatan Najran yang beliau lilitkan di lehernya. Tiba-tiba ada orang desa menarik sorban tersebut dengan keras dan kasar, sehingga aku melihat bekasnya di bahu beliau. Lalu orang itu berkata, ‘Wahai Muhammad! Berilah padaku harta Allah yang ada padamu!’ Rasulullah menoleh dan tertawa, kemudian menyuruh untuk memberi uang pada orang tersebut.” (Muttafaq ‘alaih)

Sewaktu beliau pulang dari perang Hunain, orang-orang Badui desa mengikutinya dan meminta sesuatu dari Nabi Muhammad, sampai-sampai beliau berkata, “Demi Allah. Seandainya aku punya ternak sebanyak kayu-kayu kecil ini, aku bagikan semuanya kepada kalian, sehingga kalian tidak menemukan aku pelit, penakut, dan pembohong.” (H.R. al-Baghawi)
Nabi Muhammad tidak cepat marah dan memaklumi orang yang berbuat salah karena tidak tahu atau lupa. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa suatu hari orang Badui desa datang ke masjid dan pipis di dalamnya. Orang-orang yang melihatnya marah dan berhambur mau memukulnya, tetapi dicegah oleh Rasulullah yang bersabda, “Biarkan dia, dan siramlah air bekas pipisnya. Kita diutus bukan untuk memberatkan tapi untuk mempermudah.” Inilah contoh dari sifat rifq.
Kesabaran Nabi Muhammad dalam berjihad dan berdakwah sudah teruji dengan baik. Kita patut mencontoh beliau untuk sabar tidak dalam kepentingan pribadi. Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Dia berkata, ‘Apakah ada saat bagimu yang lebih keras dari Perang Uhud?’ Aku menjawab, ‘Ada. Yaitu permusuhan kaummu (Quraisy) di Aqabah.’ Ketika kutawarkan diriku pada Ibnu Abdi Jalail bin Abdi Kilal, ia tidak menerima diriku. Lalu aku pergi dalam keadaan sedih, lalu aku melihat di atas awan, Jibril memanggilku, ‘Sesungguhnya Allah mendengar apa yang dikatakan kaummu kepadamu. Dan apa yang telah mereka lakukan terhadapmu. Aku diutus kepadamu untuk memerintahkan malaikat penjaga gunung untuk patuh pada perintahmu. Lalu malaikat penjaga gunung itu mengucap salam kepadaku dan berkata, ‘Wahai Muhammad. Allah telah mendengar apa yang dikatakan oleh kaummu kepadamu. Aku ditugaskan oleh Allah untuk memenuhi perintahmu. Kalau engkau suka, dua gunung ini akan kubalikkan dan kukubur mereka.’” Namun, Rasulullah menjawab, “Jangan. Aku hanya berharap semoga di antara anak cucu mereka ada yang mau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.’” (Muttafaq ‘alaih)
Masya Allah! Betapa kasih sayang beliau begitu besar. Kadang-kadang para penyeru dakwah tergesa-gesa dan tidak sabar dengan dakwah mereka. Karenanya, banyak dakwah yang gagal karena kurangnya keteguhan hati dan kesabaran akan perintah Allah. Ingatlah, 13 tahun Nabi Muhammad menanggung beban berat di Mekkah sampai akhirnya pindah ke Madinah.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, “Aku melihat Rasulullah seakan-akan seperti seorang nabi yang dipukul oleh kaumnya sampai berdarah, kemudian membersihkan darah dari wajahnya sambil berkata, “Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka tidak tahu.”
Suatu hari seorang Yahudi datang kepada Nabi Muhammad, sedangkan beliau berada di tengah-tengah para Sahabat. Yahudi itu bernama Zaid bin Su’nah. Dia datang menagih hutang, lalu mencengkram kerah Rasulullah dan selendangnya. Dia menatapnya dengan tajam dan kasar, “Wahai Muhammad, apakah kamu tidak mau membayar hakku?” Umar marah dan matanya seperti bola api. Umar pun berkata dengan sengit, “Wahai musuh Allah, kamu berkata begitu kepada Rasulullah dan memperlakukannya seperti yang kulihat ini. Demi Dia yang mengutus beliau dengan kebenaran, seandainya Rasulullah tidak melarangku, niscaya kupenggal kepalamu dengan pedang ini.”
Nabi Muhammad kemudian memandang Umar dengan tenang dan berkata, “Wahai Umar, aku dan dia perlu yang lebih dari ini, yaitu kau menyuruhku menepati pembayaran dan kau menyuruhnya menagih dengan baik. Pergilah wahai Umar dan cukupilah (bayarlah) haknya dan tambahkanlah kepadanya 20 sha’ kurma.”
Ketika tahu bahwa Umar melebihinya 20 sha’, orang Yahudi itu berkata, “Untuk apa tambahan ini wahai Umar?” Umar menjawab, “Aku diperintahkan oleh Rasulullah untuk menambahkannya kepadamu karena kecongkakanmu.” Lalu orang Yahudi itu berkata, “Apakah kamu mengenalku?” “Tidak. Siapa kamu?”, tanya Umar. “Aku Zaid bin Su’nah.” Umar tercengang, “Pendeta Yahudi?! Apa yang membuatmu berbuat seperti ini?” Zaid menjawab, “Wahai Umar, aku memang sengaja berbuat begini untuk mengetahui kenabiannya. Aku melihat dua hal, lalu aku tahu bahwa dia benar-benar seorang nabi. Pertama, beliau mengedepankan sifat hilm-nya dari yang lain. Kedua, semakin aku kasar, beliau semakin sabar dan meladeni. Dan sekarang wahai Umar, saksikanlah bahwa aku rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad adalah nabi! Dan aku akan memberi separuh hartaku untuk kepentingan umat Islam.” Umar berkata, “Kepada sebagian umat, karena kalau untuk seluruh umat Islam tidak mencukupi.” Lalu Zaid menemui Rasulullah dan mengucapkan dua kalimat syahadat. (H.R. Bukhari)
Inilah sifat-sifat beliau yang penuh dengan kesabaran, kerendahan hati, mengalah, dan bersahabat. Dalam sebuah hadits, Aisyah meriwayatkan, “Aku berumrah bersama Rasulullah dari Madinah ke Mekkah. Ketika sampai di Mekkah, aku berkata, ‘Dengan bapak ibuku sebagai tebusan wahai Rasulullah, aku menggabungkan shalatku dan menyempurnakannya, aku berbuka dan aku puasa.’ Rasulullah hanya mengomentari, ‘Bagus, kalau begitu.’ Dan tidak melarang atau menegurku.” (H.R. Nasa’i).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar